Guru Nasional. Ibu penulis sendiri juga seorang guru yang mengajar di Sekolah Menengah Atas, kini beliau sedang menikmati masa pensiun.
Tanggal 25 November selalu memberikan arti tersendiri bagi penulis karena merupakan hari lahir, kebetulan tanggal tersebut juga bertepatan dengan HariGuru-guru Indonesia yang notabene merupakan pahlawan bangsa karena dari tangan-tangan merekalah lahir para satria-satria yang dengan sepenuh hati mengurus bangsa dan negara, dari hasil didikan mereka setiap harilah para pemimpin-pemimpin bangsa ini dibentuk.
Namun demikian, kadang kita lupa untuk menghargai mereka, perjuangan tak kenal lelah untuk mendidik generasi penerus bangsa.
Rasa egois juga acap kali terlihat dari para orang tua serta wali murid yang datang ke sekolah hanya pada waktu pembagian rapor saja. Apa yang ada di dalam benak mereka hanyalah keinginan dan keharusan bagi sekolah untuk menjadikan anak-anak mereka meningkat kelasnya.
Terkadang para orang tua dan wali murid itu melupakan bagaimana akhlak serta moral anak-anaknya sendiri, di rumah maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan siapa mereka bermain setiap hari baik di sekolah maupun di luar, sehingga hal tersebut juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang jiwanya di kemudian hari.
Prestasi, itu yang selalu menjadi perhatian utama, selain tentu saja masalah pembiayaan sekolah yang melibatkan hal-hal lain pula di luarnya, seperti les dan sebagainya.
Untuk beberapa orang tua memang hal tersebut bisa menjadi begitu memusingkan, namun menuntut agar sekolah dapat menjadikan anaknya menjadi seseorang yang diharapkan baik dari luar maupun di dalam harus juga diiringi dengan didikan yang baik pula di rumah.
Oleh karena pada dasarnya rumah adalah tempat pendidikan yang pertama dan menjadi bagian sangat penting pula bagi tumbuh kembangnya selain sekolah.
Menggali Darurat Kekerasan dan Kesehatan Mental dibalik Senyuman Remaja Indonesia
Kesehatan mental dan kekerasan di lingkungan pendidikan merangkum kehidupan remaja Indonesia dalam dua sisi yang saling berkaitan. Data yang dikeluarkan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan pemandangan yang memilukan. Inilah saatnya kita meresapi keadaan yang memprihatinkan, sambil berpikir keras tentang solusi yang bisa memberikan harapan bagi masa depan generasi penerus bangsa.
Menurut I-NAMHS, 1 dari 3 remaja Indonesia, usia 10-17 tahun, menghadapi masalah kesehatan mental. Sebuah statistik yang mengguncang, bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari kehidupan nyata mereka yang terkadang tak terungkapkan. Dari 15,5 juta remaja yang terkena dampak, 2,45 juta di antaranya terdiagnosis dengan gangguan mental dalam setahun terakhir.
Penelitian ini membongkar lapisan kelam dalam kehidupan remaja, di mana gangguan cemas menjadi bayangan paling menakutkan yang mencapai 3,7%. Tidak jauh dari belakang, depresi mayor dan gangguan perilaku masing-masing mencapai 1,0% dan 0,9%. Setiap angka itu merinci kisah unik dan sering kali terabaikan, terutama mengingat hanya 2,6% remaja yang mengalami masalah kesehatan mental yang mencari bantuan profesional.
Siswanto Agus Wilopo, peneliti utama I-NAMHS, dengan nada keprihatinan menyoroti keterbatasan remaja dalam mengakses fasilitas kesehatan mental. "Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka," ujarnya.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan sorotan terhadap darurat kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Dari 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang dilaporkan hingga Agustus 2023, kekerasan fisik dan psikis menduduki peringkat tertinggi dengan 236 kasus. Bullying, pemenuhan fasilitas pendidikan, kebijakan pendidikan, dan kekerasan seksual merupakan sebagian dari "gunung es" yang dihadapi oleh anak-anak di sekolah.
Diyah Puspitarini, Komisioner KPAI Pj Kluster Kekerasan Fisik/Psikis Anak, menyebutkan beberapa penyebab tingginya angka kekerasan, termasuk dampak pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19, pengaruh game online, dan media sosial yang menyajikan tayangan penuh kekerasan.
Kedua isu ini saling terkait, menciptakan tantangan kompleks bagi generasi muda Indonesia. Kesimpang-siuran informasi di media massa yang tidak ramah anak turut mendorong perilaku kekerasan di sekolah. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung pertumbuhan karakter positif justru terasa sebagai medan pertempuran emosional.
Melihat kondisi ini, tantangan bagi kita semua adalah merangkul perubahan. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat, lembaga pendidikan, dan media massa perlu bersatu untuk menciptakan solusi konkret. Lingkungan yang mendukung pertumbuhan positif, penyuluhan kesehatan mental, dan pengawasan yang ketat di lingkungan pendidikan adalah langkah awal yang krusial.
Kesehatan mental dan kekerasan di lingkungan pendidikan merangkum kehidupan remaja Indonesia dalam dua sisi yang saling berkaitan. Data yang dikeluarkan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan pemandangan yang memilukan.
Inilah saatnya kita meresapi keadaan yang memprihatinkan, sambil berpikir keras tentang solusi yang bisa memberikan harapan bagi masa depan generasi penerus bangsa.
Pentingnya Komunikasi dan Kolaborasi Antara Sekolah dan Rumah
Berdasarkan pengalaman penulis, ketika dahulu Ibu saya masih aktif mengajar sebagai Guru di SMA dan sempat pula menjadi wakil kepala sekolah, banyak dari orang tua serta wali-wali murid yang tidak tahu pergaulan anak mereka di luar rumah. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh seorang guru, terutama jika ia harus terlibat ke dalam urusan kesiswaan yang ruwet dan penuh masalah, apalagi jika sekolah terletak di wilayah yang rentan akan tindak kriminal.
Penulis sendiri sering mendengar berbagai masalah yang dialami oleh Ibu karena tindakan siswanya, yang notabene kebanyakan masih remaja yang enggan dewasa. Mulai dari perkelahian, hamil di luar nikah, hingga keterlibatan dengan narkoba. Bahkan masalah nilai yang buruk pun sebenarnya jika diangkat ke permukaan banyak sekali yang akan tidak lulus ujian serta harus tinggal kelas. Jika dilakukan secara fair, pasti tetap ada yang harus tinggal kelas, apalagi sekolah-sekolah yang menampung sisa-sisa mereka yang nilainya rendah serta tidak mampu bersaing di sekolah-sekolah bagus atau favorit.
Beberapa kali saya mendengar cerita dari beliau, jika ada siswa yang dinyatakan tidak lulus ujian, maka orang tuanya pasti memberikan ancaman kepada guru-guru di sekolah. Ada cerita seorang Bapak yang tidak terima anaknya tidak naik kelas dan protes ke sekolah namun sambil membawa parang dan membuat kegaduhan.
Ada lagi siswa yang dibantu untuk sembuh dari ketergantungannya akan narkoba oleh guru di sekolah, namun orang tuanya merasa tidak terima dan tak mau percaya kenyataan yang dialami anak kesayangannya.
Belum lagi kasus-kasus lainnya seperti pelecehan seksual, perkelahian, perundungan, dan sebagainya. Semua orang tua yang dihadirkan di sekolah susah diajak bekerjasama dan menerima kenyataan yang sedang terjadi.
Demikianlah, hal-hal di atas merupakan salah satu tekanan yang dihadapi para guru yang berjuang untuk menelurkan generasi-generasi terbaik bangsa. Cerita-cerita seperti menaikkan nilai siswa yang tidak lulus sudah menjadi rahasia umum.
Namun demikian, perhatian para guru di sekolah selalu membekas, bahkan bagi mereka yang sangat keterlaluan sekalipun, karena di rumah, mereka kebanyakan hanya dibiarkan saja. Paling banter diingatkan untuk belajar, orang tua selalu sibuk kepada urusannya masing-masing.
Hidup di era modern sebenarnya tidak berbeda jauh dengan di zaman dahulu, kecuali dalam hal teknologi yang memudahkan aktivitas manusia. Kehidupan pekerjaan yang menuntut para orang tua untuk bekerja keras setiap hari di masa sekarang seharusnya sudah menjadi lebih mudah, bukan malah membuat kita semakin kehilangan waktu bersama keluarga. Bukankah saat pandemi lalu mengajarkan kita akan kemudahan bekerja secara remote dan lebih bisa mengatur waktu kita bersama anak dan keluarga?
Pendidikan di rumah harus menjadi yang pertama dan selanjutnya menjadi penyeimbang dan kontrol atas apa yang terjadi di luar, lalu saatnya kolaborasi dengan sekolah untuk memantapkan pendidikan terhadap anak-anak. Rumah menjadi yang utama dan sekolah menjadi supporting utama terhadap pendidikan anak.
Harus diingat bahwa pendidikan itu tidak hanya soal nilai pelajaran di sekolah, tapi pun mengenai akhlak, perilaku, dan moral seorang anak. Pergaulan yang terawasi dan baik, di lingkungan rumah, di luar rumah, maupun di sekolah juga menjadi penentu. Dengan siapa mereka berteman, orang tua dan wali murid harus tahu.
Berdasarkan pengalaman penulis, komunikasi yang dilakukan secara rutin dan terjadwal dapat meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri, baik di rumah maupun di sekolah. Saya memiliki anak umur 6 tahun yang kini bersekolah kelas 1 di SD Islam (swasta). Ada pertemuan rutin antara orang tua siswa dan wali murid dengan guru. Setiap kali pertemuan diadakan, pasti membahas masalah-masalah apa saja yang menjadi perhatian.
Di pertemuan-pertemuan rutin itu pasti dibahas berbagai masalah, mulai dari anak yang mengompol di kelas, siapa-siapa saja yang berkelahi, sampai kenakalan-kenakalan ringan yang dilakukan anak-anak. Dari situ selalu dilanjutkan dengan  perbaikan-perbaikan yang juga dimonitor lewat grup whatsapp para wali murid, sebuah contoh yang bagus untuk kemajuan pendidikan anak.
Peran orang tua dan wali murid juga tidak lupa untuk ditekankan, bagaimana mereka mengontrol perilaku anak dan mengawasi dengan siapa-siapa saja anaknya bergaul. Tak hanya mengingatkan untuk belajar dan mengerjakan PR (pekerjaan rumah), mengajarkan anak untuk teratur beribadah juga sangat membantu tumbuh kembangnya yang sangat berhubungan dengan perkembangan jiwa, kepribadian, dan moral.
Dalam mendidik anak, sekali lagi harus diingat bahwa rumah menjadi yang pertama, baru kemudian sekolah. Dengan siapa anak-anak kita bergaul dan apa-apa saja yang mereka lakukan di luar sana haruslah mendapat pengawasan orang tua. Mereka yang bergaul dengan orang yang buruk pasti mendapatkan keburukannya, sebaliknya mereka yang bergaul dengan orang yang baik pasti tertular kebaikannya. Perhatian dan pengawasan orang tua serta guru di sekolah menjadi kolaborasi utama terhadap pendidikan sesungguhnya dalam diri anak. Â
KPAI dan I-NAMHS juga tidak sekadar menyuguhkan data dan fakta, tetapi merupakan panggilan untuk tindakan nyata. Inilah saatnya untuk mendengarkan teriakan hati remaja, memberikan mereka tempat yang aman untuk berbicara, dan membantu mereka melewati labirin emosional yang kompleks.
Sebagai masyarakat yang peduli, mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung, memberikan perhatian yang serius kepada pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah, dan memberikan keseimbangan serta kolaborasi yang baik bagi pendidikan intelektual dan spiritualnya. Kita bersama memiliki tanggung jawab untuk menjaga masa depan cerah bagi generasi yang sedang tumbuh dewasa di negeri ini.
Sumber: berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H