Â
      Terik matahari sangat menyengat siang itu. Sebuah desa yang berada di pinggir kota pelabuhan, bisa diakses selama dua - tiga jam menggunakan pedati. Tempat bagi para pelancong untuk menikmati indahnya Samudera, kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Wilayahnya cukup luas dan memiliki aliansi tersendiri. Selain dengan beberapa kerajaan di Sumatera dan Malaka juga dengan kerajaan Parahiyangan dan Mataram di Pulau Jawa. Desa ini dikhususkan bagi para petani dan peternak. Tidak hanya peternak kambing dan sapi tapi peternak ikan pun banyak didapat di sini. Berbeda dengan suasana kota pelabuhan yang demikian ramai dan padat, Desa ini cukup asri dan nyaman untuk ditinggali. Kebun kelapa dan rempah menjadi pemandangan yang cukup sering ditemui. Beberapa penginapan serta kedai sederhana biasa melayani pelancong atau pedagang yang kebetulan kemari untuk melepas penat atau sekedar membeli barang dagangan secara langsung ke produsennya. Kecuali untuk tamu, bagi mereka dipersilahkan ke masjid untuk kemudian dijamu dengan makanan ala kadarnya. Abdi dan Dalem cukup beruntung. Mereka berdua hanyalah pegawai istana biasa, sedangkan yang biasanya menjadi tamu di sini adalah para patih dari kerajaan di Nusantara. Bedanya, jika pejabat kerajaan maka akan dipersilahkan ke Rumoh, yakni rumah adat khusus.
      Sedang bersantai di lantai tingkat dua masjid seusai Sholat Jumat, suara yang cukup keras memanggil keduanya. Rupanya itu adalah suara orang yang tadi pagi membawa pengumuman. Ia ditemani pria agak kekar dan tampak sedikit berumur, tak lain ialah Imam masjid yang tadi sempat mereka lihat di lapangan ketika pelaksanaan hukum islam dilaksanakan.
      Di sebelah masjid ada ruang sederhana yang biasa digunakan oleh para takmir, mereka berdua makan siang bersama di situ. Selesai bersantap siang bersama dengan menu yang cukup istimewa, yakni timphan dan gulai bebek, mereka berdua lanjut untuk bercakap-cakap dengan Imam masjid sebelum menunaikan sholat ashar.
      "Alhamdulillah.. tidak ditinggal di bawah saja itu tas kalian berdua?" Imam Masjid memulai percakapan sembari mereka duduk berhadapan di lantai. Tidak terlalu panas di dalam, bahkan angin yang masuk terasa sepoi sekali karena suasana juga sudah sepi. Hanya mereka bertiga dan di luar beberapa takmir masjid sedang bersih - bersih.
      "Ah, kami sudah biasa membawa tas kami, bahkan sambil tidur sekalipun..." ucap Dalem segera sambil tersenyum.
      "Masjid yang nyaman..." tangan abdi menyentuh lantai yang cukup dingin sembari mengeluarkan buku catatan kecil dengan logo di depannya, siap untuk segera mencatat.
      "Hmm.. kalian seperti mahasiswa saja..."
      "Hehe, iya Imam Ibrahim.. eh..." Abdi agak lupa nama lengkap beliau ketika memperkenalkan diri tadi.
      "Ibrahim Hassan, panggil saja Hassan saudara-saudaraku."
      "Masjid yang nyaman Imam Hassan, kami bersyukur bisa mampir kemari," sahut Dalem.