Beberapa kali saya mendengar cerita dari beliau, jika ada siswa yang dinyatakan tidak lulus ujian, maka orang tuanya pasti memberikan ancaman kepada guru-guru di sekolah. Ada cerita seorang Bapak yang tidak terima anaknya tidak naik kelas dan protes ke sekolah namun sambil membawa parang dan membuat kegaduhan.
Ada lagi siswa yang dibantu untuk sembuh dari ketergantungannya akan narkoba oleh guru di sekolah, namun orang tuanya merasa tidak terima dan tak mau percaya kenyataan yang dialami anak kesayangannya.
Belum lagi kasus-kasus lainnya seperti pelecehan seksual, perkelahian, perundungan, dan sebagainya. Semua orang tua yang dihadirkan di sekolah susah diajak bekerjasama dan menerima kenyataan yang sedang terjadi.
Demikianlah, hal-hal di atas merupakan salah satu tekanan yang dihadapi para guru yang berjuang untuk menelurkan generasi-generasi terbaik bangsa. Cerita-cerita seperti menaikkan nilai siswa yang tidak lulus sudah menjadi rahasia umum.
Namun demikian, perhatian para guru di sekolah selalu membekas, bahkan bagi mereka yang sangat keterlaluan sekalipun, karena di rumah, mereka kebanyakan hanya dibiarkan saja. Paling banter diingatkan untuk belajar, orang tua selalu sibuk kepada urusannya masing-masing.
Hidup di era modern sebenarnya tidak berbeda jauh dengan di zaman dahulu, kecuali dalam hal teknologi yang memudahkan aktivitas manusia. Kehidupan pekerjaan yang menuntut para orang tua untuk bekerja keras setiap hari di masa sekarang seharusnya sudah menjadi lebih mudah, bukan malah membuat kita semakin kehilangan waktu bersama keluarga. Bukankah saat pandemi lalu mengajarkan kita akan kemudahan bekerja secara remote dan lebih bisa mengatur waktu kita bersama anak dan keluarga?
Pendidikan di rumah harus menjadi yang pertama dan selanjutnya menjadi penyeimbang dan kontrol atas apa yang terjadi di luar, lalu saatnya kolaborasi dengan sekolah untuk memantapkan pendidikan terhadap anak-anak. Rumah menjadi yang utama dan sekolah menjadi supporting utama terhadap pendidikan anak.
Harus diingat bahwa pendidikan itu tidak hanya soal nilai pelajaran di sekolah, tapi pun mengenai akhlak, perilaku, dan moral seorang anak. Pergaulan yang terawasi dan baik, di lingkungan rumah, di luar rumah, maupun di sekolah juga menjadi penentu. Dengan siapa mereka berteman, orang tua dan wali murid harus tahu.
Berdasarkan pengalaman penulis, komunikasi yang dilakukan secara rutin dan terjadwal dapat meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri, baik di rumah maupun di sekolah. Saya memiliki anak umur 6 tahun yang kini bersekolah kelas 1 di SD Islam (swasta). Ada pertemuan rutin antara orang tua siswa dan wali murid dengan guru. Setiap kali pertemuan diadakan, pasti membahas masalah-masalah apa saja yang menjadi perhatian.
Di pertemuan-pertemuan rutin itu pasti dibahas berbagai masalah, mulai dari anak yang mengompol di kelas, siapa-siapa saja yang berkelahi, sampai kenakalan-kenakalan ringan yang dilakukan anak-anak. Dari situ selalu dilanjutkan dengan  perbaikan-perbaikan yang juga dimonitor lewat grup whatsapp para wali murid, sebuah contoh yang bagus untuk kemajuan pendidikan anak.
Peran orang tua dan wali murid juga tidak lupa untuk ditekankan, bagaimana mereka mengontrol perilaku anak dan mengawasi dengan siapa-siapa saja anaknya bergaul. Tak hanya mengingatkan untuk belajar dan mengerjakan PR (pekerjaan rumah), mengajarkan anak untuk teratur beribadah juga sangat membantu tumbuh kembangnya yang sangat berhubungan dengan perkembangan jiwa, kepribadian, dan moral.