Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kontroversi Peristiwa 11 September 2001: Titik Tolak Invasi Amerika ke Timur Tengah?

11 September 2023   11:05 Diperbarui: 11 September 2023   12:59 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ledakan di Gedung WTC, 11 September 2001, sumber: Getty Images via Kompas.com 

Dua puluh dua tahun telah berlalu semenjak kejadian runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC). Dua buah pesawat Boeing 767 diberitakan menabrak kedua menara tersebut. Beberapa keanehan seperti menara ketiga di kompleks World Trade Centre, yaitu WTC7 kolaps hanya dalam hitungan tujuh detik. Hal yang tak wajar, karena sangat cepatnya proses gedung itu ambruk, seolah-olah atau memang karena bahan peledak yang dipasang di gedungnya. Secara umum peristiwa besar ini masih menyisakan tanda tanya, apakah memang benar terjadi sesuai dengan apa yang telah diberitakan atau hal tersebut merupakan sesuatu yang direncakan oleh 'orang dalam' atau yang disebut Presiden J.F. Kennedy sebagai 'Man in Black', sebelum ia menemui ajalnya karena peluru penembak jitu.

Beberapa Kejanggalan dari Peristiwa Runtuhnya Menara WTC

Cara Bangunan Jatuh Secara Sempurna

Tujuh jam setelah tragedi mematikan pesawat di Pennsylvania, ketika debu dan kehancuran masih menyelimuti New York City, terjadi satu lagi kejadian yang menyisakan tanda tanya besar. Menara WTC7, yang berdiri tegak dalam jarak hanya 100 meter dari megahnya Menara Kembar berlantai 110, runtuh dengan dramatis hanya dalam hitungan tujuh detik. Ini adalah sebuah bangunan megah yang 'hanya' memiliki 47 lantai.

Dalam sejarah tragis hari itu, di mana nyawa 2.977 orang hilang dalam serangan mengerikan ini, runtuhnya WTC7 menjadi bab terpisah yang tak kalah misterius. Kecepatan kolapsnya mengundang beragam pertanyaan. Apakah ini benar-benar bisa terjadi secara alami? Bagaimana mungkin sebuah bangunan seperti itu bisa runtuh dengan kecepatan yang sama dengan sebuah objek yang jatuh bebas?

Tentu saja, jawaban resmi menyebutkan bahwa api yang dipicu oleh serangan pesawat adalah penyebab utama keruntuhan WTC7. Namun, bagi banyak orang, pertanyaan-pertanyaan tetap menggantung di udara. Bagaimana mungkin api bisa menyebabkan runtuhnya sebuah bangunan dengan posisi yang tampak sempurna? Sejumlah ilmuwan dan peneliti mempertanyakan penjelasan ini, dan kebingungannya masih membara.

Ada klaim yang kontroversial yang mengatakan bahwa gedung-gedung ini sengaja diledakkan, dan klaim ini diperkuat oleh kesaksian langsung dari petugas pemadam kebakaran yang berani di tengah kekacauan.

Dalam catatan verbal resmi dari staf Departemen Pemadam Kebakaran New York pada 9/11, hampir seperempat dari mereka mendengar ledakan sebelum gedung WTC runtuh. Saksi mata, seperti petugas pemadam kebakaran Richard Banaciski, melaporkan bahwa mereka merasakan ledakan yang mengguncang gedung. "Baru saja terjadi ledakan. Sepertinya mereka meledakkan gedung-gedung ini. Ledakannya memutar seperti ikat pinggang," ujar Banaciski.

Kesaksian serupa juga datang dari petugas pemadam kebakaran lainnya, seperti Kenneth, yang menyatakan bahwa suara ledakan terdengar di Menara Selatan dan terasa seolah-olah bom sengaja diledakkan dengan sinkronisasi yang mengerikan. Bahkan Kapten Pemadam Kebakaran Dennis Tardio mengungkapkan pengalaman serupa, mengatakan bahwa dia mendengar ledakan dan menyaksikan gedung WTC runtuh seperti runtuhnya domino.

Yang tak kalah mencengangkan adalah bahwa fenomena yang sama terjadi pada gedung WTC7, yang berjarak tidak jauh dari Menara Kembar utama. Gedung ini berfungsi sebagai kantor dinas rahasia dan pusat komando darurat wali kota New York Rudy Giuliani. Namun, pada tahun 2008, sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Institut Standar dan Teknologi Nasional (NIST) atas perintah pemerintah AS menyimpulkan bahwa runtuhnya WTC7 disebabkan oleh kebakaran di berbagai lantai.

Namun, banyak pengamat yang hadir pada hari itu bersikeras bahwa mereka mendengar suara ledakan sebelum gedung kolaps. NIST tetap bersikeras bahwa tidak ada bukti ledakan yang terkontrol.

Sebuah pertanyaan mendasar muncul: apakah benar kebakaran saja yang bisa menyebabkan keruntuhan gedung-gedung ini atau ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan? Dr. J. Leroy Hulsey, seorang insinyur dari Universitas Alaska, menolak penjelasan NIST dan mengklaim bahwa kebakaran saja tidak akan mungkin menyebabkan gedung kolaps.

Teori kontroversial ini mengundang kita untuk berpikir ulang tentang apa yang terjadi pada hari itu. Apakah mungkin bahwa kita diarahkan untuk mempercayai bahwa gedung-gedung bertingkat tinggi dengan struktur baja bisa hancur hanya oleh api, tanpa campur tangan bahan peledak?

Selain itu, perlu dicatat bahwa keruntuhan gedung WTC7 terjadi dengan presisi horizontal yang luar biasa. Menurut Profesor David Ray Griffin, hanya perusahaan penghancur gedung profesional kelas dunia yang mampu mencapai tingkat presisi seperti itu.

Respon pertahanan Amerika saat kejadian

Dalam bayang-bayang tragedi 9/11 yang mengguncang dunia, ada aspek yang tetap menebar misteri: tidak adanya respons cepat jet tempur AS. Meskipun Amerika Serikat memiliki prosedur intersepsi yang ketat jika ada kecurigaan pembajakan pesawat di udara, pada hari tersebut, pesawat yang katanya dibajak oleh teroris Al Qaeda berhasil melewati semua radar tanpa hambatan.

Selama sembilan bulan sebelum 9/11, prosedur intersepsi telah dilakukan setidaknya 67 kali, mengonfirmasi bahwa ini adalah langkah standar dalam menghadapi situasi yang meragukan. Namun, mengapa prosedur ini tidak diaktifkan pada hari yang tragis itu? Ini adalah pertanyaan yang belum dijawab sepenuhnya, dan keraguan tetap menghantui banyak orang.

Catatan Saham yang Mencurigakan

Ada catatan lain yang tak kalah mencengangkan: transaksi saham yang mencurigakan. Volume put option, yang merupakan taruhan pada penurunan harga saham, melonjak tajam sebelum 9/11. Yang membuatnya semakin mencurigakan adalah bahwa opsi ini dibeli atas nama saham Morgan Stanley Dean Witter, sebuah perusahaan yang menempati lantai 22 di World Trade Center.

Namun, yang lebih mencengangkan adalah volume put option yang diperdagangkan atas nama American dan United Airlines, dua maskapai yang mengoperasikan pesawat yang dibajak oleh teroris. Tiga hari sebelum tragedi, perdagangan saham kedua maskapai ini melonjak hingga 1.200 persen. Ketika saham-saham ini jatuh tajam setelah serangan, nilai dari opsi tersebut berlipat ganda. Dalam hitungan hari, ada yang mengantongi keuntungan sekitar $ 10 juta atau sekitar Rp 148 miliar.

CBS News menuliskan bahwa Sejumlah transaksi saham yang luar biasa ini nampaknya mempertaruhkan bahwa harga saham American Airlines akan merosot. Transaksi-transaksi tersebut dikenal sebagai "put options" dan melibatkan lebih dari 450.000 saham American Airlines. Namun, yang mengundang perhatian adalah lebih dari 80 persen dari pesanan-pesanan tersebut adalah dalam bentuk "put options," melebihi jauh jumlah opsi "call" yang bertaruh bahwa harga saham akan naik.

Sumber-sumber yang kompeten mengungkapkan bahwa mereka belum pernah melihat ketidakseimbangan semacam ini sebelumnya, seperti yang disampaikan oleh Koresponden CBS News, Sharyl Attkisson. Dalam kondisi normal, angka-angka ini harusnya seimbang.

Setelah serangan teroris, harga saham American Airlines jelas mengalami penurunan sebesar 39 persen. Menurut informasi dari berbagai sumber, penurunan ini berarti keuntungan total mencapai lebih dari $5 juta bagi individu atau kelompok yang berani bertaruh bahwa harga saham tersebut akan merosot.

Pemberitaan Media yang Mendahului Peristiwa Sebenarnya

Dalam sejarah teori konspirasi seputar peristiwa 9/11, ada satu bukti yang terus membingungkan dan menarik perhatian: video dari arsip BBC yang tampaknya menunjukkan jaringan tersebut melaporkan keruntuhan World Trade Center Building 7 lebih dari dua puluh menit sebelum bangunan tersebut benar-benar runtuh pada pukul 17.20 pada sore yang tragis itu. Rekaman menakjubkan ini menampilkan reporter BBC, Jane Standley, membicarakan keruntuhan Salomon Brothers Building sementara, secara paradoks, bangunan itu masih tegak utuh dalam gambar latar belakang.

Pertanyaan yang telah bertahan selama bertahun-tahun adalah: Bagaimana BBC tampaknya bisa memprediksi keruntuhan WTC 7, dan mengapa mereka melaporkannya ketika bangunan tersebut jelas masih berdiri di latar belakang?

Episode aneh ini telah menghasilkan berbagai spekulasi dan teori. Beberapa berpendapat bahwa ini adalah bukti adanya pengetahuan sebelumnya atau, bahkan lebih kontroversial, keterlibatan dalam peristiwa 9/11. Sudah merupakan rahasia umum bahwa hampir seluruh media di Amerika adalah boneka.

Sebuah False Flag untuk Melakukan Invasi ke Timur Tengah

Profesor David Ray Griffin, seorang pengajar filsafat di Claremont School of Theology California, telah menghadirkan teori kontroversial dalam bukunya yang berjudul "Bush and Cheney: How They Ruined America And The World." Teorinya mengusulkan bahwa peristiwa tragis 9/11 sebenarnya merupakan peristiwa yang direkayasa dengan sengaja untuk menciptakan alasan bagi Amerika Serikat untuk menguasai Timur Tengah.

Griffin menunjukkan bahwa terdapat konsensus yang berkembang yang menyatakan bahwa serangan 9/11 memberikan Amerika Serikat kesempatan untuk menjalankan kebijakan ekstremis, termasuk kampanye Perang Melawan Teror dan invasi ke Afghanistan serta Irak sebagai langkah awal dalam mengambil alih kendali di Timur Tengah.

Hal yang lebih mencengangkan adalah bahwa Griffin bahkan membandingkan serangan 9/11 dengan Operation Northwoods, sebuah rencana yang dikecam yang tidak pernah dieksekusi selama masa kepresidenan John F. Kennedy. Operation Northwoods, pada dasarnya, adalah rencana untuk memicu serangkaian serangan teror di dalam negeri Amerika Serikat, dengan niatan akhir untuk menyalahkan komunisme Kuba dan memberikan alasan untuk invasi dengan tujuan menggulingkan Fidel Castro.

Ini membawa kita pada pertanyaan yang menggelitik: Apakah mungkin, pada pagi yang gelap di bulan September 2001, Gedung Putih membiarkan atau bahkan memanipulasi peristiwa yang melibatkan warga sipilnya sendiri sebagai dalih untuk memulai perang melawan Al Qaeda dan Osama Bin Laden?

Teori ini, meskipun kontroversial, menimbulkan keraguan yang tak terelakkan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada 9/11. Ini adalah satu lagi lapisan misteri dalam kisah yang telah mencengkeram imajinasi kita selama bertahun-tahun.

Menurut survei majalah AS Live Science, sekitar 53 persen orang Amerika percaya bahwa pemerintah AS menyembunyikan informasi penting tentang serangan 9/11.

Semua ini adalah elemen-elemen yang membuat serangan 9/11 tetap dipenuhi dengan misteri. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga mengundang teori-teori konspirasi yang belum terpecahkan. Mungkin ada lebih banyak lagi yang tersembunyi di balik tragedi ini daripada yang kita tahu.

Korban Akibat Propaganda Teroris

Sejak tragedi runtuhnya dua Menara Kembar pada 11 September 2001, invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan telah menjadi topik yang penuh kontroversi. Sejumlah kejanggalan dan pertanyaan yang belum terjawab telah memunculkan dugaan bahwa peristiwa 9/11 mungkin merupakan "false flag," operasi bendera palsu, yang dimaksudkan untuk melegitimasi tindakan yang akan datang, yaitu campur tangan politik di Timur Tengah atas nama demokrasi dan perang melawan terorisme. Sejak saat itu pula seluruh media Amerika menggaungkan satu kata yang telah diinfiltrasi kepentingan tertentu sehingga menjadi momok yang kadang terasa membabi buta, bahkan bagi mereka yang hanya sekedar mengikuti sebuah Agama bernama Islam.

Menurut data dari Iraq Body Count (IBC), jumlah korban jiwa sipil akibat invasi Irak berkisar antara 97.461 hingga 106.348 hingga Juli 2010. Perbedaan dalam angka ini disebabkan oleh variasi dalam laporan-laporan tentang jumlah kematian akibat kekerasan dan apakah mereka adalah warga sipil atau pejuang bersenjata.

Selain itu, menurut laporan Survei Kesehatan Keluarga Irak yang didukung oleh PBB, diperkirakan ada sekitar 152.000 korban jiwa akibat kekerasan antara Maret 2003 dan Juni 2006. Angka ini mencakup pejuang Irak dan warga sipil yang tak berdosa.

Di Afghanistan, menurut laporan dari BBC, lebih dari 2.300 anggota militer AS telah tewas dan lebih dari 20.000 lainnya mengalami luka-luka. Angka tersebut juga mencakup lebih dari 450 personel militer Inggris dan ratusan lainnya dari negara-negara lain yang terlibat dalam konflik tersebut.

Namun, yang paling menderita adalah warga Afghanistan sendiri. Menurut penelitian, lebih dari 60.000 personel pasukan keamanan setempat telah tewas dalam konflik ini. Selain itu, hampir 111.000 warga sipil terluka atau tewas sejak PBB mulai mencatat jumlah korban di pihak sipil secara sistematis pada tahun 2009.

Angka-angka ini hanyalah gambaran kasar dari penderitaan yang sebenarnya. Dampak perang ini tak hanya terbatas pada korban jiwa, tetapi juga merusak infrastruktur yang penting dan, yang tidak kalah pentingnya, menghancurkan ideologi.

Sumber: berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun