Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Permainan dan Pertempuran di Wilayah Sosial Budaya

22 Januari 2024   12:14 Diperbarui: 26 Januari 2024   09:30 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan tentang masalah sosial dan budaya manusia berarti membicarakan mengenai berbagai macam hal. Bisa jadi menyoal Bahasa, Sastra, Norma, Sopan Santun, hingga perilaku, atau juga yang nampak jelas seperti makanan, pakaian, bentuk rumah tempat tinggal, hingga teknologi. 

Nah, di tataran sosial dan budaya inilah manusia berinteraksi satu dengan yang lain, saling mengenal dan memperkaya khazanah diri dan masyarakatnya, untuk kemudian membentuk cipta, rasa, dan karsa yang lama kelamaan mewujud menjadi sebuah budaya.

Di dunia yang baik dan masih murni, interaksi antar manusia ini biasanya selalu menghasilkan sesuatu yang positif. Hal, yang hanya bisa terjadi jika manusia-manusia di dalamnya membawa ideologi yang sejati, yakni yang berhubungan dengan Tuhan. 

Di tempat lain, bisa jadi hal ini justru malah disalahkan, keberadaan agama menjadi sesatu yang dianggap sebagai pemicu terjadinya perang, misalnya saja perang salib. Tetapi bukankah sebelumnya di tanah Palestina misalnya, hidup berdampingan tiga agama samawi tanpa terjadi pertumpahan darah sedikitpun, bahkan mereka hidup berdampingan saling menghormati dan menghargai?

Namun setelah ada yang memegang kekuasaan dan menjalankannya dengan kesewenangan barulah terjadi peperangan yang tujuannya pun sebenarnya sangat egois. Menginginkan wilayah terntentu hanya untuk dirinya saja. Bukankah sebelumnya keadaannya damai-damai saja? Mengapa tiba-tiba terjadi pertempuran yang sebenarnya tidak perlu?

Ada satu unsur yang terlupakan, di wilayah sosial budaya, yang merupakan lapangan bagi seluruh hal untuk bertemu dan bermain, saling mengenal, sebelum memutuskan apakah bisa untuk hidup bersama, atau saling mempengaruhi dan melengkapi. 

Jika tak bisa berarti hanya ada dua pilihan, yakni saling menjauh dan hidup masing-masing atau yang terakhir adalah berperang satu sama lain. 

Satu unsur tersebut bisa dilihat sekilas oleh anak-anak yang masih bersih jiwanya namun tidak oleh orang-orang yang sudah kotor apalagi gelap hatinya. Mereka, yang dekat dengan Tuhan, menyebut satu unsur ini sebagai 'bagian yang berasal dari setan'.

Secara sederhananya,wilayah sosial budaya bisa dimisalkan sekali lagi sebuah lapangan besar. Berbagai makhluk masuk ke dalamnya dan saling berkomunikasi, masing-masing di antaranya membawa apa yang dinamakan sebagai ideologi, meskipun ada pula yang hanya ikut-ikutan dan tidak membawa apapun melainkan hanya jiwa, pikiran, dan hatinya saja yang belum mengikuti apapun juga.

Tiga bagian ini, jiwa, pikiran, dan hati, merupakan hal krusial yang menjadi bagian dari 'permainan' dan 'pertempuran' awal di sebuah pertemuan antara makhluk-makhluk yang ada di 'lapangan' sosial dan budaya tadi. Integrasi, kompetisi, hingga kolaborasi bisa saja terjadi antara jiwa, pikiran, hati yang ada di 'lapangan' tadi. 

Pada akhirnya mereka-mereka yang sudah membawa ideologi secara mantaplah yang bisa mempengaruhi dan membentuk kelompok-kelompok di dalam 'lapangan'. 

Kelompok-kelompok yang dipimpin oleh mereka-mereka yang memiliki ideologi yang kuat ini akhirnya membagi-bagi lapangan tadi menjadi beberapa bagian untuk menjadi tempat 'bermain' masing-masing. 

Lama-kelamaan, kelompok-kelompok yang memegang ideologi ini akhirnya mengenal satu dengan yang lainnya dan sekali lagi proses integrasi, kompetisi, maupun kolaborasi akan terjadi.

Dari penjelasan sederhana di atas, seharusnya kita sudah mengerti apa 'wilayah sosial budaya' yang dimaksud. Wilayah sosial budaya ini adalah wilayah yang tak nampak, yakni yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, norma, perilaku, pemikiran, serta gagasan. 

Hal-hal inilah yang bertarung satu sama lain yang akhirnya membentuk karakter suatu masyarakat. Secara tradisional, hal-hal tersebut dibawa oleh mereka yang memiliki pengetahuan lebih dengan kata-katanya, ceramahnya, atau yang paling efektif adalah dengan buku-buku yang ditulisnya.

Sejarah membuktikan keampuhan Buku Mein Kamf, yang memunculkan kembali kebanggan sebagai bangsa arya, yang akhirnya membuat Jerman gelap mata karena kesombongannya sehingga secara gegabah menyerang 'beruang tidur' di utara. 

Sebuah serangan yang memusnahkan sendiri wilayah 'sosial dan budaya'nya sehingga harus saling memusuhi satu sama lain. Jerman Barat dan Jerman Timur baru bisa Bersatu kembali setelah 51 tahun dipisahkan oleh dua ideologi buatan, yakni pada 3 oktober 1990.

Bagi mereka-mereka yang dekat dengan Tuhan, selalu bisa 'membaca' hal-hal yang tidak nampak, bahwa ada 'bagian dari setan' di 'permaianan' dan 'pertempuran' wilayah sosial budaya tadi. 

Mereka yang jeli pasti bisa melihat bahwa komunisme dan demokrasi kala itu hanya untuk membawa seluruh bangsa di dunia ke dalam imperialisme modern. 

Sejak saat itu dunia mengenal apa yang dinamakan dengan 'global civilization' atau 'peradaban global'. Manusia-manusianya berkomunikasi dengan satu bahasa, yang menjadi standar universitas-universitas hampir di seluruh dunia.

Jadi, ketika menjadikan seorang sarjana yang akan kembali ke wilayah asalnya dulu, ia akan menjadi pemimpin dan secara sadar maupun tidak akan mengajarkan cara hidup yang sama yang juga dianut mereka yang menjadi bagian dari 'global society' atau 'masyarakat global'.

Teknologi, yang berada di tataran yang tampak, tanpa disadari juga menjadi medium untuk menularkan dan mengubah kondisi sosial budaya suatu wilayah. Sayangnya, 'bagian dari setan' tidak bisa dilihat oleh mereka yang tidak berpegang pada apapun, alias hanya ikut-ikutan saja. 

Hilangnya rasa malu, anak-anak yang tak tahu sopan santun, hingga sifat-sifat kekerasan yang menjadi keseharian menjadi satu diantara tontonan pornografi di HP-HP yang pasti dimiliki oleh orang-orang masa kini. 

Mereka yang bisa melihat, pasti segera 'membatasi' dan 'memagari' sehingga jika teknologi itu dipakai dalam jangka waktu yang lama tidak begitu akan mempengaruhi karakter dan moral yang sudah baik dan terpatri.

Nah, manusia-manusia Nuzantara zaman dahulu selalu menjaga cara-cara hidup, hubungan sosialnya agar dekat kepada Tuhan dan tak pernah jauh dari alam. Budaya yang mereka hasilkan pun selaras dan tak pernah merusak kondisi lingkungan. Kini, asap mengebul di mana pun berada, membawa racun dari hasil pembakaran fosil yang sudah mendunia. Negeri ini pun ikut-ikutan terkena dampaknya. 

Mereka yang hidup dekat dengan Tuhan, sekali lagi, bisa melihat, rusaknya alam, banyaknya kejadian bencana, musim yang tak menentu, udara yang kotor dan semakin panas ada kaitannya erat dengan manusianya yang tak lagi menggunakan akal, pikiran, dan hatinya dengan baik sehingga jiwanya yang rusak ikut memberikan sumbangsih terhadap rusaknya alam.

Runtuhnya moral, yang dibarengi dengan rusaknya alam, sekali lagi hanya bisa dilihat lebih dahulu terutama oleh mereka yang dekat dengan Tuhan, menjadi sebuah pertanda bahwa 'setan telah menang'. 

Banyaknya kasus kekerasan dan perkosaan terhadap anak kecil dan perempuan-perempuan yang tak berdaya, pembunuhan di dalam keluarga sendiri, hingga kasus-kasus tak masuk akal kini sudah menjadi biasa sekali. Korupsi yang dibiarkan bukan berita baru lagi, malah ada yang mungkin di alam pikiran bawah sadarnya sekarang ini menganggap wajar, kekuasaan pasti berbanding lurus dengan kejadian korupsi. Bahkan bisa jadi 'orang baik' itu sekarang adalah pemimpin yang 'korupsinya hanya sedikit'.

Nusantara sedari dulu selalu mengutamakan bangunan yang tak nampak, bangunan yang tidak bisa dinilai sederhana secara fisik, bangunan yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dimana coba letak peninggalan istana megah Majapahit? Singosari? Sriwijaya? Tuhan telah memberkahi manusia-manusia Nusantara dengan ilmu dan ilham serta kebijaksanaan. 

Hubungan manusia nusantara itu bukan dengan teknologi modern, bukan dengan budaya tak tahu malu, bukan dengan mengumbar nafsu seenaknya saja. 

Manusia-manusia Nusantara adalah manusia-manusia yang hanya tunduk kepada Raja yang juga bersujud pada-Nya. Raja-raja inilah yang selalu menjadi pemimpin di Nusantara, sehingga yang dibangun pertama kali tentu tak jauh dari ibadah.

Istana megah yang dipandang gagah bukan yang utama, tetapi norma-norma hidup yang sempurna, bersama alam hidup bersama. Istana yang dibangun raja-raja Nusantara dahulu adalah istana berbentuk tak kasat mata, yang bisa dilihat lewat karakter utama manusia nusantara yang selalu dekat dengann Tuhannya. 

Peradaban barat datang membawa kebutaan, kini manusia-manusia hanya melihat sebelah mata. Mata kanan para pemimpin yang buta un masyarakatnya, yang menyimbolkan mata hati, menjadi penyebab merosotnya moral dan perilaku di mana-mana. Seperti simbol yang disembah mereka yang datang membawa peradaban barat itu, yang berdiri di atas piramida.

Sosial budaya, sekali lagi, merupakan tempat bertemu, kita bisa bermain dan juga sebaliknya, bisa bertempur satu sama lain. Kebanyakan diantara manusia-manusia yang ada sekarang tidak memegang sesuatu yang teguh dalam bersosialisasi dan berbudaya. Mereka semua hanya ikut-ikutan saja, padahal di masa-masa depan ideologi akan kembali mengambil peran.

Perang dunia sudah dimulai, ideologi zinonisme tentu tidak bisa hidup berdampingan dengan Islam di Tanah Arab. Apalagi setelah genosida terjadi di Palestina, yang dampaknya akan membawa negara-negara di dunia untuk ikut bertarung hingga mengabiskan sumber daya yang mereka miliki. 

Di saat itu, ideologi buatan akan kembali datang dan menipu, dan kondisi sosial budaya Nusantara akan menjadi bahan permainan kembali. 

Ada pepatah mengatakan 'mereka yang tidak berpegang teguh pada apapun, maka mereka akan jatuh juga pada sebab apapun itu' sedangkan mereka yang berpegang teguh akan terus menjawab tantangan zaman, bisa mengenali 'bagian dari setan', dan terus melawan untuk bertahan maupun meraih kemenangan.      

Jakarta, 22 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun