Mohon tunggu...
Renata W
Renata W Mohon Tunggu... Public Relation -

Shanti. Shanti. Shanti.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Anjing

3 September 2018   01:51 Diperbarui: 3 September 2018   02:27 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah mungkin binatang tahu surga ? Atau malah sebenarnya memahami surga, tapi berpura-pura tidak mau masuk surga agar manusia yang miliaran saat ini tidak berdesakan nantinya di situ jika sudah mati---dengan syarat, tentunya.

Itu pertanyaan konyol dan setengah absurd, yang pernah kau tanyakan beberapa tahun yang lalu saat kau bersama pikiranmu tidak rindu lagi gelap. Aku mereka-reka apa maksud pertanyaanmu dengan wajah datar tapi pikiranku sebenarnya bersemburatan berkas sinar siluet---bingung. Bingung, kenapa pula itu meluncur darimu. "kau sok filosofis", balasanku saat itu.

Itu dulu. Dulu sekali. Sekarang, ketika aku telah cukup usia dan telah sering di tanya pertanyaan-pertanyaan aneh dan sulit, pertanyaan itu terasa tidak asing atau tepatnya sudah sepantasnya ditanyakan. Ketika itu aku sedang berjalan di dekat hotel bintang lima terkenal, aku melihat seekor anjing membawa plastik yang sudah tercabik-cabik dan mengeluarkan bau sambal gulai nasi Padang.

Nasi yang berjatuhan dan aroma gulai santan menyeruak. Aku terhenti sesaat ketika aku dan anjing hanya tinggal berjarak beberapa meter saja. Anjing berhenti sebentar seperti mengamati tingkahku. Untung anjing tidak bisa bertanya. Anjing mungkin berpikir aku akan merebut santapan enaknya dan patutlah ia merasa was-was. Kami beradu pandang. Anjing sedikit kikuk, mungkin ia berpikir akan kutendang karena menghalangi jalanku. 

Lagipula, kok bisa-bisanya ada anjing di dekat hotel mewah pusat kota. Absurd ! Ada semacam garis penegas antara aku dan anjing agar saling menjaga derajat. Anjing sepertinya paham dan sedikit mengelak tapi tetap dengan mata yang awas melintas dari sisi kiri. Sepertinya anjing ini pernah di miliki seseorang, pikirku.  "hebat juga si anjing, seperti tahu sopan santun harus melintas dari kiri, gumanku". " Apa mungkin tuannya lah yang mengajarkan si anjing harus patuh aturan seperti itu ?" Aku tersenyum geli sendiri. "kalau anjing saja bisa di atur sedemikian rupa untuk mengikuti aturan manusia, mengapa pula anjing tidak tahu akan surga ?" Jelas manusia bisa memberitahunya, tapi tentu saja---butuh waktu cukup lama memahaminya.

*

"Saya tidak ingin bercerai" , ujar sang suami dengan suara pelan tertahan. Ada nada serak di tenggorokan dan mata yang sedikit sayu berkaca-kaca ketika ia mengucapkannya. Kemudian ia melanjutkan lagi. " Aku sudah jujur kepadamu, bahwa aku selingkuh dan aku bersungguh-sungguh tidak akan melakukan perbuatan terkutuk itu lagi". 

Sang isteri  bergeming tapi terlihat dengan samar tubuhnya menahan getaran dan semakin pasti ia merasa tertekan---dan mungkin juga merasa bodoh---mungkin juga merasa sudah tidak cantik lagi sehingga suami yang telah di nikahinya 10 tahun berpaling kepada pelacur. 

Tapi, agaknya ia juga merasa ragu juga untuk bercerai dengan alasan suaminya baru melakukannya satu kali---yang tentu saja berdasarkan pengakuan suaminya. Awalnya, saya mengira ia akan mengeluarkan alasan klise---demi anak ia akan bertahan. Tapi, dari beberapa kali pertemuan, saya menyimpulkan wanita ternyata memiliki pemikiran dan cukup modern. Bisa di bilang begitu, karena sangat jarang wanita tahan di selingkuhi. Bisa jadi juga mungkin pertimbangannya adalah suaminya berselingkuh bukan dengan wanita simpanan. 

Jika demikian, tentu suaminya akan memperlakukan wanita simpanan seperti dirinya---hanya saja sebutan nomornya saja agak lebih besar ; isteri kedua. Mirip poligami.

Wajah sang isteri menengadah ke atas sambil melihat langit-langit ruangan yang berwarna biru cerah tapi tentu saja hari ini ia akan merasa birunya pucat. Tidak seperti laut yang ia rindukan. Tangannya saling berdekapan, bergerak-gerak pelan. Suami yang duduk di sebelah kirinya gelisah tapi tidak berani berusaha menggeser bangku lebih dekat dengan isterinya, padahal selama ini mereka sangat dekat dan erat. 

Suami yang berdasi biru bermotif garis-garis miring tegas sepertinya sudah kehilangan akal bagaimana bisa kembali rujuk dengan isterinya mengingat ia dahulu begitu habis-habisan dalam mengejarnya---yang lagi-lagi menurut ceritanya, membutuhkan waktu hampir 10 tahun. Dramatis sekaligus ironis ! Mungkinkah suami karena terlalu lama mengejar menjadi merasa bosan ? Tapi kalau bosan, mengapa pula ia harus berselingkuh menunggu 10 tahun baru melaksanakannya ? Apakah ini mimpi-mimpi yang terpenjara dalam bayangan bawah sadarnya?

Seperti yang Freud katakan, alam bawah sadar sangat punya peranan dalam perilaku manusia. Khusus dalam hal seks, jika di tahan dengan ketat, suatu saat akan dapat meledak, membuncah jika tidak ada salurannya. Tapi, lagi-lagi ia sudah memiliki isteri, cantik pula. Dan, jika melihat lekuk tubuhnya, masih dalam fase sintal dan kenyal jika memang itu yang di inginkannya.

Dalam gerakan yang terlihat anggun dan tatapan mata yang kini telah berubah menjadi lebih teduh walaupun tentu saja masih ada tersirat mata yang basah, isteri menggerakkan tangannya menuju tangan suami. Kemudian menggeser kursinya dan mulai berdiri. Perlahan mendekat kepada suaminya sambil membuka kedua lengan tangannya menjadi lebar bersiap memeluk suami tercinta---yang awalnya merasa kikuk, ragu, dan terkesan hina, tapi dalam pancaran mata membesar---bersinar membalas bahasa tubuh isteri tercintanya.

*

" Saya 100 persen yakin bercerai !". Sang wanita anggun itu mengucapkannya dengan datar, dalam tapi tanpa ada tekanan yang berarti pada lekuk bibirnya. Dalam ilmu psikologi, bahasa tubuh seperti ini---jelas sang wanita benar-benar terbebas dari tekanan keputusannya. 

Wanita ini sedang mempertontonkan kekeras kepalaan dan akal sehatnya. Aku jelas tidak bisa menghilangkan keterkejutanku walaupun seulas senyum pengertian tetap terulas di bibir. Bukan karena tuntutan profesi yang mewajibkankan seperti itu, tapi lebih karena merasa benar-benar heran karena wanita ini, yang pernah beberapa kali berkonsultasi bersamaku, sangat aku akui memiliki karakter jujur, cerdas, seksi menggoda dan tentu saja---kesatria daripada sosok yang seharusnya.

Apalagi hari ini ia memakai gaun biru agak sedikit ketat yang serasi dengan busanaku ; busana abu-abu, kami bagai murid dan guru. Guru yang menitahkan nasehat pamungkas sebelum murid turun gunung. Padahal, justru sebaliknya.

Ia tidak malu mendekapku ketika sesi berakhir. Aku menerimanya dengan terbuka lebar---hangat. Sebelum pikiran lajangku mulai membuncah dengan getaran yang mengarah ke-ketegangan salah satu fungsi fisik, aku langsung melepaskannya dengan pelan. Sepertinya ia tersadar.

*

Sore itu kami habiskan  berjam-jam bercerita di sebuah kafe di tepi pantai di temani suara deburan ombak dan sayup-sayup terdengar iringan lagu Imagine, Jhon lennon dan Wonderfull tonigt, Eric Clapton.

Sambil menyeruput teh jahenya---dan aku masih dengan kopi kental pahit kesukaanku ( Takaran 2 sendok gula, 3 sendok kopi ). Ia bercerita dengan bahasa lugas, terarah dan tak ada sentakan ragu dalam nada suaranya.

"setelah dua tahun, suamiku bertahan tidak selingkuh, ternyata ia tidak tahan ..."  Ia berhenti sesaat seperti malu akan tingkah laku suaminya. Aku mendengarkan dengan tatapan teduh dan menatap wajah wanita tangguh dihadapanku dengan geraian rambut yang mempesona ini dengan rasa iri , sedih dan sekaligus kagum. Aku menunggu dengan penasaran akan keputusan besar dalam hidupnya.

" aku menceraikannya karena ia terlibat korupsi" ujarnya dengan masih menggunakan intonasi datar, dalam nan lugas, tapi ketika mengucapkan kata korupsi ada nada jijik disitu. Ia seperti membayangkan  anjing memakan bangkai sejenis.

Tidak terasa malam telah tiba. Kira- kira pukul 8 malam kami berjalan keluar kafe. Aku mengantarkan wanita anggun nan hebat itu menuju mobilnya. Ia tidak lagi memakai mobil Mercedes Benz pemberian suaminya. Dan, dalam tatapan iseng, aku sengaja melirik leher  angsanya---melihat, ia tidak lagi memakai kalung mutiara. Setelah kuperhatikan dengan lebih seksama lagi, ia juga tidak membawa tas kecil Louis Vuitton yang harganya bisa ratusan juta. Walaupun perceraiannya membuatnya terlihat miskin dan tidak lagi menyandang seorang isteri sosialita dari pengusaha raksasa , tapi kekuatan hati nuraninya lebih dominan lebih besar menguasai sikapnya dalam memandang kekayaan yang pernah di nikmati bersama suaminya.

Ah, aku menjadi berkhayal akan bertemu dan mempersunting wanita seistimewa ini, kelak. Tapi, ah, bukankah ia sudah bercerai ? Mengapa aku harus mencari lagi ? Kami sudah saling percaya. Toh, kami sudah berpelukan walaupun tentu saja berbeda momen dan rasa, pikir otak ku yang mulai sedikit berkompromi. " Tapi, bukankah pelukan bisa turun ke hati ". Ah, mengapa otakku seakan memaksaku dengan sadar untuk menggerayangi siluet lekukan tubuhnya. Kopi sepertinya membuat melek imajinasi kelakian-lakianku menjadi lebih tidak terkontrol. Ah.

Kemudian ia mendadak mendongakkan kepalanya y ang sedikit mengagetkan aku sebelum menutup pintu mobilnya. " oya, aku sekarang memelihara anjing kampung yang kudapat dari jalan dekat rumah" Mampirlah, dan bawa anjingmu, manatahu sudah mau kawin, kebetulan anjing di rumah anjing betina" ucapnya sambil tersenyum. Jenis senyum yang sulit kuungkapkan. Mengingat tuturnya yang mengucapkan kata anjing, pikiranku menjadi liar kemana-mana. " Baik, boleh juga, sekalian mungkin kita bawa menuju taman bersama-sama, agar saling mengenal dulu". Aku tersenyum manis---semanis madu.

*

Hari itu aku memberikan kuliah umum di sebuah universitas ternama. Aku bertanya, khususnya kepada gadis-gadis yang mulai beranjak dewasa dan segera akan menghadapi kehidupan nyata. Sambil bercanda aku bertanya " Siapa di antara kalian yang ingin bersuami kaya ?" Terdengar suara riuh para mahasiswa lelaki dan gelak tawa para mahasiswi. Kemudian entah mengapa beberapa wanita menunjuk tangan dan para mahasiswa pria berteriak huuuu.

Kemudian aku melanjutkan pertanyaan kedua kepada ribuan anak kampus tersebut " Bagaimana jika kalian memiliki suami kaya dari korupsi..." dan aku melanjutkan  kata-kata yang membuat keriuhan suasana seminar menjadi hening. " Dan karena kalian sepertinya belum ada yang menikah, bagaimana kalau kuliah kalian saat ini di biayai orang tua, dalam hal ini ayah kalian khususnya, ternyata dari uang korupsi alias uang hasil dari penderitaan orang lain ? "Beranikah kalian memutuskan hubungan darah sekaligus tentu saja memiliki risiko menjadi tidak tamat kuliah atau mungkin juga meneruskan kuliah tapi dengan biaya sendiri ?" Tak ada suara. Tak ada celotehan---hiruk pikuk. Ternyata kaum mudapun gemetar ketakutan jika berhadapan dengan kata magis korupsi.

*

Di salah satu tempat duduk kayu yang sengaja aku letakkan di bawah pohon sawo rindang, aku duduk istirahat sesaat karena baru saja memandikan anjing kesayanganku. Aku menatapnya, dan anjingku dengan mata  yang berbinar-binar dan sesekali mengeluarkan lidah, seperti mengucapkan terimakasih sambil mengibaskan ekornya.

Jika anjing saja bisa menghargai manusia, mengapa manusia saat ini banyak yang serakah dan tamak ingin kaya raya dengan korupsi  di atas penderitaan ratusan juta orang ? Mendadak, entah mengapa aku jadi ingat anjing yang pernah kulihat di dekat hotel yang membawa plastik berisi nasi Padang. Mungkinkah korupsi dilakukan karena ada kesempatan ? atau karena lapar ? Anjing saja mencuri jika lapar. Tapi, masakkan manusia belajar dari anjing ? Ketika mengucapkan kata "masakkan manusia belajar dari anjing" " anjing kan bukan manusia" . "Anjing kan tidak tahu surga " Mendadak aku merasa De javu, seperti mengingat sesuatu yang ganjil karena terasa pernah mengalaminya.

*

" Aloha" sapaku ramah sambil tersenyum kepada wanita tangguh yang rasa kagumku kepadanya tidak hilang-hilang. Ia membalas sapaaku dengan senyum dan bukan hanya satu, ada dua wanita yang menyambutku pada sore indah nan lembayung. Ia, wanita kedua itu tersenyum manis. Aku merasa pernah melihatnya. " Apa iya, kau menanyakan kepada mahasiswi dengan pertanyaan " apakah kalian akan meninggalkan seorang ayahnya jika ia ternyata korupsi ?" Aku kaget ia tahu akan pertanyaan itu.

Darimana ia tahu ?  Mungkinkah ia hadir dalam salah satu seminar atau kuliah umumku ? Tapi, aku langsung bisa menebak dari senyum anaknya yang terlihat seumuran anak gadis yang sedang kuliah. " Ya, bahkan ide pertanyaanku itu terinspirasi karena perceraianmu dulu". Ia tersenyum sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. " Kukira kita sudah impas sekarang" ujarnya, sambil sekali lagi tidak lupa menghentakku dengan senyum semanis madu.

Ia dulu terinpirasi dari pertanyaanku, " mungkinkah binatang tahu surga". Ketika akhirnya ia menikah, ia menyadari, pertanyaan itu bukan konyol.

Hanya saja, saat itu memang ia merasa pertanyaan itu begitu absurd dan sok filosofis, tapi ketika menikah dan memiliki anak bahkan menjadi kaya raya---walaupun sebenarnya ia sudah mandiri dan memiliki rumah sendiri sebelum menikah, ia merasa pertanyaan itu semacam kompas arah hidupnya. Ia bahkan berikrar, suatu saat ia sangat ingin berharap masuk surga agar tahu jawabannya, walaupun surga menurut versinya tidak seperti kumpulan bidadari nan cantik lagi bohai, karena ia wanita. Ia hanya ingin tahu, jawaban pasti dari pertanyaan tersebut. Di surga bisa jadi---maaf, bukan bisa jadi lagi, tapi  pasti ada seseorang yang benar-benar bijaksana nan kudus bijaksana mampu menjawabnya. Jika tidak ada, buat apa pula ia masuk surga, pikirnya.

*

Ternyata anjing dalam kisah Mahabrata adalah salah satu hewan yang berhasil masuk surga. Bahkan konyolnya, Drupadi saja tidak berhasil masuk ( karena meninggal di perjalanan) yang terkenal akan kecantikannya dan kesetiaannya. Ternyata memiliki pesona dan pusat perhatian tidak menjaminkan surga. Ah.

*

Dalam sebuah kuliah umum, sebelum aku bertanya kepada para mahasiswa, aku meminum kopiku, sambil merapikan rambut panjangku yang terjatuh menutupi sebagian wajahku.

" Pernahkah kalian memiliki keberanian melawan, menghantam, membakar para koruptor ?" Pertanyaan menohok ini membuat segenap ruangan menjadi senyap. Rasanya seperti luka yang terkena asam, sehingga para dosen dan beberapa tamu undangan seperti berteriak dalam otaknya dengan senyum perih---kecut. Beruntung sofanya cukup nyaman untuk menanggung beban tubuh yang bergetar. Mungkin mereka heran, mengapa pula pertanyaan ini di sampaikan kepada mahasiswa fakultas agama. Kurang ajar !

Kemudian dengan gaya khasku, aku mulai menggulung kemeja hitamku. Aku selalu melakukan ini jika hendak menutup sebuah kuliah umum. Secara psikologis ini menunjukkan ketegasan dan sikap tanpa tedeng aling sekaligus pemberontakan. Aku mulai mengambil sikap tegap, tangguh. " Ia yang mampu bercerai dari pasangannya karena korupsi, seperti anjing yang berhasil masuk surga " 

Sekalipun banyak orang tidak menyukai di teriaki anjing, ternyata anjing sering lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri." Hening dan hening seperti berada di puncak gunung Singgalang. Kemudian terdengar gemuruh tepuk tangan. Ia telah menjadi puteri dengan otot kesatria bukan ratu yang berperawakan lembut, manutan dan lihai di cangkang suaminya. Puteriku ternyata juga anjing ; Anjing betina yang bercerai karena korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun