Awal Januari 2017, udara di Jakarta terasa seperti berganti-ganti bak iklim musim: kadang hujan dan gerah. Setelah 10 hari berada di ruang opname RS Jantung “Harapan Kita”, akhirnya saya diijinkan oleh dokter untuk pulang. Pasca operasi Jantung Koroner dan Penggantian Katup yang mendebarkan itu, rupanya telah memberikan tanda-tanda semakin membaik. Namun, segera esoknya saya diwajibkan mengikuti kegiatan “Rehabilitasi Fisioterapi” (latihan fisik pasca operasi), setiap hari selama 3 minggu ke depan. Hal yang menyebabkan kami pun kemudian berpindah tempat, dengan menginap sebulan di kosan di sekitar Jalan Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, yang lokasinya berada di samping Rumah Sakit “Harapan Kita” ini.
Seperti biasa, di sini kami selalu menghabiskan waktu luang di sore hari usai kegiatan rehabilitasi, dengan duduk-duduk santai menikmati angin sepoi di perumahan padat tersebut. Tiba-tiba, saya dikagetkan oleh istri yang menyodorkan sebuah foto di WA dari HP-nya. Foto ini memperlihatkan seorang pria muda yang agak berkulit legam, yang sepertinya saya kenal. Namun, terlihat wajahnya yang kini kurus, dengan pipi agak mencekung. Dia terbaring tak berdaya di salah satu kamar ICU di Rumah Sakit Cipto di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, sambil mencoba tersenyum ketika difoto. “Siapa itu.?’ tanya saya penasaran. “Ini Aswin, masih ingat?Dia sedang dirawat terkenapenyakitkanker berat stadium empat,” kata istri saya yang bersahabat akrab dengan Aty, istri Aswin . “Ah, masak sih diaseperti itu..?” Saya seperti tidak percaya melihat penampilannya yang drastis berubah. Karena Aswin yang saya kenal berpostur agak gemuk, energik, kalau berbicara penuh percaya diri dan selalu semangat. “Apa mungkin diatelah menjadi lunglaiseperti itu…Begitu parahkah sakitnya?” saya penasaran.
Aswin Wairawan, adalah seorang anak muda paruh baya yang cekatan dan tahan banting, terutama dalam mengelola bisnisnya yang sering “naik-turun” seperti “roller-coaster” itu. Mungkin, begitulah resikonya menjadi seorang pengusaha. Tapi, dia tampak selalu pandai mengatasi berbagai masalah di perusahaannya tersebut. Sehingga akhir-akhir ini saya mendengar kabar, bahwa dia sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta. Dan hampir tiap minggu terlihat di medsos ceria menikmati “pesta kuliner” yang menjadi hobinya. Kadang sendiri, kadang bersama anak dan istrinya. Lalu, apakah karena hobi makan yang enak-enak ini yang menyebabkan dirinya kemudian terkena kanker? Karena bukankah di balik makanan yang enak-enak tersebut selalu terdapat zat penyedap, yang notabene adalah sejenis sodium, yang merupakan salah satu pemicu penyakit kanker? Keceriannya pun tampak lebih jauh lagi. Sekali-kali dua berjalan-jalan ke luar negeri, seolah-olah ingin hidup tanpa batal batas, tanpa batas...seribu tahun lagi. Profil daan tipikal masyarakat kelas menengah baru Indonesia...?
Tapi, saya tidak sempat berpikir lebih jauh tentang hal ini. Saya kemudian memutuskan untuk melihatnya di ruang ICU di RS Cipto, di kawasan Cikini tersebut, besok. “Saya harus menjenguknya segera! ” ujar saya. “Tapi dokter khan belum membolehkan berjalan jauh pasca operasi jantung,” istri saya mengingatkan.
Entah mengapa, “feeling” saya ketika melihat foto tersebut, seperti menarik-narik saya untuk melihatnya. Jadi, apapun yang terjadi dengan kondisi saya pasca operasi, saya harus ke sana. “Kalau perlu, nanti dalam perjalanan kita kearahkawasan Jakarta Pusat tersebut, kita beristirahat setiap 30 menit, ” kata saya mencoba meyakinkan istri.
Akhirnya, kami pun sampai di RS Cipto. Memang betul, ternyata melelahkan juga perjalanan menuju ke sini bagi seorang pasien Jantung. Harus berjalan kaki cukup jauh pula untuk masuk menyusuri rumah sakit besar yang bergedung tua tersebut. Tanpak ramai dokter-dokter muda mondar-mandir, karena Rumah Sakit ini juga merupakan tempat praktek calon dokter dari Fakultas Kedokteran UI. Bahkan tempat ini (karena keunikannya), sering juga dijadikan lokasi pembuatan film. “Khan sudah saya bilang, baru boleh jalan bebas setelah 3 bulan. Bahkan untuk aman,yadokter menganjurkan istirahat 6 bulan,” ujar istri saya setengah kesal melihat saya berkali-kali harus berhenti duduk di kursi, di lorong-lorong rumah sakit besar tersebut, karena kelelahan.
Akhirnya, kami tiba di ruang Aswin di rawat. “Mas, masih ingat, siapa iniyang datang? ” tanya Aty, istrinya yang setia mendampingi di sini hampir 3 bulan. “Hm..siapaya? Saya lupa..” katanya dengan spontan sambil mencoba mengingat-ingat. “Tapi,kalau yang ini saya ingat.Ini Ida, khan..?” katanya sambil menujuk istri saya yang berdiri di samping. “Ini Mas Rendralho. Yang dulu kita pernah ke rumahnya di Cimahi..” lanjut Aty, sambil mencoba memancing ingatannya. “Ohh...ya..ya...! Saya ingat sekarang… “ jawabnya, dengan diselingi nafas terengah-engah tampak kelelahan kalau sedang berbicara.
Tubuh kurusnya itu terlihat berkali-kali menggigil di balik selimut tebal di siang hari tersebut. Kondisi yang menunjukkan keparahan dari sakitnya. Namun, dia terlihat ingin tetap semangat menerima tamu. Lalu dengan tenang, meskipun dengan nafas yang masih terengah-engah. Dia mencoba menjelaskan kronologi dirinya terkena kanker dan di rawat berulang kali di sini. Termasuk alasaan, mengapa dia memilih RS Cipto, bukan RS Darmais yang terkenal dengan pengobatan khusus penyakit Kanker tersebut. “Ini khan RS Rujukan Nasional. Jadi pasti sarana dan pelayannya lebih baik.,” katanya berargumen. Saya tidak sempat ber-adu argumen dengan dia soal ini. Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Namun, dia masih terlihat cerdas, terutama di depan karyawan perusahaannya yang kerap datang menjenguk. “Karyawan saya ini sering datang kemari, meminta petunjuk kalau ada masalah serius di perusahaan,” katanya. Wow, beginikah kalau yang menjadi pasien itu adalah pengusaha..?Dalam keadaan sakit berat yang kritis masih mengurus uang dan perusahaan? Saya sempat terheran-heran melihatnya…
Setelah kurang-lebih 30 menit kami menjenguknya, akhirnya pamit. Dia lalu mengenggam tangan saya erat-erat saat bersalaman. Seakan-akan tidak mau dilepaskannya. “ Mas Rendra, maafkan saya kalau selama ini ada kesalahan-kesalahan..” kata Aswin dengan nada yang tegas namun mengharukan. Matanya terlihat polos dan menatap berbinar sambil tersenyum yang menjadi ciri khasnya. Sikap “angkuhnya” selama ini, seperti hilang, berganti bagai pandangan seorang “anak” yang polos....... ” Ya, Aswin...saya maafkan.Tapi,maafkan jugakesalahansaya,” sambung saya. Lalu saya peluk dia sambil berbisik di telinganya “Kamu harus tetap semangat..!” Kemudian saya berbalik, dan bergegas meninggalkan Rumah Sakit tersebut, dengan membawa rasa haru di dada...
Di perjalanan pulang ketika menelusuri kembali lorong Rumah Sakit Cipto ini: tiba-tiba saya merasa bahwa hidupnya bakal tidak lama lagi. Karena penyakit kankernya memang sudah sedemikian parah dan telah berkali-kali masuk ICU. Tapi, saya sempat tertawa geli teringat suatu sikapnya yang unik. Dalam keadaan sakit sekarat seperti ini, dia masih memberi kesempatan dan kebebasan kepada istrinya untuk beristirahat sejenak dengan menghirup udara Jakarta berjalan-jalan ke mall. “Ya, memang saya ijinkan. Biar dia tidak stress dan menjaditerlalu lelah telah mengurus sayabegini lama..” jawabnya. Wow, luar biasa! Suami yang begitu pengertiandan fleksibel dalam bersikap. Biasanya, para suami lain akan marah besar kalau lagi sakit keras, kemudian istri dan anaknya jalan-jalan ke mall “cipika-cipiki” bersama teman-temannya. Tapi, ini menjadi keuniknya sosok Aswin Wairawan…!
Saya melihat ada kedewasaan dan keikhlasan yang kuat dalam dirinya. Dia terlihat romantis, tapi juga tidak suka mengikat pasangannya dengan komitmen yang rumit-rumit. Dia seperti orang yang berjiwa besar.... Cintanya yang sangat besar dan tulus terhadap istri dan anak-anaknya tersebut, membuat dia menjadi berjiwa besar terhadap akhir dari kondisi sakitnya ini. Sikap yang terlihat “out of the box” ! Mungkin, karena dia juga “merasa” bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, sehingga dia ingin membahagiakan dan tidak mau menyusahkan orang-orang yang disayanginya. “Kartu Kredit yang dari Bank Mandiri itu bisa dipakai kalau mau refreshing,” katanya ke Aty, istrinya...
Tiba-tiba, saya seperti mendapat pelajaran baru darinya, tentang makna KETULUSAN. Mulai dengan meminta MAAF kepada semua orang yang mejenguknya (bezuk). Kemudian membolehkan istri dan anak-anaknya (yang tidak sekedar menjaga dia sakit), namun juga diselangi dengan diijinkan ber-istirahat ala masyarakat kelas menengah Indonesia masa kini: jalan-jalan ke mall ! Luar biasa..! “Your life must go on, my dear family...,” katanya berulangkali sambil menatap istrinya. Aty, istrinya kemudian tampak seperti mau menangis, dan lalu memeluknya erat setiap kali terjadi dialog seperti itu. Mungkin Aswin bebar. Dalam keadaan seperti ini, maka HADIAH termanis yang bisa diberikan oleh sang Suami bukan hanya sekedar harta warisan. Akan tetapi, juga kebebasan mengeskpresikan KEBAHAGIAAN… Mungkin, ijin “jalan-jalan” dari Rumah Sakit itu semacam pesan, bahwa jangan terlalu bersedih hati jika nanti ditinggal. Hidup kalian setelah ini, justru harus berjalan lebih baik sebagaimana mestinya.
***
Akhirnya, program kegiatan Rehabilitasi Fisioterapi saya di RS “Harapan Kita” pun usai. Saya kemudian kembali ke rumah kami yaang sederhana di kota Cimahi. Tapi, pagi ini saya mendengar kabar: Aswin telah berpulang...! Saya terdiam sesaat! Kemudian terbayang dialog dan wajahnya saat pertemuan terakhir kami di Rumah Sakit “Cipto” tersebut.... Dengan tatapan mata polos yang tampak begitu tulus meskipun dengan pipi yang terlihat semakin cekung… Di saat terakhir itu, dia seperti menjadi sosok manusia lain yang terlahir kembali dalam keadaan “Qusnul Khotimah” (yang lebih baik), yang siap melanjutkan perjalanan berikutnya ke alam lain...
Betapa kemudian saya semakin merasakan bahwa antara kehidupan dan kematian itu terlihat begitu tipis. Apalagi buat orang-orang yang sedang menderita penyakit berat yang kronis. . Dan, tidak ada yang tahu juga: kapan hidup kita akan berakhir dan diakhiri oleh DIA yang Maha Kuasa tersebut. Ada orang yang lolos dari penyakit berat yang dideritanya, meskipun secara akal sehat sebenarnya tidak mungkin. Tapi ada yang kemudian benar-benar diambil-NYA karena sudah tiba waktunya.
Yang jelas, semakin jauh kini perjalanan yang telah kita tempuh (di antaranya karena umur yang terus bertambah), maka akan semakin dekat pula giliran dari jadwal itu TIBA… Hari ini Aswin telah dihampiri...dan kemudian telah menunaikan tuntas tugas-tugsnya di dunia yang fana ini......
Selamat Jalan, Aswin Wairawan....! Sampai ketemu di alam di sana...
===============================================================================================================================
(Artikel di atas ditulis oleh Rendra Tris Surya, ketika di kamar kosan Kota Bambu Selatan,Jakarta Barat, sebagai respek saya untuk mengenang seorang sahabat: Aswin Wairawan....)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H