Mohon tunggu...
Rendi Wirahadi Kusuma
Rendi Wirahadi Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Pakuan

Seorang mahasiswa Hukum di Universitas Pakuan, gemar dalam membaca, belajar, dan mendalami setiap seluk belum ilmu pengetahuan terkait hukum, penelitian dan penulisan sudah menjadi kewajiban, penuangan argumentasi dalam berdebat sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan, mengkritisi dan memahami adalah kegiatan keseharian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Konsumen Dalam Jual Beli Melalui E Commerce Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999

9 Januari 2025   14:20 Diperbarui: 9 Januari 2025   14:20 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajual barang dan atau jasa.

2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan penjualan barang atau jasa.

3. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat disebarluaskan kepada masyarakat.

4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersamasama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masingmasing.

Selain melakukan tugas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, peran pemerintah juga membentuk apa yang disebut dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini dibentuk sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Badan Perlindungan Konsumen Nasional berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, BPKN mempunyai tugas sebagai berikut:

  • Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
  • Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
  • Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
  • Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
  • Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
  • Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
  • Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. [8]
  • Dengan demikian maka perlindungan konsumen dapat terwujud dengan adanya suatu sinergi antara masyarakat dan aparat penegak hukum dalam studi perlindungan konsumen, sehingga dapat dipastikan perlindungan konsumen dapat terwujud baik hak maupun kewajiban para konsumen begitupun para pelaku usaha dalam praktik jual beli dalam e- commerce.
  •           Dasar dari adanya tanggung jawab produk adalah perjanjian antara para pihak atau perbuatan melawan hukum, maka berdasarkan hukum Indonesia, ketentuanketentuan yang berkaitan dengan hal tersebut (Pasal 1338 dst., Pasal 1365 dst.) harus menjadi patokan utama dalam penyelesaian masalah tersebut. Namun seperti halnya yang terjadi di negara lainnya, disadari bahwa ketentuanketentuan dalam perundang -undangan ini lama-kelamaan sudah tidak memadai lagi dalam menyelesai kan permasalahan yang timbul. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan hukum tertulis tidak dapat lagi mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu kekurangankekurangan ini selayak nya dicarikan jalan keluarnya dengan melihat bagaimana doktrin yang berkembang serta keputusankeputus an pengadilan. Pertanggungjawaban kontraktual (contractual liability) adalah tanggungjawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik barang maupun jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Dengan demikian, di dalam contractual liability ini terdapat suatu perjanjian atau kontrak antara pelaku usaha dengan konsumen.
  • Dewasa ini, perjanjian atau kontrak antara pelaku usaha dengan konsumen nyaris selalu menggunakan perjanjian atau kontrak yang berbentuk standar atau baku. Oleh sebab itu di dalam hukum perjanjian, perjanjian atau kontrak semacam itu dinamakan perjanjian standar /perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian berbentuk tertulis yang telah digandakan berupa formulirformulir, yang isinya telah distandarisasi atau dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan (dalam hal ini pelaku usaha), serta ditawarkan secara massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Berhubung isi perjanjian baku telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, maka pada umumnya, isi kontrak baku tersebut akan lebih banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajibankewajiban konsumen ketimbang hak-hak konsumen dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Bahkan tidak jarang terjadi pelaku usaha mengalihkan kewajiban-kewajiban, yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya, kepada konsumen.
  • Ketentuan semacam ini di dalam kontrak baku disebut exoneration clause atau exemption clause, yang pada umumnya sangat memberatkan atau bahkan cenderung merugikan konsumen. Akibat penyalahgunaan asas kebebasan berkontrak yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menjamin hak-haknya terhadap konsumen sekaligus mengecualikan kewajiban-kewajiban nya terhadap konsumen dengan mempraktekkan klausula.[9]

 

            Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk yang merugikan konsumen sangat penting dalam perlindungan konsumen. Untuk memahami tanggung jawab pelaku usaha dengan lebih baik, kita harus memahami definisi tanggung jawab.

Menurut KBBI, tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa yang dapat dituntut dan diperkarakan. Dalam hukum perdata, pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam: kesalahan dan risiko.

Ada pertanggungjawaban atas dasar kesalahan dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal sebagai tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak. Oleh karena itu, sangat penting bagi pelaku usaha untuk memahami dan mematuhi hukum perlindungan konsumen serta bertanggung jawab atas produk mereka yang merugikan konsumen. Sesuai dengan Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha adalah sebagai berikut:

  • Pelaku usaha harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerusakan, pencemaran atau kerugian akibat mengonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha.
  • Ganti rugi yang dapat diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau pemberian santunan.
  • Waktu pemberian ganti rugi harus dilakukan dalam tujuh hari setelah tanggal transaksi.
  • Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana jika terbukti adanya unsur kesalahan.
  • Ketentuan ini tidak berlaku jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

 

Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Perlindungan Konsumen, prinsip yang digunakan dalam tanggung jawab, di antaranya adalah sebagai berikut :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun