Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 28, Kobaran Api) - Tugas Jaga

10 April 2024   10:30 Diperbarui: 10 April 2024   10:50 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Malam begitu dingin sehingga tak menyisakan sepasang mata pun yang terbuka kecuali para penjaga yang memang memiliki jadwal di malam hingga dini hari untuk mengawasi keadaan sekitar. Biasanya para penjaga memiliki posisi dan rute sendiri dalam mengamankan kapal. Diawali dari posisi strategis dimana kapten kapal sering berada, yakni dek paling depan. Di sini terdapat satu buah teropong yang bisa melihat paling tidak hingga lima kilometer, bergantung kondisi angin, ombak, awan, dan ada atau tidaknya cahaya. Apabila hujan demikian deras, posisi ini hanya bisa digantikan dari kamar atas yang ditempati oleh kapten, karena teropong satunya lagi berada di sana. Kemudian posisi selanjutnya berada di samping kiri dan kanan dek, biasanya paling tidak ada satu orang yang berjaga di masing-masing sisi. Terakhir pada bagian luar yakni di buritan atau belakang kapal yang merupakan posisi favorit para penjaga.

            Berbeda dengan para penjaga di luar, orang yang memiliki tugas berjaga di dalam harus mengetahui keseluruhan peta kapal. Hal ini berarti ia harus tahu di mana kamar kapten, wakil kapten, tamu, perwira, para awak kapal yang kamarnya kadang dibedakan sesuai keahlian, para prajurit, ruang bahan makanan, koki, petugas kebersihan hingga dokter serta perawat yang ikut dalam pelayaran. Biasanya ada tiga orang yang berjaga di dalam.

            Malam ini sepertinya suasana laut yang tenang didukung kondisi cuaca yang sedikit mendung membuat hampir seluruh penjaga yang berada di kesembilan kapal mengantuk berat. Tampak dari atas formasi standar tiga kapal melaju dengan leluasa, tiga di depan, tiga di tengah, dan tiga di belakang. Posisi paling depan sebelah tengah dan kanan ditempati masing-masing oleh Kapal Komando Samudera dan Kapal Komando Palembang Darussalam yang diisi tentu saja oleh Komandan Hassan dan di sebelah kanannya Komandan Ario Damar. Abdi dan Dalem berada di kapal tengah terdepan dan mereka berdua mendapat jadwal jaga malam ini. Meskipun mereka berdua adalah tamu tetapi Komandan Hassan memperlakukan mereka seperti prajurit lainnya supaya tidak menimbulkan kecemburuan dan supaya mereka dapat cepat berbaur dengan para prajurit yang ikut dibawa berlayar. Setelah tiga minggu saling mengenal di Sarawak membuat keduanya tidak canggung mengerjakan pekerjaan awak kapal. Membantu koki di dapur, membersihkan persenjataan, dan mencari bahan makanan sudah biasa mereka lakukan. Kali ini mereka ditugaskan untuk berpatroli di dalam kapal setelah hafal seluruh ruangan yang ada. Komandan Hassan sendiri yang mengetes mereka dua hari sebelumnya dan mereka setuju untuk membantu tugas patroli.

            Sama halnya dengan di luar, suasana kantuk juga terasa hingga ke dalam, bahkan angin dingin pun ikut masuk melalui celah-celah kayu yang bolong dan tak tertutup rapat.

            "Ngantuk ya Di..." ujar Dalem, matanya terlihat kriyip-kriyip menahan kantuk.

            "Heh! Jangan tidur!" siku kirinya menyikut perut Dalem.

            "Hmm.. Apa lagi ya Lem yang kurang," Abdi membuka catatan untuk melihat apa saja yang harus dilakukan ketika melaksanakan tugas patroli malam.

            "Menghubungi kapten ketika melihat api.. Bila sudah dekat pelabuhan segera beritahu petugas yang berjaga di sana untuk meminta bantuan.. kodenya API JINGGA jika kecelakaan, API HITAM jika tidak tahu sebabnya dan API MERAH jika akibat diserang musuh. Hmm.. bukan ini..." membuka dua halaman lagi barulah Abdi menemukan catatan yang ia maksud.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "..pintu dan jendela dapur, ditutup paling akhir karena perlunya ventilasi udara yang cukup untuk menetralisir bau masakan dan bahan makanan. HARAP DICEK PETUGAS JAGA MALAM."

            "Ok Lem, ayo ke dapur," Abdi menarik Dalem untuk bangkit menuju ruang Dapur.

            "Eh.. Ayo Di..." dengan sedikit sempoyongan Dalem mengikuti langkah Abdi. Dapur berada di dekat buritan kapal, sehingga mereka harus berjalan ke arah belakang melewati kamar-kamar yang terletak diantara kamar kapten hingga dapur.

            "Kamar kedua sesudah kamar mandi sebelah tengah, ini kamar dokter. Hmm.. di bawahnya gudang obat-obatan," ucap Abdi melihat tangga ke arah bawah di sudut setelah kamar mandi tengah, menghafalkan seluruh ruangan.

            "Ruang koki dan petugas kebersihan berada di dekat dapur, hmm.. yang paling pertama dibangunkan nanti.. Ah biasanya subuh mereka bangun semua kok," Abdi melihat-lihat sepanjang lorong.

            "Ada suara adzan kok Di, pasti bangun," Dalem menyahut dari belakang.

            "Iya, betul. Eh kayaknya belum ditutup jendela-jendelanya Lem..."

            Pintu dapur dibuka Abdi dan benar saja seluruh jendela yang berbentuk bulat masih terbuka, hanya jendela yang ke arah kamar mandi dan ruang kebersihan saja yang ditutup.

            "Ayuk kita tutup dulu semua."

            "Hmm..." Dalem hanya bergumam sambil menuju jendela dekat kompor.

            Abdi menutup jendela di sebelah tempat cuci piring dan melihat sisa-sisa minyak serta bahan makanan yang tersisa. Di ujung, sepertinya jendela yang berada agak jauh di atas belum ditutup. Abdi mencari pijakan untuk meraihnya.

            BRAK!

            "Hati-hati Lem!" Abdi melihat ke belakang.

            "Aduh, maaf Di, ini apa ya, ooh..."

            "Sampah sisa makanan ya..."

            "I..iya Di maaf.. haduuh..."

            "Ya udah ayo dibersihkan," Abdi mengambil sapu di sudut ruangan dan memberikannya kepada Dalem, dilihatnya lagi di belakang Dalem ternyata adalah tungku perapian dan kompor.

            "Lem! Hati-hati bersihiinnya, dibelakangmu kompor sama tungku, bisa kebakaran nanti" Abdi kembali ke jendela yang tadi masih terbuka. Samar-samar terdengar suara orang-orang berbicara di luar sebelum kemudian ada yang bertanya.

            "DI DAPUR YA!? AMAN??" suaranya berasal dari luar.

            "Eh.. A.. AMAN! CUMA TEMPAT SAMPAH YANG JATUH!"

            "AYO GABUNG KE SINI, SEMUA DI BURITAN!"

            Tak tahu harus menjawab apa Abdi berbalik ke belakang dan melihat Dalem kesulitan memungut sampah yang berserakan.

            "Kayaknya harus dibuang di luar Di.. Semua sampah organik, lupa dibersihin sama petugas kebersihan pasti"

            Abdi berpikir sejenak, "oke Lem kita buang ke laut lewat buritan aja, kayaknya pada ngumpul di sana."

            "Harusnya bisa jadi umpan untuk nyari ikan sih ini, tapi ya.. daripada paginya banyak belatung..." ucap Dalem.

            "Ya sudah ayo.. Eh.. KAMI KE BURITAN!" mulut Abdi diarahkan ke jendela yang masih terbuka, entah orang di luar mendengar atau tidak tetapi Abdi langsung menutup jendela setelahnya dan membantu Dalem mengumpulkan sampah untuk dibuang keluar.

            Tangga ke bawah menuju buritan tak jauh dari dapur, Dalem memanjat terlebih dahulu disusul Abdi yang lalu melemparkan sampah makanan dalam karung kepadanya. Ternyata di luar ada empat orang penjaga sedang bersantai, dua diantaranya bangun untuk membantu Dalem membuang sampah makanan yang segera menjadi rebutan ikan di laut.

            "Semua ngumpul di sini ya?" Abdi duduk menikmati pemandangan, dari jauh tampak tiga kapal di belakang mereka melaju ke depan seperti mengejar tapi tak pernah sampai.

            Hampir setengah jam Abdi melihat Dalem asyik mengobrol dengan penjaga pertama sambil membuang sampah. Abdi sendiri asyik menikmati angin malam yang begitu dingin ditemani penjaga kedua, sementara itu penjaga ketiga dan keempat sudah tertidur di sampingnya. Abdi pun tergoda, direbahkan tubuhnya ke arah langit dan dilihatnya formasi bintang yang begitu indah di utara, selatan, barat, dan timur. Mengingatkannya saat-saat berada di Kapal Pinisi Mataram, buku catatan yang hampir penuh sekarang, hingga obrolannya dengan Kapten Sudirman tentang hukum ta'zir. Malam pun terasa amat gelap bagi Abdi, segelap warna hitam yang menyelimutinya sesaat kemudian.

~

            Ada perasaan aneh yang dirasakan Abdi, entah kenapa ia merasa begitu tak nyaman. Seperti ada suara-suara yang sangat kecil mengganggunya. Tiba-tiba udara terasa menusuk dengan cara yang tak biasa, hidungnya seperti mencium bau asap tetapi samar dan berasal dari tempat yang jauh. Ia pun terbangun dan segera menegakkan punggung, entah rasa tak nyaman ini berasal dari mana. Dilihatnya sekeliling ternyata semua penjaga yang ada tadi tertidur, dua di posisi yang sama sebelum ia tertidur tadi, satu orang di sampingnya dan ia melihat siluet Dalem persis dibalik ruang dapur, badannya menghadap samping ke arah Abdi ditemani penjaga yang tadi mengobrol dengannya. Melihat sekeliling, Abdi menjauhkan jarak pandang, di barat ia melihat langit seperti tertutup awan tebal, mungkin hujan akan segera datang. Tak ingin segera membangunkan kelima orang yang bersamanya, ia memutuskan ke samping kapal untuk melihat dengan lebih jelas.

            Sambil berjalan menuju samping kapal, Abdi melihat ke arah depan buritan, tiga kapal di belakang sudah tak nampak, namun cahaya yang berkelap-kelip seperti berkobar dari jauh menandakan mereka masih berlayar di belakang. Abdi melanjutkan langkahnya, ombak seperti bergemuruh dengan keras tapi pandangannya fokus ke lantai, takut goyangan kapal akan menjatuhkannya ke laut di sebelah kanan. Dilihatnya di depan dek bagian kanan kapal yang kosong. Hatinya agak tenang, tapi sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Pandangannya agak ke atas, dilihatnya awan hitam sudah ada di depan, ah benar sebentar lagi akan hujan, begitu pikirnya dan segera berbalik kembali ke arah buritan belakang. Dilihatnya lagi sekilas ke arah depan dengan mata agak menyipit kemudian pandangannya kembali ke arah buritan. Sekilas Abdi melihat sesuatu yang besar di kiri. DEG! Jantungnya terasa mau copot, ia tak berani melihat ke kiri, ke arah laut. Entah kenapa di pandangannya ada sesuatu yang ganjil. Meskipun malam hari tapi Abdi yakin pasti bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Belum berani menoleh ke kiri, ia mulai berpikir sambil melihat ke arah lantai di bawah, pelan-pelan diarahkannya pandangan ke buritan kapal lalu ke arah tiga kapal di belakang. Posisi kapal di belakang kok seperti lebih jauh dari sebelumnya ya? Kesadarannya mengumpul tiba-tiba, hatinya sedikit khawatir, otot leher belakangnya naik.

            Ditolehkannya kepala ke arah kiri dan terlihat seperti hanya hitam tak ada apa-apa, kemudian dengan cepat ke arah depan atas, awan yang membumbung tinggi di arah depan kapal, terasa amat dekat sekali seperti asap, bukan awan tetapi asap. Hatinya mencelos, ia menunduk otomatis dan berpikir cepat. Di samping kapal tidak ada apa-apa, bahkan laut yang luas dan bintang di atas tidak kelihatan, bukankah mereka ada di tengah, harusnya ada satu kapal lagi di samping. Apa kapalnya terlalu dekat? Jadi tidak terlihat apa-apa, karena tertutupi oleh badan kapal! Agak tenang, Abdi memberanikan diri untuk memutar arah dan kembali berjalan ke arah depan kapal sambil berjongkok. Perlahan ia dapat mencapai bagian depan kapal, dilihatnya ke atas ternyata memang asap dan asalnya dari bagian bawah kapal.

            Tunggu dulu berarti ada yang terbakar di sebelah samping depan bagian bawah kapal, begitu pikir Abdi ketika melihat asap mulai muncul dari bawahnya. Ia memberanikan diri untuk berdiri dan bersiap berteriak mengingatkan, dalam pikirannya masih terpetakan kapal Samudera yang mungkin terlalu dekat karena arah kapal yang agak bergeser. Tapi dari mana asap itu berasal?

            Sekejap ia memberanikan diri melihat ke arah samping kapal lagi, tak terlihat apa-apa, tapi begitu dilihatnya ke arah atas Abdi langsung mengenali layar yang bergoyang tertiup angin serta kayu yang menopangnya. Bulu kuduknya berdiri, hatinya seketika dipenuhi rasa takut, keringat dingin seakan mau mengucur keluar dari tubuhnya. Kapal itu besar sekali.

            Ada gerakan seperti panah meluncur ke arahnya, dilihatnya agak ke kiri panah itu berjumlah lebih dari satu dan diujungnya terang, nyala api menari-nari sebelum ia tertancap di bagian dek luar kapal. Abdi terkejut melihat asal anak panah itu diluncurkan, dilihatnya tiga siluet bersiap mengambil anak panak berikutnya.

            Kali ini ketegangan seperti memuncak, Abdi sadar apa yang sedang terjadi. Itu kapal musuh, meskipun hanya satu tapi itu besar dan mereka sedang memanahi kapal ini dengan panah api. Tak bisa berpikir lebih jauh karena takut telah terlihat ketika panah tadi diluncurkan, ia bergegas untuk lari sambil berjongkok ke arah buritan kapal dengan tujuan membangunkan yang lain, paling tidak Dalem, hatinya berbisik. Didengarnya lagi suara panah dan kelebatan api yang meluncur. Abdi mempercepat lajunya ke arah buritan, dibelokan ia segera melompat ke kanan kemudian maju tiarap menuju ke arah Dalem.

            Abdi hanya tahu satu cara membangunkan Dalem sekarang, ditarik satu telinga Dalem ke arah mulut, dibisikkannya cukup keras hingga petugas di sebelah Dalem terbangun.

            'SULTAN MATARAM tiba, semua harap bersiap..."

            Mata Dalem membuka seketika seperti ada yang membunyikan terompah ke sebelah telinganya. Abdi tahu apa yang akan segara diteriakkan Dalem, sejurus kemudian tangan satunya membekap mulut Dalem ketika ia berteriak "SIAP SINUHUN".

            Abdi juga segera mengangkat jari telunjuknya ke bibir begitu melihat penjaga di sebelah dalem ikut terbangun, belum menyadari apa yang sedang terjadi. Untung dia tidak bersuara dan menunggu petunjuk Abdi. Namun Dalem menyadarinya lebih dulu, tangannya yang gempal menunjuk ke arah kapal besar di samping kapal mereka, namun mulutnya tak dapat berkata apa-apa karena masih dibekap oleh Abdi. Penjaga yang tadi terbangun ikut melihat dengan mulut terbuka ke arah yang ditunjuk Dalem.

            "Ayo bangunkan yang lain," katanya kepada Dalem yang sekarang memegang sebelah tangan Abdi yang membekapnya. Sementara itu penjaga yang tadi terbangun langsung bergerak menuju ke arah rekannya yang masih tertidur. Abdi memegang kerah baju Dalem untuk membantu mengangkatnya berdiri dan berjalan ke arah tangga menuju dapur.

            "Di siapa mereka? Kok bau asap..."

            "Sudah jangan banyak omong nanti ketahuan, mereka menembaki pakai panah api!"

            "Eh.. apa..." Dalem didorong Abdi untuk segera naik tangga. Meskipun nampak bingung tapi Dalem segera berjalan cepat ke atas dan membuka pintu menuju ke dapur, barulah ketika di atas, di dalam dapur, kesadaran menghinggapinya.

            "Di, kapal kita diserang ya?" ucap Dalem kepada Abdi yang baru terlihat naik dan menghampirinya.

            "Iya Lem!" Abdi tampak terengah-engah sebelum menunduk, ketenangan seperti datang, mungkin karena kehadiran rekannya.

            "Kita harus segera membangunkan Imam Hassan.. Dan semua yang ada di sini, Lem bantu bangunkan dokter dulu ya, baru yang lain. Pelan-pelan tapi! Aku ke kamar Kapten!"

            "Loh kok, kan bisa dimulai dari sini Di," tunjuk Dalem ke arah kamar koki dan petugas kebersihan.

            "Itu prosedur Lem! PROSEDUR!" ucap Abdi mengingat tulisan di catatannya sendiri 'ketika kondisi darurat' di buku catatan. Dalem agak terkejut dan mengangguk.

            "I.. Iya Di, oke, pelan-pelan kan bangunkannya..."

            "Ya Lem, maaf, iya.. pelan-pelan..."

            Ia pun bergegas menuju kamar Kapten di bagian paling ujung, disusul oleh Dalem yang segera berbelok ke arah kamar Dokter. Abdi sejenak melihat ke kiri depan, kamarnya dan Dalem tak jauh dari kamar mandi tengah. Ia membelokkan pikirannya dan mampir untuk mengambil tas yang telah disiapkan. Setelah ia membuka pintu dilihatnya tas itu berada di atas kasur dan memanjang karena berisi benda itu. Tas Dalem sendiri berada di sudut, sepertinya ada beberapa barang yang belum dikemasnya. Abdi kemudian menutup pintu kamar sambil membawa tas di punggung. Terdengar suara-suara di belakang, sepertinya Dalem sudah membangunkan Dokter, sekarang tinggal kapten kapal dan tentunya para penjaga di luar sekarang menuju tangga ke bawah tempat para prajurit tidur. Mugkinkah mereka sudah tahu sekarang, ketika api itu membesar? Pastilah begitu, pikiran Abdi membayangkan kamar yang tiba-tiba terasa panas, tapi apakah mereka bisa terbangun di saat paling lelap ini.

            Ketika mendekati pintu Kapten Kapal, Abdi mendengar suara-suara di bawah, sepertinya ada yang sudah tahu. Ketika hampir mencapai pintu, terdengar teriakan dari bawah, "APA? TERBAKAR?" serta suara dari belakang, "Hah!? Apa maksudnya diserang? Kita kan bersembilan!"

            Tangan Abdi meraih gagang pintu dan sebelum ia sempat memutarnya, pintu itu terbuka lebih dahulu, memperlihatkan wajah pria tua yang berbadan sangat kekar, pandangannya masih tajam ketika ia melihat ke belakang melewati Abdi, kemudian ke arah lantai di bawah disusul selanjutnya kedalaman suara yang sangat tenang.

            "Ada apa ini?" tanya Imam Hassan, matanya sekarang tajam ke arah Abdi.

            Sejenak Abdi terdiam, ia mengingat sebuah kata yang penting,

            "API MERAH," ucapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun