Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Membahas Uang Menurut Al-Quran

16 April 2023   11:35 Diperbarui: 16 April 2023   11:33 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            

            Ada sebuah kisah klasik tentang uang yang menyindir bagaimana bodohnya orang-orang yang hidup saat ini. Sebut saja Bahlul, ia seorang pekerja biasa yang hidup layaknya karyawan dan mendapat gaji bulanan. Ia memiliki rencana dan keinginan untuk dapat keliling dunia saat pensiun 30 tahun lagi dengan menabung uang hasil kerja kerasnya dari bulan ke bulan. Jadilah ia menabung hasil kerjanya setiap bulan di dalam lemari besar di rumahnya.

            Gajinya sebulan saat itu cukup untuk membeli satu ekor sapi, jumlah yang tentu cukup besar sehingga tak heran kalau ia berencana berkeliling dunia. Ia selalu menyisihkan uang untuk ditabung setelah menerima gaji bulanan. Sepuluh tahun pun berlalu, ada perasaan tak enak yang yang disimpannya. Gajinya dalam sebulan 10 tahun yang lalu cukup untuk membeli satu ekor sapi namun kini dengan jumlah uang yang sama ia hanya dapat membeli satu ekor kambing. Pikirannya kalut, tapi ia tetap berusaha positif thinking, mungkin memang zamannya sedang sulit, nanti toh lama kelamaan akan membaik.

            10 tahun lagi berlalu, yang berarti total sudah 20 tahun terlewatkan. Gajinya dalam sebulan tak lagi setara dengan satu ekor kambing, kini dengan jumlah uang yang sama ia hanya dapat membeli satu ekor ayam. Khayalannya yang dahulu selalu membayangkan untuk berkeliling eropa setelah pensiun kandas sudah. Apalagi dia juga ingin menyimpan uang untuk kuliah anaknya yang sebentar lagi akan lulus SMA. Duh, kenapa kondisi tak membaik, ia pun bertanya kesana kemari, kepada ahli-ahli dan penasehat ekonomi terkenal untuk membantunya mengelola keuangan agar tetap dapat mempertahankan cita-citanya berkeliling dunia pensiun nanti. Alhasil, ia diberi nasehat supaya bisa berinvestasi dan membuka usaha lain di samping pekerjaan utamanya. Hasil yang di dapat cukup baik bahkan setara dengan gaji utamanya saat bekerja. Ia pun optimis kembali.

            10 tahun terakhir berlalu, sudah 30 tahun sekarang semenjak dulu pertama kali ia mencetuskan keinginannya. Sayangnya, kondisinya kini tak jauh berbeda dengan mereka yang baru bekerja. Meskipun tabungannya cukup banyak tapi itu tak setara dengan kerja kerasnya dan tak cukup untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Bukan hanya gagal keliling dunia, namun ia harus menombok untuk biaya pernikahan anak-anaknya. Alasannya satu, kini gajinya sebulan yang sudah disimpannya hanya cukup untuk membeli seekor ayam saja.

            Ya, ampun, sudah susah-susah menabung kok malah ia merasa rugi. Seperti tak ada gunanya menabung, padahal semenjak dari kecil ia selalu ditanamkan supaya menyisihkan sebagian uang jajannya untuk disimpan. Kebiasaan yang seharusnya baik, akan tetapi mengapa nilai uang yang ditabungnya selalu turun dari tahun ke tahun? Pertanyaan yang membuatnya pusing karena ia harus berpikir tentang istilah-istilah aneh seperti inflasi dan devalusi.

            Akhirnya saking pusingnya, setelah tua, ia hanya bisa berpikir untuk beribadah saja. Setiap hari ia rajin pergi ke masjid. Di bulan Ramadhan ibadahnya lebih daripada biasanya, yang hanya sekedar melaksanakan sholat tarawih saja. Lima waktu sholat wajib kini dengan disiplin dijaganya. Imam masjid sampai hafal dengan wajahnya, pria tua yang seumuran, padahal dulunya ia jarang sekali pergi ke masjid.

            Suatu kali ia diajak oleh Imam masjid untuk mengikuti kajian setiap ba'da Subuh. Di kajian pagi hari itu membahas mengenai kondisi akhir zaman, hal yang pertama dibahas adalah surat Al-Kahfi. Penceramah bercerita tentang para pemuda yang tertidur selama 300 tahun jika dihitung dengan kalender matahari dan 309 tahun jika dihitung dengan kalender hijriah (bulan). Lalu ia membacakan ayat yang menceritakan apa yang dilakukan oleh para pemuda itu setelah mereka bangun.  

            "Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain lagi), "Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun." (QS: Al-Kahfi 19)

            Bahlul kaget karena ia mendengar kata 'uang', sesuatu yang membuatnya pusing tujuh keliling selama tiga puluh tahun terakhir ini. Hal yang membuatnya menderita, ia seperti budak yang bekerja keras namun tak mendapatkan apa-apa yang diimpikannya. Lebih kasarnya lagi ia seperti hanya bekerja namun bayarannya hanya bisa digunakan dalam jangka waktu tertentu, seperti uang mainan yang hanya berlaku di waktu dan tempat tertentu saja. Kini, telinganya menangkap sebuah kata yang membuat pikirannya kacau kembali, yakni 'uang perak'.

            Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Imam masjid yang kebetulan duduk di sebelahnya, "eee, berapa lama mereka tertidur, maaf saya tadi melamun jadi tak begitu mendengarkan, umm tiga err tiga puluh tahun ya? Wah, hebat ya satu koin perak masih bisa dipakai setelah selama itu..."

            Imam masjid tersenyum kepadanya dan berkata, "Anda salah dengar, para pemuda itu tertidur selama tiga ratus tahun..."

            "Apaaa!?" Ia pun berdiri dari tempatnya duduk karena tak percaya, seluruh mata orang-orang yang berada di masjid heran memandanginya. Ia pun segera sengaja terbatuk-batuk dan duduk kembali. Dengan malu ia berkata, "Maaf, saya jarang membaca Al-Quran apalagi membaca tafsirnya, jadi eh, saya kaget."

            Imam masjid tak berkata apa-apa sementara jamaah yang lain masih memandangi pria tua yang terkenal sebagai pekerja keras ini namun tak pernah terlihat di kajian masjid. Pria tua yang bernama Bahlul ini pun bercerita kepada Imam masjid tentang hal yang terjadi pada dirinya, bagaimana ia bekerja dengan sangat keras dan rajin menabung demi mendapatkan apa yang diimpi-impikannya. Imam masjid mendengarkan dengan seksama sementara penceramah kembali melanjutkan apa yang menjadi topik bahasan setelah sekejap teralihkan perhatiannya tadi.

            Tiga ratus tahun berlalu di zaman itu dan satu koin perak yang sempat disimpan para pemuda Al-Kahfi masih memiliki nilai yang dapat ditukarkan dengan makanan, sesuatu yang bisa mereka dapatkan pula tiga ratus tahun lalu sebelum tertidur. Sementara uang gaji Bahlul dan orang-orang yang senasib dengannya baik yang sudah tua maupun masih muda berkurang terus nilainya dari tahun ke tahun.

            Apa yang membedakan antara kedua macam uang itu?

            Sang penceramah melanjutkan hal yang tadi sempat terpotong, uang yang seharusnya digunakan dan dipakai umat manusia telah tertulis di Al-Quran dan riba telah menghancurkan sistem ekonomi dan keuangan yang telah dibuat oleh Allah SWT.

            Ada dua jenis mata uang yang selalu disebutkan oleh Al-Quran, satu adalah koin perak yang tadi muncul dari pembahasan surat Al-Kahfi kemudian satu lagi tentu saja adalah sesuatu yang tak asing bagi kita semua, yakni emas.

            Tahukah berapa harga kambing di zaman Rasulullah SAW? 1 dinar!

            1 dinar yang setara dengan 4,25 gram emas dengan kemurnnian sekitar 22 karat jika dikonversikan ke dalam rupiah menyentuh angka sekitar 4 juta rupiah. Nah, sekarang berapa rata-rata harga kambing? Sudah berapa lama semenjak zaman Rasulullah SAW berlalu? Masih sama kah harga 1 ekor kambing?

            Bahlul dan orang-orang yang senasib dengannya tentu terkejut mendengar penjelasan sang penceramah, yang demikian gamblang. Bahkan orang sepertinya yang tak pernah berpikir mengenai bagaiman seharusnya uang itu dapat paham dengan segera.

            Sesuatu yang dapat dijadikan uang harus memiliki tiga syarat. Pertama uang tersebut dapat digunakan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai hal, harga yang harus dibayar ketika potong rambut, ketika mengantar seseorang dengan kendaraan, atau ketika menerjemahkan sebuah tulisan kepada orang lain. Dapat juga untuk menentukan berapa harga satu kilogram tomat, daging ayam, atau sekedar sebuah permen yang kita beli di jalanan.

            Kedua, uang tersebut harus dapat digunakan sebagai media serta alat tukar untuk membeli barang-barang. Hal ini berarti ia harus tahan lama, dapat digunakan secara mudah dan ringkas.

            Ketiga, uang harus dapat berfungsi untuk menyimpan nilai. Kerja keras selama sebulan yang dibayar dengan 'gaji', maka 'gaji' itu meskipun disimpan selama apapun tetap bernilai kerja keras kita selama sebulan dengan nilai yang sama.  

            Sang penceramah kembali menambahkan, bahwa lebih tepatnya lagi uang itu harus memilik nilai intrinsik, yang berarti nilai uang itu berada pada uang itu sendiri, tidak berada di luarnya. Jadi nilainya tidak bergantung kondisi politik, bencana alam, perang, maupun kejadian-kejadian lain yang berada di luarnya sehingga nilainya juga stabil dari masa ke masa.

             Jika kita menerima uang gaji yang di saat itu dengan uang itu kita bisa membeli unta, kemudian uang gaji itu disimpan selama 10 tahun. Setelah sepuluh tahun ternyata uang gaji itu hanya bisa membeli seekor ayam, maka uang tersebut gagal memenuhi fungsinya untuk menyimpan nilai. Bahkan nilai uang itu dipengaruhi oleh hal-hal di luarnya yang hampir tak ada hubungannya dengan uang itu sendiri. Maka uang itu gagal memenuhi syarat yang diperlukan sebagai uang.

            Bahlul hanya melongo, pikirannya kembali kacau, namun hatinya tenang, ada pencerahan ternyata di luar sana yang lebih baik daripada seluruh ahli ekonomi yang pernah didatanginya dahulu.

            Penceramah pun kembali melanjutkan ceramahnya dengan membahas mengenai Riba, topik utama yang tertunda.

            Ah, ternyata tadi hanya pendahuluan saja, begitu pikir Bahlul. Kini, dengan hati dan pikiran yang fokus, ia berniat mendengarkan kajian sampai tuntas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun