Mata Malamo menempel keras di teropong ketika ia memfokuskan pandangannya ke formasi kapal yang datang dari arah selatan. Kali ini formasi lima kapal di depan yang berarti kapal-kapal ini datang dalam jumlah sangat besar. Sesaat jantungnya berdegup kencang tapi kemudian perasaannya berubah menjadi sangat bersemangat ketika ia melihat lambang di layar kapal itu. Ia telah melihatnya puluhan kali selama ditugaskan berjaga di Pelabuhan sebelah utara ini, bahkan ia bisa mengenalinya meskipun dari jauh sekalipun. Lambang itu sama dengan yang dibawa oleh sang pembawa pesan malam tadi, yang dengan ajaibnya terbang dari tengah laut.
      "Itu Kapal-kapal Mataram Kapten..." ucap si prajurit yang hanya dibalas anggukan singkat Malamo. Ia tak mampu berkata-kata, di hatinya ada perasaan tenang dan kerinduan yang muncul.
      Di atas kapal yang terbakar seluruh mata beralih dari para penyu hitam ke sebelah selatan, mereka lebih dekat jaraknya kepada kapal-kapal yang akan datang ke pelabuhan.
      Di pantai suasana senyap seketika, sebagian yang dapat melihat dari kejauhan segera memberitahukan kepada rekan-rekannya apa yang terjadi.
      Imam Hassan, yang tengah berkoordinasi dengan wakil kaptennya, mempertimbangkan apakah mereka masih bisa menyelamatkan kapal-kapal yang terbakar dengan mengirim kembali tiga kapal mereka yang selamat kembali ke laut jauh, langsung menghentikan percakapan. Setelah ia memastikan kehadiran kapal-kapal yang memang adalah sekutu mereka, ia pun menutup seluruh kejadian luar biasa dari malam hingga pagi ini dengan berucap,
      "Alhamdulillah, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billaah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah..."
      Matahari telah terbit, peperangan telah usai, dan bantuan telah datang. Seluruh energi yang ada sejenak terhubung ke Langit, mereka menunaikan sholat subuh berjamaah, di pantai, di kapal yang terbakar, dan di atas mercusuar meskipun matahari telah muncul. Bentuk keringanan dari Allah yang hanya boleh dilakukan di saat-saat darurat seperti perang. Sementara itu kapal-kapal Mataram bergerak ke tengah lautan terlebih dahulu, menuju kapal-kapal yang menghitam sebelum berlabuh di pantai Mamluk.
                                                                          ~
      Lautan di depan, matanya melihat ke arah puluhan kapal yang datang beriringan. Nafasnya perlahan dan tenang, pertempuran yang lama sekali, bahkan terasa lebih lama bila dibandingkan kompetisi kecil di Sarawak itu. Hatinya tak henti-henti bersyukur, setelah semalaman bertahan dari gempuran tiada henti. Mulai dari panah yang bertubi-tubi hingga pasukan yang terjun seperti tak ada habis-habisnya dari kapal hitam itu. Pedang, tombak, hingga pisau kecil dari beberapa orang yang sangat lincah sudah dilawannya dengan sebuah senjata yang tak pernah ia ganti semenjak semalam. Gada besar hadiah kompetisi SATRIA itu kini digunakannya untuk menumpu dagu dengan bola besar di bawah.
      Dalem benar-benar lega, pertama, ia berhasil menjalankan tugasnya mempertahankan bayu geni agar dapat bekerja dengan baik tanpa halangan dari para penyerang, yang seperti dirinya, juga terkejut dengan apa yang bisa dilakukan alat berbentuk tabung besar panjang itu. Dipasang di samping kiri dan kanan buritan kapal, masing-masing lima buah, alat tersebut berhasil meloloskan kapal yang sudah sekarat ini mendarat di bibir pantai.
      "Dua kali.. dua kali..." Dalem melihat sekilas bayu geni yang berjejer rapi hingga menutupi pandangannya ke laut lepas.