"setelah dua tahun, suamiku bertahan tidak selingkuh, ternyata ia tidak tahan ..." Â Ia berhenti sesaat seperti malu akan tingkah laku suaminya. Aku mendengarkan dengan tatapan teduh dan menatap wajah wanita tangguh dihadapanku dengan geraian rambut yang mempesona ini dengan rasa iri , sedih dan sekaligus kagum. Aku menunggu dengan penasaran akan keputusan besar dalam hidupnya.
" aku menceraikannya karena ia terlibat korupsi" ujarnya dengan masih menggunakan intonasi datar, dalam nan lugas, tapi ketika mengucapkan kata korupsi ada nada jijik disitu. Ia seperti membayangkan  anjing memakan bangkai sejenis.
Tidak terasa malam telah tiba. Kira- kira pukul 8 malam kami berjalan keluar kafe. Aku mengantarkan wanita anggun nan hebat itu menuju mobilnya. Ia tidak lagi memakai mobil Mercedes Benz pemberian suaminya. Dan, dalam tatapan iseng, aku sengaja melirik leher  angsanya---melihat, ia tidak lagi memakai kalung mutiara. Setelah kuperhatikan dengan lebih seksama lagi, ia juga tidak membawa tas kecil Louis Vuitton yang harganya bisa ratusan juta. Walaupun perceraiannya membuatnya terlihat miskin dan tidak lagi menyandang seorang isteri sosialita dari pengusaha raksasa , tapi kekuatan hati nuraninya lebih dominan lebih besar menguasai sikapnya dalam memandang kekayaan yang pernah di nikmati bersama suaminya.
Ah, aku menjadi berkhayal akan bertemu dan mempersunting wanita seistimewa ini, kelak. Tapi, ah, bukankah ia sudah bercerai ? Mengapa aku harus mencari lagi ? Kami sudah saling percaya. Toh, kami sudah berpelukan walaupun tentu saja berbeda momen dan rasa, pikir otak ku yang mulai sedikit berkompromi. " Tapi, bukankah pelukan bisa turun ke hati ". Ah, mengapa otakku seakan memaksaku dengan sadar untuk menggerayangi siluet lekukan tubuhnya. Kopi sepertinya membuat melek imajinasi kelakian-lakianku menjadi lebih tidak terkontrol. Ah.
Kemudian ia mendadak mendongakkan kepalanya y ang sedikit mengagetkan aku sebelum menutup pintu mobilnya. " oya, aku sekarang memelihara anjing kampung yang kudapat dari jalan dekat rumah" Mampirlah, dan bawa anjingmu, manatahu sudah mau kawin, kebetulan anjing di rumah anjing betina" ucapnya sambil tersenyum. Jenis senyum yang sulit kuungkapkan. Mengingat tuturnya yang mengucapkan kata anjing, pikiranku menjadi liar kemana-mana. " Baik, boleh juga, sekalian mungkin kita bawa menuju taman bersama-sama, agar saling mengenal dulu". Aku tersenyum manis---semanis madu.
*
Hari itu aku memberikan kuliah umum di sebuah universitas ternama. Aku bertanya, khususnya kepada gadis-gadis yang mulai beranjak dewasa dan segera akan menghadapi kehidupan nyata. Sambil bercanda aku bertanya " Siapa di antara kalian yang ingin bersuami kaya ?" Terdengar suara riuh para mahasiswa lelaki dan gelak tawa para mahasiswi. Kemudian entah mengapa beberapa wanita menunjuk tangan dan para mahasiswa pria berteriak huuuu.
Kemudian aku melanjutkan pertanyaan kedua kepada ribuan anak kampus tersebut " Bagaimana jika kalian memiliki suami kaya dari korupsi..." dan aku melanjutkan  kata-kata yang membuat keriuhan suasana seminar menjadi hening. " Dan karena kalian sepertinya belum ada yang menikah, bagaimana kalau kuliah kalian saat ini di biayai orang tua, dalam hal ini ayah kalian khususnya, ternyata dari uang korupsi alias uang hasil dari penderitaan orang lain ? "Beranikah kalian memutuskan hubungan darah sekaligus tentu saja memiliki risiko menjadi tidak tamat kuliah atau mungkin juga meneruskan kuliah tapi dengan biaya sendiri ?" Tak ada suara. Tak ada celotehan---hiruk pikuk. Ternyata kaum mudapun gemetar ketakutan jika berhadapan dengan kata magis korupsi.
*
Di salah satu tempat duduk kayu yang sengaja aku letakkan di bawah pohon sawo rindang, aku duduk istirahat sesaat karena baru saja memandikan anjing kesayanganku. Aku menatapnya, dan anjingku dengan mata  yang berbinar-binar dan sesekali mengeluarkan lidah, seperti mengucapkan terimakasih sambil mengibaskan ekornya.
Jika anjing saja bisa menghargai manusia, mengapa manusia saat ini banyak yang serakah dan tamak ingin kaya raya dengan korupsi  di atas penderitaan ratusan juta orang ? Mendadak, entah mengapa aku jadi ingat anjing yang pernah kulihat di dekat hotel yang membawa plastik berisi nasi Padang. Mungkinkah korupsi dilakukan karena ada kesempatan ? atau karena lapar ? Anjing saja mencuri jika lapar. Tapi, masakkan manusia belajar dari anjing ? Ketika mengucapkan kata "masakkan manusia belajar dari anjing" " anjing kan bukan manusia" . "Anjing kan tidak tahu surga " Mendadak aku merasa De javu, seperti mengingat sesuatu yang ganjil karena terasa pernah mengalaminya.