Di tengah perlambatan ekonomi Indonesia sekarang ini, di kota saya terjadi perlambatan aliran air ledeng ke rumah-rumah alias krisis air. Sudah beberapa bulan ini, keran air di rumah mengalirnya pada jam-jam tertentu saja bahkan mati total. PDAM kekurangan air baku untuk diolah karena kondisi air sungai yang surut, tercemar dan terinstrusi air laut sebagai akibat dari musim kemarau yang berkepanjangan sebagai dampak dari fenomena El Nino tahun ini yang diprediksi terus berlangsung hingga awal tahun 2016 mendatang.
Kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan sudah hal lazim kita alami. Kejadian ini terus berulang dan berulang lagi tanpa ada suatu pemecahannya yang tuntas. Pada World Water Forum II di Den Haag tahun 2000 sudah memprediksikan Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada tahun 2025. Tanda-tandanya dapat kita rasakan sekarang ini dimana air yang aman dan layak mulai langka keberadaannya bahkan harga satu liter air mulai sama harganya dengan satu liter bahan bakar.
Rata-rata musim kemarau panjang terus meningkat. Dalam kurun waktu tahun 1844 dan 1960, kemarau panjang terjadi rata-rata empat tahun, tetapi antara tahun 1961 dan 2006 meningkat menjadi tiga tahun. Kejadian El Nino 1997-1998 adalah yang paling parah selama 50 tahun dimana tahun 1998 memang merupakan tahun terpanas dalam abad dua puluh ini. Dan saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi salah satunya penyebabnya harga bahan pangan yang tinggi akibat petani banyak gagal panen karena kekeringan. Tentu kita semua harus waspada di tengah kondisi perlambatan ekonomi sekarang ini.
Disamping pengaruh iklim global, kondisi kekeringan di Indonesia terutama disebabkan oleh makin rusaknya kondisi lingkungan. Mulai dari kondisi hutan di pegunungan yang rusak parah dimana luasannya makin terus berkurang dan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia juga mengalami banyak kerusakan.
Meningkatnya alih fungsi lahan di kawasan hulu menjadi kawasan pertanian dan pertambangan, tak terkendalinya permukiman dan industri di kawasan tengah karena kemudahan dalam mengambil air dan membuang limbah serta pencemaran di kawasan hilir sungai makin parah menyebabkan kondisi DAS semakin buruk. Data menunjukkan bahwa dari 458 DAS yang ada di Indonesia, terdapat 60 diantaranya dalam kondisi kritis berat, 222 kritis dan 176 DAS lainnya berpotensi kritis (Mapiptek 2013). DAS kritis membuat cadangan air baku baik kualitas maupun kuantitasnya terus menurun.
Kebutuhan air bersih setiap tahun, tingkat permintaannya terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pemenuhan pola hidup manusia. Sedangkan volume air di dunia ini bersifat tetap tidak pernah berubah artinya air yang kita minum hari ini adalah air yang sama saat dikomsumsi oleh para dinosaurus di Jaman Jurassic Park jutaan tahun yang lalu.
Air dipergunakan oleh antar generasi, baik sekarang maupun generasi yang akan datang. Mengingat ketersediaan yang makin terbatas cenderung langka maka perlu ada langkah-langkah konkret sebagai solusi untuk menyelamatkan sumber daya air untuk menjamin kecukupan air guna keberlangsungan hidup umat manusia di masa depan.
Konservasi di Kawasan Hulu
Penyelamatan sumber daya air harus dimulai dari di mana mata air berada yaitu hutan-hutan yang ada di pegunungan yang tersebar di kawasan hulu. Hutan-hutan yang tersisa wajib diselamatkan dan yang gundul wajib dihijaukan kembali.
Konservasi adalah suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air. Jadi konservasi di kawasan hulu bertujuan untuk mencegah air hujan langsung mengalir ke hilir dan menyimpan air (daerah resapan). Disamping itu hutan juga dapat menyerap emisi karbon dan tempat hidup keanekaragaman hayati. Apabila hutan-hutan kita masih luas dan tetap terjaga kelestariannya tentu pengaruh fenomena El Nino tidak terlalu berdampak karena hutan-hutan ini dapat menciptakan iklim lokal sendiri yang mampu menjaga keseimbangan alam di wilayah tersebut.
Kita dapat belajar dari pengalaman kota asal Donald Trumps, New York City, Amerika Serikat. Dimana dulunya Pemerintah setempat dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama, menyelamatkan kawasan hulu yang pada waktu itu dikuasai oleh banyak orang atau kedua, membangun instalasi pengolahan air.
Dengan pertimbangan memenuhi kebutuhan air penduduk Kota New York secara berkelanjutan maka dipilihlah, konservasi di kawasan hulu dengan cara membeli semua lahan di hulu dan dijadikan daerah konservasi. Dan pilihan ini ternyata tempat, hingga sekarang Kota New York mendapat pasukan air baku yang baik secara kualitas dan cukup secara kuantitas dan terjamin kontinuitasnya.
Di Malaysia, konservasi tidak hanya dilakukan di kawasan hulu (dataran tinggi), namun juga dilakukan di dataran rendah (lahan basah) sehingga negara tetangga kita ini ramai-ramai melakukan pencabutan kelapa sawit di lahan basah dan “memindahkan” perkebunan sawit mereka ke Indonesia. Malaysia menyadari betul bahwa dataran rendah yang terdapat di alam memang diciptakan untuk tampungan dan cadangan air. Anehnya di Indonesia, malah ramai-ramai menanam kelapa sawit di lahan basah yang notabenenya di lahan gambut.
Lamban laun lahan yang dulunya basah mulai mengering akibat banyak dibuat parit-parit ditambah sifat kelapa sawit yang banyak menyerap air. Lahan gambut yang kering sifatnya mudah terbakar dan sukar untuk dipadamkan. Apabila tidak dijaga maka dampaknya dapat kita rasakan seperti sekarang ini yakni berupa bencana asap yang tak kunjung reda.
Infrastruktur Sumber Daya Air
Pada tahun 1940-an, Ahli air dari Belanda, Prof. Dr. Van Blommestein pernah memberikan suatu pemikiran tentang tata kelola air di Pulau Jawa secara terpadu. Dasar pemikirannya sederhana yaitu kelebihan air di musim hujan di tampung dan disimpan (bendungan atau waduk) untuk dapat dimanfaaatkan di saat musim kemarau. Akan tetapi saat itu gagasanya belum dianggap perlu karena daya tampung dan daya dukung Pulau Jawa masih bagus.
Melihat kondisi sekarang ini, gagasaan Prof. Dr. Van Blommestein tersebut tentu sangat relevan. Sesuai Nawa Cita, lima tahun ke depan Pemerintah Jokowi berencana membangun sebanyak 49 waduk dan bendungan di Indonesia, 16 di antaranya saat ini sudah mulai dikerjakan dan satu bendungan sudah selesai dan mulai beroperasi yaitu bendungan Jatibarang di Semarang Jawa Tengah.
Keberadaan bangunan infrastruktur seperti bendungan/waduk/embung memang sangat penting untuk dapat menampung air sehingga dapat dikendalikan dan dimanfaatkan sebagai energi, untuk irigasi pertanian serta memenuhi kebutuhan air domestik dan industri.
Namun volume air pengisinya sangat tergantung dengan keberadaan mata air di hutan-hutan yang berada di kaki pegunungan. Apabila hutan gundul maka tidak ada cadangan air sehingga saat kemarau bendungan/waduk/embung ini hanya terisi oleh lumpur saja. Jadi disamping giat membangun infrastruktur fisik, pemerintah harus juga membarenginya dengan pembangunan non infrastruktur seperti penghijauan hutan-hutan di kawasan hulu serta berupaya terus menerus menyadarkan masyarakat betapa pentingnya konservasi air yang berkelanjutan.
Teknologi Pengolahan Air
Bagi Anda yang pernah pelisir ke Singapura entah untuk berobat atau sekedar jalan ramai-ramai bersama orang satu kantor dan Anda pernah membeli air minum dalam kemasaan “NEWater” maka itulah adalah air minum yang berasal dari hasil pengelolaan air buangan. Tentunya melalui tahapan proses pengolahan sampai menjadi air layak konsumsi sesuai standar kesehatan.
Luas Singapura hanya 718 km2 atau separuh lebih dikit dari luas Danau Toba, yang wilayahnya tidak banyak memiliki sumber mata air sehingga pemerintahnya putar otak untuk mengatasi keterbatasan sumber air baku ini. Terdapat beberapa pilihan, pertama, membeli air dari negara tetangga, kedua memanen air hujan, ketiga mengolah air buangan untuk keperluan domestik dan industri.
Singapura memilih opsi untuk membangun instalasi pengolahan air. Disamping mereka menguasai teknologi pengolahannya, proyek ini juga didukung modal finansial yang kuat. Penggunaan teknologi pengolahan air juga dipraktekan oleh negara kecil lainya yaitu Israel dengan mengolah air limbah untuk air pertanian dan air laut untuk air minum bagi warga negaranya.
Jadi sudah saatnya kita memikirkan tentang penggunaan teknologi pengolahan air ini karena secara kuantitas debit sungai kita luar biasa hanya saja kualitasnya buruk karena pencemaran limbah domestik, pertanian dan industri.
Tentu tidak hanya sekedar dipikirkan tapi segera direalisasikan dan pihak Perguruan Tinggi harus mengambil peranan untuk dapat menciptakan teknologi pengolahan air yang dapat mengolah air sungai atau air gambut yang kualitasnya jelek menjadi air bersih siap minum untuk skala rumah tangga maupun skala PDAM (IKK Kecamatan).
Sebagai negara besar tentu kita harus malu dengan negara-negara kecil yang tidak mempunyai sumber mata air dan sungai akan tetapi berhasil mengatasi keterbatasanya tersebut sehingga mampu menyediakan layanan akses air minum hampir 100% bagi warga negaranya.
Pembuatan Regulasi dan Alokasi Anggaran
Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sehingga peraturan-peraturan di bawahnya tentu tidak berlaku juga seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang SPAM tahun 2005, PP tentang Irigasi tahun 2006, PP tentang Sungai 2011, PP tentang rawa 2013 dan bentuk peraturan lainnya yang diktum pasalnya mengacu pada UU tersebut di atas.
Otomatis, di dalam mengelola sumber daya air kita kembali ke UU No.11 Tahun 1974 hanya saja UU ini sudah berusia lebih dari 40 tahun jadi dianggap kurang relevan dengan situasi dan kondisi sekarang ini. Untuk itu perlu Pemerintah bersama-sama DPR dapat segera membuat UU penggantinya sesegera mungkin. Tentunya DPR harus menyelesaikan kasus Trump Gate terlebih dahulu karena publik menunggu-nunggu “kemarwahan” Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menangani kasus ini.
Dengan adanya payung hukum yang pasti, maka sistem penganggaran dapat segera dilakukan. Di masa lalu, alokasi pembangunan sumber daya air terkonsentrasi pada pembangunan saluran irigasi menyebabkan infrastruktur sumber daya air lainnya terabaikan. Tentu hal ini harus diperbaiki namun besaran prosentase alokasi dana untuk program rehabilitasi hutan di kawasan hulu, pembangunan waduk dan irigasi daya air serta dukungan dana pada pengembangan teknologi pengolahan air tentu sangat tergantung pada komitmen dan kemauan politik dari para pemangku kepentingan.
Pelanggaran terhadap regulasi juga harus diberikan sanksi tegas dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Penebangan hutan di kawasan lindung, illegal logging, pembakaran lahan dan perusakan sumber daya air, siapapun pelakunya harus ditindak tanpa pilih bulu. Kita semua harus tetap optimis meski wajah hukum Indonesia akhir-akhir ini masih memprihatikan seperti dihukumnya orang hanya karena menebang sebatang pohon pisang sedangkan pembakaran lahan akibat lalainya perusahaan besar, dalangnya tidak ditangkap. Tentu banyak kasus hukum lainnya yang bikin kita hanya mengurut dada.
Kepemimpinan yang Kuat
Program pembangunan sumber daya air sudah ditetapkan, alokasi dana sudah tersedia didukung dengan regulasi dan aplikasi teknologi, semuanya tentu tidak akan dapat berjalan dengan baik, tingkat keberhasilannya kecil apabila sang pemimpinnya tidak memiliki komitmen kuat dan tidak memiliki kecakapan.
Kita kerap mengetahui seorang pelatih sepakbola yang baru ditunjuk, ada yang mampu mengangkat prestasi klubnya dibandingkan dengan pelatih yang lama padahal sama-sama mengandalkan para pemain yang hampir sama. Begitu juga nasib dari sebuah kota dapat menjadi lebih baik kerap ditentukan oleh pemimpin kotanya. Kuncinya adalah kepemimpinan yang kuat dan memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola sumber daya yang dimiliki baik itu dana, sumber daya manusia (SDM) dan perangkat penunjang lainnya.
Lihat bagaimana Pemimpin Singapura, Lee Kuen Yew yang berhasil menjalankan program NEWater, semua warga negara turut berpartisipasi mendukung kebijakan ini karena Lee Kuen Yew seorang pemimpin yang berkharisma dan visioner. Ia seorang pemimpin yang kuat yang begitu dihormati di dalam dan luar negeri.
Masih ingat dengan Walikota Seoul, Lee Myung Bak yang kemudian menjadi Presiden Korea Selatan, yang berani meruntuhkan jalan tol demi menghidupkan kembali aliran Sungai Cheonggyecheon. Meski sempat mendapat kritik dari publik, proyek revitalisasi kawasan sungai ini terus dilanjutkan dan sekarang hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat yang begitu bangga memiliki sungai alami di tengah kemegahan Kota Seoul bahkan Sungai Cheonggyecheon telah menjadi tujuan wisata favorit wisatawan dunia.
Di tanah air, kita dapat belajar kepada Walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini yang selalu masuk nominasi pemimpin terbaik dunia berkat keberhasilannya menata dan mempercantik wajah Kota Surabaya. Sekarang di kota pahlawan ini banyak terdapat taman-taman yang indah serta keberadaan kali/sungai yang jernih dan bersih serta dipenuhi ikan-ikan. Kepemimpinan Bu Risma menjadi contoh bahwa dalam mengelola kota tidak hanya ditentukan oleh regulasi dan sistem tetapi juga dapat ditentukan oleh kemampuan personal seorang pemimpin.
Pilkada Serentak
Pemilihan kepala daerah serentak tahun ini tentu ingin mendapatkan pemimpin berkualitas yang mampu memberikan pelayanan terbaik bagi warganya. Sebagai panduan awal, kita semua dapat melihat dari track record-nya serta visi dan misi yang akan ditawarkan.
Calon pemimpin harus menyadari bahwa air adalah kebutuhan publik paling mendasar. Disamping itu PBB telah menetapkan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia. Bahkan kita punya hari air sedunia (World Water Day) yang diperingati setiap tanggal 22 Maret setiap tahunnya, namun gerakannya masih bersifat seremonial, hari ini kita memperingatinya, besok kita sudah lupa lagi. Air merupakan sumber kehidupan sehingga tanpa air manusia tidak akan dapat bertahan hidup lama. Itu kenapa misi luar angkasa diantaranya guna menemukan planet air untuk dapat dihuni oleh umat manusia jika air di bumi tidak bisa dikonsumsi lagi.
Kebutuhan dasar berarti menyangkut hajat hidup orang banyak apabila dikaitkan dengan pilkada maka ada banyak calon pemilih disitu. Isu air menjadi isu yang sexy. Calon pemimpin menyadari betul hal tersebut tentu akan menawarkan visi misi yang memuat pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, secara kualitas memenuhi syarat kesehatan, kuantitasnya cukup tersedia, terus mengalir (kontinuitas) dan tentu harus terjangkau. Pemimpin yang peduli air berarti seorang pemimpin yang peduli rakyat.
Pemimpin harus disukai oleh masyarakat. Bicara hal-hal paling disukai dan lagi digandrungi oleh masyarakat saat ini adalah sinetron Turki, ketika mereka pegang remote tv maka otomatis yang dipilih channel tv yang menyiarkan sinetron Turki tersebut ketimbang memilih sinetron Indonesia yang kadang lebay dan sudah dapat diterka end-ingnya.
Nah begitu juga bila Anda sebagai calon pemimpin pilkada yang benar-benar mau memperhatikan kebutuhan air minum rakyat pemilih Anda. Maka pasti secara otomatis para calon pemilih akan memilih Anda dengan sukarela karena mereka sudah terlanjur menyukai Anda seperti mereka menyukai Sinetron Turki “Cint@ di Musim Ceri”.
Semoga pilkada serentak tahun ini dapat berjalan lancar, aman, adil dan jujur serta dapat menghasilkan pemimpin yang jujur dan amanah. Amin. @Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H