Tentu, tidak ada orang yang mau mengalami kecelakaan. Baik melalui mobil yang dibawa sendiri, maupun ketika menjadi penumpang mobil travel umum. Namun, siapa yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi kemudian dari berbagai aktivitas yang kita lakukan? Kejadian dramatis yang hampir merenggut nyawa saya ini, mudah-mudahan menjadi pelajaran dan bahan renungan buat semua.
******
Tol Cipularang Ramai Berbahaya?
Tak pelak lagi, jalan Tol Cipularang (singkatan dari Cikampek-Purwakarta-Padalarang), yang menghubungkan dua kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta dan Bandung, merupakan salah satu jalan bebas hambatan terpenting di Indonesia. Jalan Tol yang dibangun selama tiga tahun tersebut, hanya berjarak 155 Km saja. Namun tol ini merupakan terobosan besar pemerintah dalam mencari solusi dari semakin padatnya jalur hilir-mudik masyarakat dari Bandung dan Jakarta menuju ke Jawa.
Hingga saat ini, tak kurang dari 850.000 orang yang tinggal di Bandung (dari populasi lebih 3 juta jiwa), yang setiap minggu melakukan kegiatan komuter karena bekerja di Jakarta. Berbagai alasan, mengapa jumlah masyarakat komuter “urang Bandung” ini semakin banyak saja dari tahun ke tahun. “Karena menetap di rumah di kota Bandung, dirasakan lebih aman, murah dan terjamin termasuk pendidikan buat anak-anak,” demikian salah satu dari kaum urban komuter ini beralasan. Bandung juga salah satu objek wisata favorit bagi orang-orang Jakarta, yang kemudian membuat sekitar 30.000 mobil selalu masuk ke kota Bandung di hampir setiap week end, lewat Tol Cipularang.
Sebagai salah satu dari kaum komuter, saya juga entah sudah berapa puluh kali kali mondar-mandir di jalan tol yang tampak asri, karena dibuat dengan menembus hutan lindung dan resepan air tersebut. Tiap kali perjalanan (Bandung-Jakarta) yang memakan waktu tiga sampai empat jam ini dilakukan, selalu saya isi dengan mendengar lagu dari headphone. Atau, memandang sambil menikmati kehijauan di sisi jalan tol yang jalan-jalannya membelah bukit, dan kadang melengkung dan menurun agak tajam tersebut.
Suatu hari dalam lamunan tersebut, saya sempat berpikir begini: “Kalau menggunakan teori probabilitas, maka orang-orang yang sering melalui jalur ini secara reguler, pasti suatu saat akan mengalami kecelakaan..!” Begitu pikir saya. Betapa tidak! Jalan tol sebagaimana biasanya selalu dilalui kenderaan dengan kecepatan tinggi yang minimal 80 Km per jam ini terlihat cukup ramai. Kontur jalan yang tidak terlalu lurus tersebut, kadang menurun serta adanya angin kencang yang bisa datang dengan tiba-tiba dari sisi bukit di Km 60 hingga Km 90 tersebut, sangat mungkin menyebabkan hampir setiap minggu terjadi kecelakaan.
“Ya, betul pak! Hampir setiap minggu terjadi kecelakaan di jalan Tol Cipularang ini,” kata Fahrur Rozi, salah seorang staf PT Jasa Raharja yang berkantor di Karawang. “Dan kecelakaan di jalan tol biasanya fatal. Karena laju rata-rata kenderaan mobil berkecepatan tinggi tersebut,” ujarnya dengan ramah ketika mengunjungi saya di rumah sakit. Mungkin karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, muncul pula beberapa rumah sakit yang lokasinya sangat dekat dengan ruas jalan Tol Cipularang ini.
Akhirnya Kecelakaan di Km 53
Rabu, malam 30 Maret 2016 itu, hampir tidak ada firasat apapun sebelumnya bakal terjadi kejadian yang tak diinginkan ini, ketika saya dan istri berangkat menggunakan mobil travel umum langganan dari jalan Pasteur menuju ke Jakarta. Karena ini perjalanan yang rutin kami lakukan tiap bulan, untuk kontrol berobat jantung koroner akut yang saya idap semenjak lima tahun lalu.
Mobil panjang dari salah satu perusahaan jasa travel, yang akhir-akhir ini tumbuh subur di Bandung itu, terlihat baru dan apik terawat. Seperti biasa, saya memesan tiket di kursi yaitu nomor 4 dan 5 di barisan kedua. Sebelumnya, seperti biasa, saya selalu duduk di nomor 1 di depan di samping pak supir. Agar bisa melihat pemandangan keluar lebih bebas, tidak merasa sumpek. Mungkin karena seharian lelah mengajar dan beraktivitas, maka tidak lama setelah mobil berjalan, saya langsung pasang earphone mendengar lagu-lagu kesukaan. Lalu tertidur pulas! Kacamata mata minus enam tetap bertengger di kepala sebagaimana biasanya.
Mobil travel ini pun kemudian menembus kemacetan jalan di malam hari itu menuju tol Pasteur Bandung dan melaju ke arah Jakarta. Udara dingin AC membuat tidur saya pun semakin lelap. Sekali-kali saya terbangun oleh goncangan kecil, dan melihat-lihat kecepatan laju mobil di dashboard Pak Supir yang tampak stabil dikisaran kecepatan 70 km sampai 80 Km.
Sekali-kali tampak supir memotong mobil yang ada di depan. Kadang dari kiri dan lebih sering dari kanan. Sempat juga saya melihat mobil ini agak oleng dan berjalan agak zigzag. “Ah, supir kayaknya agak mengantuk nih..” pikir saya dalam hati. Tapi saya tetap percaya sebagaimana biasanya, bahwa supir mobil travel ini pasti sudah berpengalaman, karena tiap hari telah melalui jalur ini. Pasti dia punya cara tersendiri mengatasi kantuknya itu sambil membawa mobil, pikir saya. “Biasanya di tempat pol kontrol di Km 105, supir disuguhkan kopi untuk menghilang rasa kantuk,” kata staf perusahaan mobil travel tersebut pada suatu hari.
Tapi, begitulah, seperti kata pepatah “sepandai-pandaainya tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga....” Inilah yang terjadi! Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat keras yang disebabkan adanya benturan. Dan saya terbangun sesaat dari tidur pulas tersebut. Mobil yang saya tumpangi ini kemudian tampak tergoncang dan oleng ke-kiri kanan dengan dahsyat, sepertinya hampir terguling.
Sayup-sayup, di tengah oleng mobil yang hampir terguling di kecepatan 80 Km itu, supir spontan berteriak kaget, memaki mobil Truk yang melaju terus di depan setelah senggolan terjadi. “Mobil kita menabrak belakang kanan truk di depan..” kata isteri saya yang tidak tidur, kemudian menjelaskan setelah kejadian ini sehari berikutnya. Kaca mobil depan tampak pecah berantakan menjadi bulir-bulir kecil dan terlihat bolong.
Antara sadar dan tertidur itu, saya merasa kepala saya terbentur keras beberapa kali ke depan kursi dan ke samping kanan. Bulir-bulir kaca dari depan mobil berhamburan ke arah dalam dan sebagian mengenai wajah. Kaca mata kiri saya pun hancur luluh serta bengkok. Kemudian saya tersungkur pingsan hampir 15 menit di kursi, dengan wajah yang dipenuhi oleh darah.
Ketika saya tersadar, semua tampak senyap..! Terdengar suara penumpang yang duduk di baris paling depan merintih “Mas..mas...tolong saya...,” Tampak kakinya terjepit mobil yang sudah ringsek bagian depannya tersebut. Lalu saya lihat semua penumpang turun tergesa-gesa, sambil terlihat panik dan mengucapkan takbir dan salawat. Tampaknya saya dan penumpang di depan ditinggal sendiri di mobil. Mungkin itu reflek dari keadaan darurat orang yang panik. Mereka keluar secara spontan, takut mobil terbakar oleh bensin yang ada di dalam mobil, sebagaimana suatu kecelakaan bila terjadi.
Akhirnya, saya lihat Istri saya kembali masuk ke mobil dan menuntun saya keluar dari mobil dengan darah yang semakin memenuhi wajah. Tak jelas di bagian wajah mana yang luka. Lalu saya lihat penumpang banyak yang menangis panik dan duduk di pinggir jalan tol di Km 53 tersebut. Selama beberapa menit semua kelihatan terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.
Supir mobil travel ini kemudian menelpon kantornya “Mobil saya tabrakkan. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Mata saya seperti ada yang menutupi saat menyupir,” begitu terdengar suara gugupnya dengan nada panik. Beberapa penumpang lain kemudian menelpon entah kemana. Setelah sepuluh menit hening, beberapa penumpang yang tidak terluka, kemudian menolong korban-korban dengan memberi tisu pembersih dan lain-lain. “Ini pak, pakai tisu ini,” kata seorang penumpang menghampiri saya. “Terima kasih!” Hanya itu yang bisa saya katakan kepadanya dalam suasana yang serba shock dan mengagetkan tersebut. Saya kemudian berdiri di depan mobil travel yang terparkir di sisi kiri jalan, tapi sudah dalam keadaan ringsek.
Tidak terbayang, apa yang bakalan terjadi jika supir tadi mengerem dan melepas mobil yang melaju dengan kencang ini, sesaat setelah benturan terjadi. Pasti mobi kotak ini akan terguling ke jalan. Dan kemudian mobil-mobil yang berkecapatan tinggi dari belakang akan menabrak mobil terguling ini.
“Meskipun supir terlihat lalai karena mengantuk. Tapi saya acungkan jempol kepadanya karena mampu mengendalikan mobil oleng dengan baik. Lalu meminggirkannya di kiri bahu jalan tol,” jawab saya beberapa hari kemudian ke staf perusahaan mobil travel ini yang menanyai saya. Dia secara tidak langsung telah menyelamati 12 orang penumpang di dalam meobil itu. Walaupun saya dengar supir itu kemudian dipecat.
Beberapa menit sebelum mobil ambulan berangkat, tiba-tiba saya merasa mual yang luar biasa. Saya muntah-muntah di atas mobil ambulan. “Apakah Bapak mengalami benturan di kepala?” tanya petugas ambulan, yang kemudian memberikan minyak angin yang dibawanya secara spontan.
Mobil ambulan kemudian membawa kami ke rumah sakit terdekat di sekitar lokasi kecelakan (Karawang Barat, Cipularang), yaitu Rumah Sakit Rosela. Setelah hampir dua jam saya dirawat di ruang darurat, kemudian dokter jaga mengatakan “Bapak harus diopname. Karena mengalami benturan di kepala dan muntah-muntah.” Akhirnya perjalanan menuju ke Jakarta tertahan, karena berbelok ke sini. Saya dan istri kemudian “menginap” di rumah sakit ini selama empat hari. “Hasil rontgen kepala, bagus..Tidak ada apa-apa!” kata dokter jaga. “Coba besok kita periksa dengan CT Scanning,” lanjutnya.
Saya senang, ternyata benturan di kepala saya tidak begitu fatal. Secara fisik tampak luka benjol dan memar saja. Akan tetapi, hasil CT Scanning di RS Cito, Karawang yang menjadi rujukan, ternyata menyatakan lain. “Semua gambar ini menunjukkan tidak ada luka serius di kepala. Hanya sedikit pendaharaan di bagian belakang seperti tampak di gambar ini,” kata dokter Imam, spesialis syaraf di Rumah Sakit tersebut.
“Tapi, tidak usah khawatir. Tidak perlu operasi. Hanya berobat jalan saja sekitar dua minggu hingga satu bulan, luka itu akan sembuh kok,” katanya menghibur. Tapi sebulan kemudian, saat berkonsultasi dengan dokter bedah jantung di RS Harapan Kita di Jakarta, ceritanya lain. “Orang normal saja kalau sedang operasi jantung By-pass, ada resiko stroke ketika sumbatan dilepas. Apalagi Bapak yang mengalami pendarahan di otak. Operasi By-Pass harus kita tunda sampai pendarahan itu betul-betul sembuh,” demikian saran dokter jantung tersebut. Wah, urusan menjadi panjang nih, gara-gara kecelakaan ini.
Ketika saya tidur-tiduran di ruang opname, tiba-tiba datang seorang anak muda yang terlihat berpenampilan rapi dan sopan. “Apakah Bapak yang bernama Rendra Trisyanto Surya, yang mengalami kecelakaan di Kilometer 53 ? ” tanyanya. Saya dari PT Asuransi Jasa Raharja, untuk memastikan identitas dan kondisi korban, lanjutnya.
Setelah dia melihat kondisi luka saya di wajah, kemudian dia mencatat sesuatu di kertas yang dibawanya. Besok harinya dia datang lagi dengan membawa beberapa dokumen. “Ini dokumen pertanggungan biaya pengobatan Bapak, yaitu maksimal Rp 10 juta,” katanya. Saya baru tahu nih, bahwa setiap penumpang yang menaiki kenderaan umum seperti bus umum, taksi, mobil travel, pesawat, kapal dan sejenisnya, akan otomatis mendapatkan tanggungan biaya jika mengalami kecelakaan. Karena dalam tikey tersebut sudah termasuk premi kecelakaan sekali jalan.
Lalu dia menjelaskan dengan sangat terbuka hak-hak korban kecelakaan tersebut sebagaimana tertera di dalam dokumen yang dibawanya. “Biaya pengobatan itu termasuk kamar, obat-obatan, scanning dan lain-lain apapun yang dibutuhkan. Tapi kalau lebih dari Rp 10 juta, Bapak yang harus menaggung sendiri,” jelasnya.
Oh, baru saya sadar bahwa bantuan yang sangat ditunggu ini, ternyata ada di setiap penumpang kenderaan umum. Di sinilah bedanya jika kita mengendarai mobil pribadi, atau bahkan taksi Uber/Grab. Pasti saat mengalami kecelakaan tidak ada asuransi kecelakaan yang otomatis seperti ini.
Karena sedang membicarakan asuransi, saya kemudian teringat ada beberapa asuransi swasta yang selama ini saya ikuti secara tidak sengaja. Yang kemudian tidak pernah saya lihat-lihat kembali dokumennya, karena preminya cukup murah hanya sekitar Rp 60.000 seja setiap bulan. “Coba hubungi PT Asuransi Zurich,” kata saya kepada istri yang mendampingi. Awalnya saya merasa skeptis (ragu) bahwa orang-orang asuransi akan tanggap, kalau sudah urusan klaim.
Ternyata perkiraan saya salah!
Di ujung telpon sana saya terhubung dengan operator yang kemudian menghubungkannya dengan manajer klaim mereka. Kalimat pertama yang diucapkan sang manajer adalah, “Kami turut prihatin atas musibah yang bapak alami. Apa yang bisa kami bantu?” tanyanya dengan ramah. Setelah saya jelaskan bahwa saya adalah nasabah asuransi "Personal Accident Syariah (PAS)", maka dia terlihat semakin terbuka. Namun karena biaya pengobatan akibat kecelakaan ini sudah ditanggung oleh PT Jasa Rahardja maka dia menjelaskan ssebagai berikut: “Kalau double cover tidak bisa pak. Kami hanya akan menanggung Rp 15 Juta dari kelebihan biaya yang ditanggung PT Jas Rahardja jika diatas Rp 10 juta. Karena Bapak sudah ditanggung asuransi pertama, yaitu PT Jasa Raharja tersebut. Tapi kalau uang santunan inap perhari bisa kami berikan.” Biaya opname saya Rp 7,5 juta, sehingga 100% ditanggung oleh PT Jasa Rahardja. Tapi dalam polis asuransi PAs tersebut tertulis, jika diopname akan mendapat uang santunan per hari sebesar Rp 750.000 dan ditambah Rp 1 juta biaya kunjungan. Ya, lumayanlah...
Entah mengapa, beberapa bulan sebelum kecelakaan, saya menerima saja tawaran telemarketing beberapa perusahaan asuransi yang menghubungi saya via telpon. Terutama yang perusahaannya saya kenal baik seperti PT Zurich dan PT SinarMas. Saya pernah datang ke perusahaan asuransi PT Zurich di Jakarta, menjadi TRAINER (Pengajar) buat beberapa staf TI mereka yang mau mengambil sertifikat internasional "IT-IL Foundation dan CGEIT (IT Governance)". Padahal selama ini, saya selalu alergi kalau dihubungi oleh orang-orang asuransi, yang sebelum kecelakaan selalu terlihat ramah saat menawarkan produk asuransi mereka. Namun menjadi bertele-tele, bahkan mencari-cari celah menolak, kalau sudah menyangkut klaim. Begitulah paling tidak kesan saya dan masyarakat umum terhadap asuransi saat itu...
Sepulang dari Rumash Sakit “Rosela”, Karawang ini, saya kemudian membongkar-bongkar dokumen polis lain. Ternyata saya juga ikut asuransi jiwa MSIG dari PT Sinar Mas, yang juga dulu saya pernah mengajar para manajer TI-nya untuk mempersiapkan ujian sertifikasi internaisonal CGEIT. Ssalah satu klausul dalam polis asuransi PROMEDICASH mereka ini berbunyi: bila terjadi kecelakaan atau sakit yang menyebabkan rawat inap maka mereka akan memberikan santunan harian rawat inap. Besarnya santuna itu mulai dari Rp 100.000 per-hari hingga Rp 1.000.000 (tergantung pilihan premi nomor berapa). Alhamdulilah, tanpa ada pertanyaan apapun, mereka kemudian memproses dokumen pengajuan klaim dan mentransfer dana klaim setelah 14 hari kerja. "Yang penting ada perincian biaya berobat selama opname," kata LIA staf yang menangani klaim dari kantor cabanag MSIG Sinarmas di Bandung. Wow, "tanpa sengaja" saya mendapat rezeki lagi nih.. di tengah musibah ini....
***
Di luar masalah klaim asuransi yang menyebabkan saya akhirnya tidak membayar sepeser pun biaya pengobatan (malah dapat santunan). Kecelakaan ini membuat saya merenung lebih dalam, bahwa batas antara KEHIDUPAN dan KEMATIAN itu sebenarnya sangat tipis. Dari berbagai aktivitas kita sehari-hari menggunakan kenderaan, pesawat terbang dan kapal laut yang kita tumpangi saja, “musibah” bisa terjadi setiap saat. Belum oleh sebab-sebab lain. Oleh karena itu, kita selalu berdoa sebelum memulai aktivitas.
Siapa tahu, Tuhan mendengar doa kita sehingga musibah tidak terjadi, atau tidak menjadi fatal. Seperti dalam kecelakaan ini: saya seperti merasakan ada tangan-tangan tak tampak yang ikut menyelamatkan. Misalnya, mengapa saya tidak duduk di barisan depan sebagaimana biasanya, yang akhirnya terjepit parah di kaki? Atau, mengapa kaca mata saya yang hancur pecah menjadi berbulir-bulir kaca kecil itu, tidak satu bulir punyang kemudian masuk ke mata saya? Demikian juga, bulir-bulir kaca depan mobil yang hancur memenuhi baju saya. Kok tidak satu pun mengenai mata saya?
Apakah ini semata-mata KEBETULAN? Atau, semata-mata oleh efek dari hukum grativasi dan tekanan angin kencang di jalan tol semata-mata?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H