Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 5, Buton) - Madrasah Dayanu

17 Maret 2024   07:00 Diperbarui: 17 Maret 2024   07:12 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Angin bertiup sejuk saat waktu Dhuha datang, Abdi dan Dalem yang telah menyelesaikan sarapan serta mengisi perbekalan bergegas menuju keluar pasar. Dalem cukup lama tertegun melihat banyaknya kerumunan orang mulai ramai datang memasuki pasar.

            "Wah, banyak juga ya Di pengunjungnya," mulutnya masih sibuk mengunyah lemper isi ayam.

            "Hush, kalau makan duduk dan habiskan dulu!" seru Abdi segera.

            "Iyalah, tadi saja kita dengar ada dua kapal lagi yang barusan berlabuh. Pasti mereka mencari barang dagangan," Abdi sempat bercakap-cakap dengan pedagang makanan khas Jawa yang kebetulan kenal dengan petugas pelabuhan.

            "Kira-kira dari mana ya Di?" tanya Dalem segera.

            "Hmm.. gak tahu juga sih Lem, tapi aku belum pernah lihat orang-orang negeri Sarawak dan Malaka."

            Mereka melanjutkan perjalanan ke arah luar pasar dan menuju masjid yang tadi mereka gunakan untuk sholat subuh. Kali ini setelah sholat Dhuha, mereka duduk sejenak di teras masjid sambil mendiskusikan tujuan mereka selanjutnya. Di masjid ternyata cukup ramai dan tampak beberapa orang berkumpul di bagian belakang seperti sedang mengaji bersama.

            "Hmm..." Abdi membuka-buka catatan.

            "Kita harus mencari orang yang belajar di Madrasah Dayanu..." tambahnya setelah sekilas melihat catatan seseorang yang bukan miliknya maupun Dalem.

            "Di mana Di nyarinya?" sahut Dalem.

            "Sebentar..." Abdi membaca sambil berpikir, "memakai peci merah..."

            "Hooo.. kita tanya-tanya aja ke orang sekitar.." pandangan Dalem yang agak malas karena kekenyangan segera menuju ke arah belakang masjid tempat tadi beberapa orang berkumpul untuk mengaji bersama.

            "Eh, tunggu.. itu..." tangan Dalem menunjuk ke arah kumpulan orang yang sudah selesai mengaji. Mereka beranjak dari tempatnya. Salah satu orang diantara mereka tetap duduk sementara yang lainnya bergegas keluar masjid bersama-sama dengan mengucapkan salam terlebih dahulu kepada orang yang duduk. Orang ini memakai peci berwarna merah.

            "Pecinya Di..." ucap Dalem segera.

            "Eh bajunya sih biasa, tapi celananya memang sama seperti penduduk di sekitar sini, coba kita tanya yuk!" Abdi beranjak dari tempatnya dan segera menuju ke arah laki-laki tadi diikuti Dalem.

            Laki-laki itu masih muda dan berkacamata, di sampingnya terbuka buku yang cukup tebal. Tas seukuran mahasiswa tergeletak di kiri belakang bersama sebuah Al Quran di atas. Pria ini terlihat membaca sebuah buku.

            "Assalamualaikum..." Abdi mengucap salam, tampak terkejut, laki-laki ini segera menoleh dan menjawab.

            "Ah, waalaikumsalam..." dengan sedikit memicingkan mata ia melihat ke arah Abdi yang mengulurkan tangan kepadanya, mereka bersalaman.

            "Ada apakah?" tanya pria tadi sekilas melihat pakaian dan tas keduanya.

            "Apakah Anda berdua hendak menanyakan jalan?"

            "Ah.. Bukan itu Pak, eh.. Mas.." Abdi terlihat grogi.

            "Panggil saja saya Rade," ujar pria tadi segera.

            "Oh ini Mas Rade, kami berdua. Saya Abdi.. dan ini Dalem..." Abdi menunjuk sekilas kepada Dalem yang segera tersenyum.

            "Hendak bertanya apakah Mas Rade tahu tentang Madrasah Dayanu? kami berasal dari Mataram dan bermaksud hendak belajar beberapa hal."

            Mimik muka pria tadi tampak agak santai setelah mendengar kata-kata Abdi,

"Ah, kebetulan sekali, tadi barusan para pemuda sekitar juga belajar mengaji bersama saya. Ee.. dari Mataram ya kalian.. Kapan tiba di sini? Apakah kalian hanya berdua, di mana yang lain?"

            Dalem menjelaskan secara singkat darimana mereka datang, Abdi juga ikut menambahkan. Setelah mendengar dari keduanya, Rade menerangkan tentang Madrasah Dayanu.

            "Kalian ingin belajar di Madrasah selama berapa lama? Kami biasanya membuka pendidikan paling sedikit satu semester."

            "..Eee tidak, kami hanya ingin belajar mungkin sekitar seminggu saja sembari melihat-lihat Kesultanan Buton yang terkenal ini," ujar Dalem segera.

            "Oh, seminggu? Aahh.. yayaya, jadi hanya ingin berwisata sebentar saja ya, hehe..."

            "Ya sekedar belajar saja mengenai budaya dan kehidupan di sini Mas Rade. Oh iya, kami sebelum ini kan juga singgah di Samudera dan belajar sebentar di sana," Abdi menceritakan secara singkat pengalaman mereka di Samudera selama seminggu belajar bersama Imam Hasan.

            "Wah, sepertinya pengalaman kalian banyak ya.. Hmm, begini saja, saya pertemukan kalian dengan salah satu guru yang mengajar di Dayanu, bagaimana? Oh iya saya lupa memperkenalkan diri secara lengkap..." ucap Rade.

            "Nama lengkap saya Tuarade, santri Madrasah Dayanu Tingkat sepuluh. Saya asli kelahiran Buton, namun pernah tinggal di Jawa. Saya sering kemari karena mendapatkan tugas untuk mendidik penduduk sekitar mengenai agama, biasanya kami yang telah menjalani tahun ketiga di tingkat sepuluh harus bisa mengajarkan ilmu yang kami miliki kepada penduduk sekitar," jelasnya.

            "Wah, hebat juga ya santri Madrasah Dayanu bisa mengajar penduduk di sini," ucap Dalem.

            "Ah, itu hal yang lumrah kok bagi kami. Alhamdulillah saya ditugaskan di sekitar Pasar Wolio. Ada yang ditugaskan ke arah pegunungan atau bahkan ke pulau sebelah utara menggunakan kapal," lanjutnya.

            "Itu semua kami kerjakan ikhlas Lillahita'ala dan memang termasuk salah satu tugas kami sebagai santri mengajarkan apa yang kami peroleh dari Madrasah kepada masyarakat."

            "Masyaallah.. Beruntung sekali kita bisa bertemu Mas Rade di sini... Oh iya berapa lama ke arah Madarasah Mas Rade?" tanya Dalem.

            "Hmm, jika ditempuh berjalan kaki sekitar tiga jam lebih karena berada agak naik di dataran tinggi, berdekatan dengan pusat Kesultanan Buton."

            "Oh iya, rencananya saya akan menuju ke sana setelah ini sehingga pas waktu Zuhur bisa sampai di sana..."

            "Wah, kebetulan sekali Mas. Kami ikut Mas Rade kalau begitu, ah, kalau diizinkan tentunya," Abdi menambahkan sambil tersenyum.

            "Tentu saja boleh Mas Abdi dan Mas Dalem.. Oh iya kalian sudah membawa bekal sendiri kan? Saya kebetulan tidak membawa cukup uang untuk bertiga."

            "Jangan khawatir masalah itu Mas Rade, kami diberi bekal yang cukup dari Rad..."

            "Hush!" Dalem menyikut Abdi segera.

            "Eee.. maksud kami, tidak usah khawatir masalah perbekalan Mas Rade, kami bisa mengurus diri kami sendiri kok. Kami hanya meminta izin untuk ikut belajar bersama, itu saja."

            "Alhamdulillah, baik kalau begitu, kalian sudah sarapan kan? Saya sendiri sudah ketika matahari baru terbit tadi."

            Mas Rade segera mengemasi buku-buku beserta Al Quran yang ia bawa dan memasukkannya ke tas ransel sederhana. Mereka bertiga bercakap-cakap sebentar sebelum bersama-sama meninggalkan kota pelabuhan menuju ke arah pulau Buton bagian tengah, tempat Kesultanan Buton berada.

            Kesultanan Buton merupakan wilayah makmur dikarenakan posisinya yang strategis di tengah nusantara. Selain barang-barang dagangan dari seluruh penjuru nusantara mudah didapat di sini, para pembelinya pun beraneka ragam dan kadang berasal dari negeri yang jauh. Selain dengan negeri di nusantara dan sekitarnya ternyata Tiongkok, Han-Guk, seta Arab menjadi konsumen terbesar barang dagangan dari nusantara, apalagi semenjak India berperang, menjadikan Kesultanan Buton alternatif paling ideal setelah Samudera - Malaka. Selain itu Kesultanan Buton juga sesekali dijadikan markas bagi pasukan laut kerajaan-kerajaan di nusantara untuk menangkal serangan baik dari luar maupun dari dalam terutama semenjak berkobarnya perang di timur. Namun demikian, kehidupan di Buton sendiri dijaga supaya tetap harmonis dan sederhana serta tidak terkontaminasi budaya dari luar yang buruk. Mas Rade menceritakan itu semua kepada Abdi dan Dalem sepanjang perjalanan menuju bagian tengah kesultanan. Teknologi pun cukup maju di sini, Mas Rade bercerita ada seseorang dari Mataram yang kemarin lalu datang dan menawarkan kerjasama pembangunan energi terbarukan di Buton. Abdi dan Dalem yang mendengar cerita dari Mas Rade mengernyit sebentar kemudian menebak siapa yang dimaksud olehnya.

            "Sepertinya saya tahu yang dimaksud Mas Rade. Di tempat kita sudah dikelola dengan baik dan ada petugas khususnya untuk mengurusi masalah listrik," ujar Abdi.

            "Listrik mandiri sangat didukung di Mataram, saya sendiri pakai kok di rumah saya, diajari petugasnya cara masang dan pakainya," tambah Dalem.

            "Yap, setelah bekerjasama dengan Mataram kini Buton semakin baik dalam mengelola energi alam yang tak terbatas, anugerah dari Sang Pencipta, Alhamdulillah."

            Senyum Mas Rade menyiratkan semangatnya untuk terus bercerita mengenai keunikan Buton dibandingkan kerajaan lain di Nusantara. Sementara itu matahari sudah semakin naik tepat di atas mereka bertiga yang menandakan semakin dekatnya tujuan.

            Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas siang, di depan terlihat beberapa menara tinggi yang sepertinya digunakan untuk mengintai. Jalan semakin menanjak, semakin mereka berjalan mendekat terlihat bahwa di belakang menara terdapat lapangan cukup luas, di ujung lapangan itulah berdiri Madrasah Dayanu. Mas Rade memimpin jalan ketika mendekati menara yang ternyata dijaga oleh para santri. Mereka langsung mengenal Mas Rade dan mengucap salam kepadanya. Luas lapangan hampir sama dengan luas pasar wolio tanpa pedagang dan barang dagangan di dalam, sepertinya lapangan ini sering digunakan untuk kegiatan para santri.

            Madrasah ini terdiri dari lima bangunan utama. Santrinya cukup banyak dan dari berbagai jenis usia. Di mata Abdi dan Dalem mereka semua memiliki satu kesamaan yang khas, peci berwarna merah.

            "Tidak semua santri di sini seumuran saya, kami mendidik santri dari umur lima tahun, yang paling tua ada yang berumur empat puluh tahun, mungkin tingkat dua belas," jelas Mas Rade tersenyum menjawab kebingungan serta pandangan melongo Abdi dan Dalem yang tak henti hentinya melihat kesana kemari.

            Di samping lima bangunan utamanya, Madrasah Dayanu juga memiliki belasan bangunan kecil yang diperuntukkan sebagai sarana pendukung pendidikan belajar seperti UKS, toilet, perkumpulan santri dan lain sebagainya.

            "Kita akan melapor dahulu ke Ustad Murhum, beliau yang menjadi guru saya selama tingkat sepuluh," mereka bergerak ke arah Masjid cukup besar di tengah.

            "Biasanya seusai sholat zuhur Ustad Murhum mengisi kultum di Masjid, tidak ada salahnya jika kita mencari beliau dulu di sana sekalian menunaikan sholat zuhur."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun