Sebuah kebanggaan bagi saya menjadi seorang pewarta atau wartawan. Tidak semua orang memiliki kesempatan dan kemampuan seperti yang saya miliki. Karena menjadi wartawan itu tidak mudah, butuh kejelian dan kejujuran dalam menyampaikan sebuah kabar berita kepada masyarakat luas.
Menjadi seorang wartawan, memang cita-cita saya sejak kecil dulu. Saat itu, reporter inspirasi saya ada seorang wanita yang bernama Rosiana Silalahi.Â
Meskipun dia seorang wanita, namun kemampuannya dalam menyampaikan berita sangat jelas dan tegas. Kadang rasa iri saya rasakan. Seorang perempuan yang sering dianggap lemah, namun ia mampu menjadi orang yang tangguh dalam berbicara sebuah berita.
Sebelum mendapatkan kesempatan menjadi seorang wartawan, sebelumnya saya bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah lembaga pendidikan swasta yang ada di perkampungan wilayah Kabupaten Sukabumi.Â
Lulus SMA pada tahun 2006 silam, karir honorer saya mulai. Dengan honor sealakadarnya, saya menekuni profesi tenaga pendidik dengan penuh keikhlasan. Â
 Karena tuntutan sebuah profesi, maka saya pun diwajibkan untuk melanjukan pendidikan. Akhirnya, dengan dukungan dari pihak lembaga pendidikan, akhirnya saya masuk perguruan tinggi swasta yang ada di Kota Sukabumi pada tahun 2007.Â
Namun sayangnya, saat itu bukan jurusan jurnalistik atau Infomasi Komunikasi yang saya ambil, melainkan jurusan Pendidikan Agama Islam. Ya, karena hal itu melinearkan dengan pekerjaan saya.Â
Dengan dukungan orang tua, keluarga, guru, dan sahabat-sahabat lainnya, tahun 2011 akhirnya saya lulus. Namun sayangnya lagi, saat itu saya sudah tidak lagi bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah lembaga pendidikan. Saya merasa tidak nyaman menjadi seorang guru, merasa tidak pantas berada dalam dunia pendidikan. Mau tidak mau, saya pun harus merasakan menjadi seorang pengangguran.
Meskipun 'nganggur', namun semangat menulis masih terus saya lakoni. Hal-hal kecil yang terjadi, tak luput dari catatan saya. Cita-cita saya menjadi seorang wartawan saat itu masih dirasakan sangat kuat.Â
Akhirnya, saya pun mencari informasi tentang lowongan kerja di perusahaan media. Baik melalui internet, maupun melalui teman yang pergaulannya sudah di kota.
Ikhtiar saya mencari informasi peluang kerja di perusahaan media pun membuahkan hasil. Saya ingat betul, teman saya bernama Rifky memberitahu bahwa ada lowongan kerja sebagai wartawan di media Lokal Sukabumi, Radar Sukabumi (Jawa Pos Group).Â
Tentu bagi saya, tidak asing mendengar media lokal satu ini. Selain dikenal sebagai media yang terpercaya, juga menjadi media terbesar di Kota dan Kabupaten Sukabumi.
"Mau jadi wartawan? Tuh di Radar Sukabumi sedang buka lowongan. Tapi syaratnya harus S-1 (semua jurusan)," ujar Rifky seraya memberikan sebuah nomor telepon agar saya hubungi.
Karena berfikir ini adalah salah satu cara mewujudkan impian saya menjadi seorang wartawan, saya pun tak berfikir lama langsung menghubungi nomor yang tadi diberikan. Dan ternyata benar, bahwa Radar Sukabumi saat itu sedang membutuhkan wartawan baru.
"Datang saja ke kantor, bawa surat lamarannya. Tapi datangnya setelah maghrib," kata Pak Didit (alm), yang waktu itu sebagai HRD Radar Sukabumi.
Jujur saja, mendengar jawaban itu saya merasa percaya dan tidak percaya. Percaya karena memang ada lowongan, namun tidak percaya karena jam yang mengharuskan saya datang tidak normal. "Bukankan jam kerja itu mulai jam 08.00 sampai jam 16.00 WIB? Kenapa ini habis maghrib," gumam saya dalam hati.
Namun karena keinginan saya 'keukeuh' ingin jadi wartawan, saya pun minta diantar saudara datang ke kantor Radar Sukabumi. Maklum, merasa orang kampung dan jarang ke daerah kota, saya tidak tahu percis alamat kantor Radar Sukabumi. Alhasil, saya pun tersesat. Hingga akhirnya, sekitar jam 20.30 WIB kantor Radar Sukabumi yang saat itu berada di Cimanggah Kota Sukabumi baru saya temukan.
Setiba di kantor tersebut, saya cukup kaget. Karena kondisi kantor cukup ramai. Karena dalam benak saya, waktu malam itu situasi kantor atau tempat kerja pasti sepi. Semua karyawan sudah pulang. Penasaran, saya pun menanyakan hal ini. "Memang kalau perusahaan media itu kayak gini. Ramainya sore sampai malam.Â
Karena pagi sampai sore mencari berita, dan dilanjutkan dengan mengetik dan mengedit berita untuk terbit besok," jawab Pak Didit dengan penuh meyakinkan.
Sedikit banyak saya pun punya gambaran tentang kinerja seorang wartawan. Tak berfikir panjang, akhirnya berkas lamaran yang dibawa pun langsung saya serahkan kepada Pak Didit yang tubuhnya cukup 'gendut' Â saat itu.
Hari berlalu, tapi tak ada kabar saya diterima atau tidaknya dari pihak Radar Sukabumi. Saya pun sudah berfikir negatif dan patah arang. Bahwa dengan latar belakang pendidikan yang tidak linear dengan pekerjaan, saya tidak mungkin diterima.Â
Hingga akhirnya, memasuki minggu kedua, baru ada kabar agar saya datang kembali ke kantor Radar Sukabumi untuk dilakukan tes wawancara (interview).Â
Sesuai dengan jadwal tes wawancara pukul 10.00 WIB, saya pun datang dihari dan tempat yang ditentukan. Cecaran pertanyaan seputar dunia jurnalistik pun dilayangkan kepada saya. Saat itu, ada tiga orang yang mewawancarai. Dan Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus.
Namun, ujian menjadi wartawan Radar Sukabumi itu ternyata belum selesai. Minggu depannya saya harus kembali, untuk mengikuti ujian tertulis. Ujian ini menentukan saya diterima atau tidaknya menjadi Wartawan Radar Sukabumi.
Hari yang ditungu pun tiba. Saya sudah siap untuk mengikuti ujian. Ada tiga orang yang ikut dalam tes ini. Soal yang diberikan bagi saya waktu itu cukup sulit. Seperti soal yang berkaitan dengan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, kode etik jurnalis, jenis berita dan tata cara wawancara. Terakhir, praktik membuat sebuah berita.
Berkat doa dan dukungan semuanya, akhirnya saya pun dinyatakan lulus dan memasuki masa training sebagai calon reporter di Radar Sukabumi. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H