Penelitian ini membongkar lapisan kelam dalam kehidupan remaja, di mana gangguan cemas menjadi bayangan paling menakutkan yang mencapai 3,7%. Tidak jauh dari belakang, depresi mayor dan gangguan perilaku masing-masing mencapai 1,0% dan 0,9%. Setiap angka itu merinci kisah unik dan sering kali terabaikan, terutama mengingat hanya 2,6% remaja yang mengalami masalah kesehatan mental yang mencari bantuan profesional.
Siswanto Agus Wilopo, peneliti utama I-NAMHS, dengan nada keprihatinan menyoroti keterbatasan remaja dalam mengakses fasilitas kesehatan mental. "Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka," ujarnya.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan sorotan terhadap darurat kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Dari 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang dilaporkan hingga Agustus 2023, kekerasan fisik dan psikis menduduki peringkat tertinggi dengan 236 kasus. Bullying, pemenuhan fasilitas pendidikan, kebijakan pendidikan, dan kekerasan seksual merupakan sebagian dari "gunung es" yang dihadapi oleh anak-anak di sekolah.
Diyah Puspitarini, Komisioner KPAI Pj Kluster Kekerasan Fisik/Psikis Anak, menyebutkan beberapa penyebab tingginya angka kekerasan, termasuk dampak pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19, pengaruh game online, dan media sosial yang menyajikan tayangan penuh kekerasan.
Kedua isu ini saling terkait, menciptakan tantangan kompleks bagi generasi muda Indonesia. Kesimpang-siuran informasi di media massa yang tidak ramah anak turut mendorong perilaku kekerasan di sekolah. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung pertumbuhan karakter positif justru terasa sebagai medan pertempuran emosional.
Melihat kondisi ini, tantangan bagi kita semua adalah merangkul perubahan. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat, lembaga pendidikan, dan media massa perlu bersatu untuk menciptakan solusi konkret. Lingkungan yang mendukung pertumbuhan positif, penyuluhan kesehatan mental, dan pengawasan yang ketat di lingkungan pendidikan adalah langkah awal yang krusial.
Kesehatan mental dan kekerasan di lingkungan pendidikan merangkum kehidupan remaja Indonesia dalam dua sisi yang saling berkaitan. Data yang dikeluarkan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan pemandangan yang memilukan.
Inilah saatnya kita meresapi keadaan yang memprihatinkan, sambil berpikir keras tentang solusi yang bisa memberikan harapan bagi masa depan generasi penerus bangsa.
Pentingnya Komunikasi dan Kolaborasi Antara Sekolah dan Rumah
Berdasarkan pengalaman penulis, ketika dahulu Ibu saya masih aktif mengajar sebagai Guru di SMA dan sempat pula menjadi wakil kepala sekolah, banyak dari orang tua serta wali-wali murid yang tidak tahu pergaulan anak mereka di luar rumah. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh seorang guru, terutama jika ia harus terlibat ke dalam urusan kesiswaan yang ruwet dan penuh masalah, apalagi jika sekolah terletak di wilayah yang rentan akan tindak kriminal.
Penulis sendiri sering mendengar berbagai masalah yang dialami oleh Ibu karena tindakan siswanya, yang notabene kebanyakan masih remaja yang enggan dewasa. Mulai dari perkelahian, hamil di luar nikah, hingga keterlibatan dengan narkoba. Bahkan masalah nilai yang buruk pun sebenarnya jika diangkat ke permukaan banyak sekali yang akan tidak lulus ujian serta harus tinggal kelas. Jika dilakukan secara fair, pasti tetap ada yang harus tinggal kelas, apalagi sekolah-sekolah yang menampung sisa-sisa mereka yang nilainya rendah serta tidak mampu bersaing di sekolah-sekolah bagus atau favorit.