Saat Malioboro dihentak perkusi
aku terasuk rohmu
Menepi di sudut-sudut kotamu
Menerawang rimba Papua yang elok lestari
Menalar dan menimbang
antara pasir Merapi yang hitam mensejahterakan
dan emas Nemangkawi yang berkilau menyengsarakan
Di sini jaya di sana sengsara
lalu ketika senjamu berpijar lampu jalanan
kulihat sungai Mamberamo mengular datang menghitam
Ada kilau emas di matanya
tapi taringnya mengucurkan bisa membekas di aspalmu
Sungguh ada goda untuk bertahan
Melihat lenggokmu dalam jaipongan
Mendengar senandungmu dalam keroncong
Bersandar di tembok-tembokmu yang meneduhkan
Tapi putraku menarik aku untuk tersadar dari rasukanmu
oleh teriaknya yang bergemuruh melihat Gery yang lari dari Dogiyai
Aku harus pulang dengan cenderawasih yang terparkir di bandaramu
Ah, berapa masa lagi kotaku akan sepertimu.
Malioboro, 13 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H