Mohon tunggu...
Rendi Wirahadi Kusuma
Rendi Wirahadi Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Pakuan

Seorang mahasiswa Hukum di Universitas Pakuan, gemar dalam membaca, belajar, dan mendalami setiap seluk belum ilmu pengetahuan terkait hukum, penelitian dan penulisan sudah menjadi kewajiban, penuangan argumentasi dalam berdebat sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan, mengkritisi dan memahami adalah kegiatan keseharian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Konsumen Dalam Jual Beli Melalui E Commerce Dikaitkan Dengan UU No. 8 Tahun 1999

9 Januari 2025   14:20 Diperbarui: 9 Januari 2025   14:20 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembentukan teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan dan hubungan kontrak sangat dipengaruhi oleh paham indivualisme dalam prinsip laissez faire.

  • Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (Breach of Warranty); 
  • Tanggung jawab produsen berdasarkan wanprestasi juga merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan kontrak (contractual liability). Dengan demikian, suatu produk yang rusak dan mengakibatkan kerugian, maka konsumen melihat isi kontrak, baik tertulis maupun tidak tertulis. Keuntungan konsumen berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak (strict obligation), yaitu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan produsen untuk memenuhi janjinya. Artinya, walaupun produsen telah berupaya memnuhi kewajiban dan dan janjinya, tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian.
  • Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Product Liability). 
  • Dalam hukum perlindungan konsumen, tanggung jawab mutlak ini merupakan hal yang sangat penting dengan beberapa alasan : pertama, tanggung jawab mutlak merupakan instrumen hukum relatif masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlah merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukumdi bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam praktiknya sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang bersangkutan, yaitu antar -- kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positif. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, kesenjangan antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen. [4]
  • Studi Kasus: Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-Commerce di Indonesia
  • Kasus Penipuan dan Keluhan konsumen terkait barang yang tak sesuai perjanjian

Transaksi Jual Beli melalui media Online Menurut Undang Undang Perlindungan Konsumen dengan pendekatan Undang -- Undang Perlindungan Konsumen, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen. Pasal 4 Undang - Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:

  • hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  • hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  • hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
  • Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 Undang Undang Perlindungan Konsumen adalah:
  • beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  • memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  • memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  • memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  • memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
  • Dalam perlindungan konsumen terhadap pembelian barang melalui media sosial lebih tegas terdapat pada Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang Undang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak
  • sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang, sesuai Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
  • Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.[5]

 

Analisis penyelesaian sengketa konsumen, baik melalui jalur litigasi maupun non     litigasi.

  • Undang-Undang  No.  8  Tahun  1999  Tentang  Perlindungan  Konsumen  juga  telah mengatur  tentang  bagaimana  memri  perlindungan  terhadap  konsumen  yang  telah  dilanggar haknya. Terlebih lagi pada jaman sekarang ini sudah sangat banyak menyebar jual-beli secara online yang pada dasarnya merupakan akibat dari dinamika teknologi yang semakin canggih, hal tersebut seharusnya menjadikan praktekjual-beli menjadi lebih praktis dan simpel, karena pembeli tidak harus bertemu langsung dengan si penjual. Perkembangan transaksi elektronik tidak  terlepas  dari  laju  pertumbuhan  internet,  karena  transaksi  elektronik  berjalan  melalui jaringan  internet.
  • Pertumbuhan  pengguna  internet  yang  demikian  pesatnya  merupakan  suatu kenyataan  yang  membuat  internet  menjadi  salah  satu  media  yang  efektif  bagi  pelaku  usaha untuk memperkenalkan dan menjual barang atau jasa ke calon konsumen dari seluruh dunia.
  • Transaksi E-Commercemelibatkan  para  pihak,  baik  pihak  yang  terlibat  secara  langsung maupun  pihak  yang  tidak  terlibat  secara  langsung.  Untuk  menentukan  siapakah  para  pihak yang terlibat secara langsung dan para pihak yang tidak terlibat secara langsung dapat dilihat dari  proses  transaksi  yang  dilakukan,  yaitu  apakah  semua  proses  transaksi  dilakukan  secara online atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara online.Perlindungan  hokum  merupakan  cara  untuk  melindungi  konsumen  yang  diberikan oleh  hukum atau  Undang-undang  untuk  mencegah  adanya  pelanggaran  atau  hal-hal  yang dapat merugikan kepentingan konsumen.
  • Dalam penelitian ini, konsumen pengguna transaksi E-Commercemendapatkan perlindungan hokum berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan    yaitu    Undang-undang    Perlindungan    Konsumen    (UUPK),    Undang-Undang Informasi  dan  Transaksi  Elektronik(UUITE). 
  • Dengan  demikian  berikut  ini  akan  diuraikan perlindungan hokum kepada konsumen berdasarkan Peraturan PerUndang-undangan tersebut diatas,  yaitu Perlindungan  Hukum  Ditinjau  dari  UUPK.  Konsumen  dalam  berbagai  segi merupakan  pihak  yang  lemah  kedudukannya  bila  dibandingkan  pelaku  usaha,  konsumen seringkali tidak memiliki posisi tawar jika berhadapan dengan pelaku usaha. Oleh karena itu, diperlukan  suatu  aturan yang  dapat  melindungi  kepentingan  konsumen  agar  tidak  dirugikan atu  diperlakukan  sewenangwenang  oleh  pelaku  usaha. 
  • UUPK  menjami  adanya  epastian hokum  untuk  memberikan  perlindungan  kepada  konsumen  seperti  tercantum  dalam  Pasal  1 angka(1)  UUPK.  UUPK  memberikan  perlindungan  kepada  setiap  konsumen  yang  merasa hak-haknya dilanggar atau dirugikan oleh pelaku usaha. Dalam UUPK ditentukan secara rinci hak-hak  konsumen  yang  berlaku  pula  bagi  konsumen  pengguna  transaksi  elektronik/E-Commerce.6Undang-Undang No.  8 Tahun  1999  Tentang  Perlindungan  Konsumen  membentuk Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional.
  • Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional berkedudukan  di  Ibu  Kota  Negara  Republik  Indonesia  dan  bertanggung  jawab  kepada Presiden. Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan  kepada  pemerintah  dalam  upaya  mengembangkan  perlindungan  konsumen  di Indonesia.Pada Pasal 34 UUPK menjabarkan bahwa Untuk menjalankan fungsi sebgaimana dimaksud dalam Pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
  • memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
  • melakukan  penelitian  dan  pengkajian  terhadap  peraturan  perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.3.melakukan    penelitian    terhadap    barang    dan/atau    jasa    yang    menyangkut keselamatan konsumen;
  • mendorong     berkembangnya     lembaga     perlindungan konsumen     swadaya masyarakat.
  • menyebarluaskan informasi melalui media mengenaiperlindungan konsumendan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
  • menerima  pengaduan  tentang  perlindungan  konsumen  dari  masyarakat,  lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
  • melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

  • Selain BPKN Undang-Undang  No.  8  Tahun  1999  Tentang  Perlindungan  Konsumen juga  membentuk  Lembaga  Perlindungan  Konsumen  Swadaya  Masyarakat  LPKSM pada Pasal 44 sebagai berikut:
  • Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
  • Lembaga  perlindungan  konsumen  swadaya  masyarakat  memiliki  kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
  • Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
  • menyebarkan  informasi  dalam  rangka  meningkatkan  kesadaran  atas  hak  dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
  • memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
  • bekerja  sama  dengan  instansi  terkait  dalam  upaya  mewujudkan  perlindungan konsumen;
  • membantu  konsumen  dalammemperjuangkan  haknya,  termasuk  menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
  • melakukan   pengawasan   bersama   pemerintah   dan   masyarakat   terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
  • Melihat  proses  penyelesaian  sengketa  konsumen  dengan  beracara  di  pengadilan nampakbahwasannya   terdapat   celah   yang   dapat   dimanfaatkan   pelaku   usaha   untuk melepaskan  kewajibannya  sehingga  konsumen  tetap  berada  pada  posisi  yang  dirugikan. Konsumen  yang  telah  dirugikan  secara  materiil  karena  barang  yang  diterima  tidak  sesuai dengan  yang  disepakati  serta  waktu,  tenaga,  pikiran  dan  biaya  yang  dikeluarkan  dalam menjalani    persidangan    masih    harus    menanggung    kerugian    kembali    dengan    tidak mendapatkan  kompensasi,  ganti  rugi  dan/atau  penggantian  sesuai  dengan  Pasal  4  huruf  h UUPK.
  • Hal ini dikarenakan konsumen selaku penggugat setelah mendapatkan putusan hakim yakni  diterima  gugatannya  maka  saat  itulah  dinyatakan  memenangkan  perkara  namun kemenangan  konsumen  dalam  perkara  sengketa  dengan  pelaku  usaha  tidak  serta  merta mengakibatkan  konsumen terganti  kerugiannya. 
  • Apabila  putusan  hakim  tidak  dilaksanakan secara  sukarela  oleh  pelaku  usaha  maka  prosesselanjutnya  yakni  proses  permohonan eksekusi  kepada  Ketua  Pengadilan  di  mana  dalam  proses  ini  konsumen  harus  mengajukan permohonan   disertai   data   atau   keterangan   objek   yang   akan   dieksekusi   berdasarkan kepemilikan  harta  dari  pelaku  usaha.  Guna  mengetahui  harta  yang  dimiliki  pelaku  usaha maka  harus  dilakukan  proses  pencarian  harta  benda  milik  pelaku  usaha.  Keterbatasan  yang dimiliki  konsumen  dalam  mencari  harta  benda  pelaku  usaha  guna  nantinya  disita  dan dieksekusi  pengadilan  akan  berimbas  pada  konsumen  itu  sendiri.  Bila  konsumen  tidak mampu  menemukan  harta  milik  pelaku  usaha  maka  pengadilan  tidak  bisa  melakukan eksekusi,  dengan  tidak  adanya  harta  benda pelaku  usaha  yang  dieksekusi  maka  konsumen tidak akan mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita. Dengan tidak adanya harta benda  pelaku  usaha  yang  akan  dieksekusi  maka  untuk  kesekian  kalinya  konsumen  harus menanggung  kerugian.  Keadilan  dan  kepastian  hukum  apa  yang  didapatkan  oleh  konsumen dengan sistem penyelesaian sengketa seperti ini.
  • Seperti pepatah mengatakan "sudah jatuh masih tertimpa tangga".7Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah metode penyelesaian sengketa yang paling  lama  dan lazim  digunakan  dalam  penyelesaian  sengketa,  baik  sengketa  yang  bersifat publik  maupun  yang  bersifat  privat.  Untuk  sengketa  yang  lebih  menekankan  pada  kepastian hukum   metode   penyelesaian   yang   tepat   adalah   litigasi.   Tetapi  jika  menekankan   pada pembinaan hubungan baik terutama hubungan bisnis, metode penyelesaian yang tepat adalah non  litigasi  berupa  konsiliasi  atau  mediasi.Penyelesaian  sengketa  melalui  jalur  litigasi  yang idealnya   lebih   memberikan   kepastian   hukum   bagi   para   pihak   terutama   pihak   yang dimenangkan  karena  putusan  hakim  yang  telah  berkekuatan  hukum  tetap  bersifat  mengikat, tidak  ada  upaya  hukum  yang  lain  dan  harus  dilaksanakan  oleh  para  pihak.  Namun  pada kenyataannya  justru  kebalikannya  yaitu  konsumen/penggugat  (pihak  yang  dimenangkan) tidak  mendapatkan  kepastian  atas  hak-haknya  yang  telah  diatur  dalam  Pasal  4  UUPK.  Hak untuk  mendapat  kompensasi/ganti  rugi  tidak  dapat  terwujud  bila  putusan  tidak  dilaksanakan dengan  sukarela  dan  kemudian  harus  diajukan  permohonan  eksekusi. 
  • Proses  eksekusi  harus didahului dengan permohonan eksekusi disertai  data atau keterangan tentang objek  eksekusi oleh pihak yang dimenangkan (konsumen) kepada Ketua Pengadilan. Sehingga apabila pihak yang  dimenangkan  (konsumen)  tidak  mampu  mencari  harta  benda  pihak  yang  kalah  maka konsumen hanya mendapatkan putusan tanpa ada pelaksanaan putusan.8Pelanggaran  hak  konsumen  oleh  pelaku  usaha  biasanya  mengakibatkan  sengketa. Penyelesaian  sengketa  konsumen  melalui  jalur  luar  pengadilan  yaitu  diselesaikan  melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pada Pasal 49 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:
  • Pemerintah   membentuk   badan   penyelesaian   sengketa   konsumen   di   Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
  • Untuk  dapat  diangkat  menjadi  anggota  badan  penyelesaian  sengketa  konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  • warga negara Republik Indonesia;
  • berbadan sehat;
  • berkelakuan baik;
  • tidak pernah dihukum karena kejahatan;
  • memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen.
  • berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  • Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha;
  • Anggota  setiap  unsur  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  berjumlah  sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
  • Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Lalu berdasarkan Pasal 52 menjabarkan tugas dan wewenang BPSK meliputi:

  • melaksanakan  penanganan  dan  penyelesaian  sengketa  konsumen  dengan  cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  • memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  • melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  • melaporkan  kepada  penyidik  umum  apabila  terjadi  pelanggaran  ketentuan  dalam Undang-undang ini;
  • menerima  pengaduan  baik  tertulis  maupun  tidak  tertulis,  dari  konsumen  tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungankonsumen;
  • melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  • memanggil  pelaku  usaha  yang  diduga  telah  melakukan  pelanggaran  terhadap perlindungan konsumen;
  • memanggil   dan   menghadirkan   saksi,   saksi   ahli   dan/atau   setiap   orang   yang dianggap mengetahui pelanggaranterhadap Undang-undang itu;
  • meminta  bantuan  penyidik  untuk  menghadirkan  pelaku  usaha,  saksi,  saksi  ahli, atau  setiap  orang  sebagaimana  dimaksud  pada  huruf  g  dan  huruf  h,  yang  tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  • mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
  • memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanyakerugian di pihak konsumen;
  • memberitahukan  putusan  kepada  pelaku  usaha  yang  melakukan  pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  • menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

  • Pemerintah   bertanggung   jawab   atas   pembinaan   penyelenggaraan   perlindungan konsumen    yang    menjamin    diperolehnya    hak    konsumen    dan    pelaku    usaha    serta dilaksanakannya  kewajiban  konsumen  dan  pelaku  usaha.Pembinaan  oleh  pemerintah  atas penyelenggaraan perlindungan konsumen dilaksanakan oleh menteri dan/ atau menteri teknis terkait,  yang  meliputi  upaya  untukterciptanya  iklim  usaha  dan  hubungan  yang  sehat  antara pelaku  usaha  dan  konsumen; berkembangnya  lembaga  perlindungankonsumen  swadaya masyarakat;  dan meningkatnya  kualitas  sumber  daya  manusia  serta  meningkatnya  kegiatan penelitian   dan   pengembangan   di   bidang   perlindungan   konsumen.Dasar   hukum   yang mengatur  mengenai  perlindungan  konsumen  di  Indonesia  salah  satunya  adalah  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  (Selanjutnya  disebut  UUD  1945), sebagai  hukum  tertinggi  di  Indonesia,  mengamanatkan  pentingnya  suatu  pembangunan nasional agar dapat terciptanya masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya pada bagian pembukaan.[6]
  • Peran dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Melindungi Konsumen
  • Peran dan tanggung jawab sangatlah penting untuk mencapai kepastian hukum tentang perlindungan konsumen sehingga hak dan kewajiban konsumen dapat terlindungi dalam hukum dagang baik perbuatan hukum jual beli, sewa menyewa benda bergerak atau tidak bergerak ,berwujud ataupun tidak berwujud sehingga akibat hukum nya ada aturan yang mengaturnya sehingga kepastian hukum akan terjadi.
  • Dalam  Pasal  19  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  1999  tentang Perlindungan Konsumen:
  • Ganti rugi atau ganti rugi atas pencemaran atau kerugian konsumen yang diakibatkan oleh konsumsi barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan oleh pelaku usaha
  • dapat diberikan dalam bentuk pengembalian uang atau barang atau jasa yang nilainya setara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • dapat  dilaksanakan  sesegera  mungkin  tetapi  paling  lambat  tujuh  harisetelah  tanggal transaksi;
  • dapat dilaksanakan dalam waktu tujuh hari sejak tanggal transaksi; e.dapat tunduk pada syarat dan ketentuan kontrak yang berlaku.

  • Beban  dan  tanggung  jawab  pelaku  usaha  yang  menimbulkan  kerugian  konsumen dapat berupa Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur hal tersebut: Penggantian Keuangan, Penggantian Produk, Perawatan medis, Kompensasi Moneter[7]

 

  • Pelaku dari tindakan nakal dari pelaku usaha membuat kepastian hukum tentang perlindungan konsumen tidak dapat tercapai karna adanya suatu tekhnologi yang membuat tindak pelaku usaha bebas untuk melakukan apa saja guna memperoleh keuntungan yang maksimak sehingga konsumen menjadi bahan untuk dikorbankan oleh pelaku usaha ,masih minimnya penegakan hukum dari pihak pemerintah yang terlalu mengabaikan hak hak para konsumen sehingga perokonomian di negara dapat terancam karna hak dan kewajiban dari konsumen tidak diperhatikan oleh lembaga pemerintahan.
  • Namun salah satu langkah pemerintahan untuk menjaga hak dari konsumen dapat diwujudkan dengan berikut :
  • Badan Perlindungan Konsumen Nasional
  • Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Perlindungan Konsumen, BPKN merupakan lembaga yang  dibentuk  dengan  tujuan  untuk  membantu  usahadari  pengembangan  perlindungan konsumen.   BPKN   ini   dibentuk   sebagai   dalam   rangka   mengembangkan   upaya   dari perlindungan  konsumen.  BPKN  juga  memiliki  fungsiuntuk memberikan  saran  dan  juga sebagai  bahan pertimbangan  untuk  pemerintah  di  dalam  usaha  untukmengembangkan perlindungan  konsumen  di  Indonesia.BPKN  dibentuk  sebagai  organisasi  nasional  untuk meningkatkan   akses   konsumen   terhadap   keadilan   dengan   memantau   dan   menyelidiki masalah perlindungan konsumen.BPKN membantu pemerintah Indonesia dalam menangani masalah   perlindungan   konsumen[12].   Organisasi   konsumen   internasional   dan   BPKN berkolaborasi. BPKN   ini   dibentuk   untuk   lebih   memperjelas   ketentuan   perlindungan konsumen  yang mana diatur  dalam  pasal-pasal  lain,  khususnya  mengenai  aturan  yang mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen serta tanggung jawab pelaku usaha dalam menjalankan usaha.Bagaimana pedoman akuntabilitas pelaku korporasi dan prosedur yang dibuat untuk mengatasi masalah perlindungan konsumen.

 

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

  • Fungsi  yang  dilakukan  oleh  lembaga  konsumen  lain  sebelum  UUPK  dilanjutkan  oleh LPKSM  sebagai  lembaga.  Keberadaan  LPKSM  sangat  disadari  oleh  masyarakat.  Hal  ini disebabkan  masih  banyaknya  barang  di  bawah  standar  dan  palsu  yang  tersedia  di  pasaran, sehingga banyak peluang bagi perusahaan untuk menipu pelanggan dengan barang yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Sehingga LPKSM dan cabangnya harus memperhatikan dengan seksama kualitas produk yang dibuat oleh pelaku usaha yang tidak jujur[14]. Agar pelanggan tidak  mudah  dimanfaatkan  oleh  pelaku  usaha  yang  berperilaku  tidak  jujur  dan  hanya mementingkan   keuntungannya   sendiri,   LPKSM   dapat   memberikan   pembinaan   kepada masyarakat  umum  mengenai  perdagangan  yang  adil  dan  perlindungan  konsumen.  Guna mendorong  konsumen  untuk  memilih  secara  bijak  dan  cermat  saat  membeli  produk  dari pasar, LPKSM juga berkewajiban untuk sering melakukan sosialisasi melalui media.

  

  • Peran Pemerintah dalam Melindungi Konsumen
  • Pembinaan 

Dalam undang-undang perlindungan konsumen padal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa "pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha". Pelaksanaan pembinaan dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri teknis yang terkait dengan perlindungan konsumen. Dalam hal ini Menteri teknis yang menangani perlindungan konsumen akan melakukan koordinasi tentang penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri-menteri lainnya. Pemerintah juga diberi wewenang untuk melakukan pembinaan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen, yaitu meliputi upaya untuk:

  • Terciptanya iklim usaha yang sehat;
  • Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
  • Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
  • Pengawasan 

Dalam UU perlindungan konsumen pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa "pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat" Bentuk pengawasan oleh pemerintah diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen pasal 8 sebagai berikut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun