Mohon tunggu...
Raimundus Armando Dwi
Raimundus Armando Dwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia Filsafat

"Buatlah apa yang baik di hari ini, agar di masa depan ada sejarah baik dalam hidup kita"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pancasila: Pemaknaan yang Tidak Akan Habis

11 Maret 2023   21:36 Diperbarui: 11 Maret 2023   21:38 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam kehidupan sebagai manusia di dunia ini, kata ideologi tentu bukanlah sesuatu yang asing. Berdasarkan terminologinya ideologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu 'idea' dan 'logos' (Amalia, 2023). Idea memiliki arti gagasan, konsep, pengertian dasar atau cita-cita, sedangkan logos singkatnya berarti ilmu. Sehingga ideologi bisa dipahami sebagai ajaran mengenai pengertian-pengertian dasar. 

Umumnya sebuah ideologi disusun berdasarkan pemikiran sistematis dan logis, sehingga tidak heran ideologi memiliki kecenderungan kaku dan tertutup. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam ideologi besar yang ada di dunia ini seperti Kapitalisme, Liberalisme, Komunisme, dll yang memiliki sifat tertutup tergantung pada yang berkuasa. Berbeda dari itu semua, Pancasila justru lahir dan hadir sebagai ideologi yang memiliki sifat terbuka (Supriyanto, 2021, p. 117). 

Keterbukaan ini merupakan keunggulan yang harus senantiasa dipertahankan karena dengan demikian membuat Pancasila menjadi ideologi yang terbuka terhadap kritik dan bersifat inklusif terhadap perkembangan serta tuntutan zaman yang ada.

Pancasila bagi Negara Republik Indonesia adalah sesuatu yang amat esensial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah inti dalam berbangsa dan bernegara Pancasila merangkum cita-cita, semangat, arah dasar, dan nilai luhur bangsa yang disusun melalui permenungan mendalam oleh para bapak pendiri bangsa. 

Upaya para bapak pendiri inilah yang menjadikan Pancasila tetap eksis dari zaman ke zaman. Kebertahanan atas keberadaan Pancasila ini memperlihatkan betapa besar pengaruh ideologi ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. 

Sebagai ideologi dan dasar negara, eksistensi Pancasila bukan sekadar identitas yang hanya melekat begitu saja pada bangsa ini apalagi hanya sebagai tanda bahwa Indonesia memiliki identitas yang lebih baik dibanding ideologi lainnya. 

Dalam perjalannya Pancasila harus dapat dipahami, dijabarkan, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari pada diri sendiri maupun sesama agar tetap relevan dalam menghadapi berbagai persoalan yang menyangkut kebhinekaan di Indonesia.

Semangat Persatuan

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Driyakara, R.P. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ seorang imam Katolik, yang juga memiliki ketertarikan dengan Pancasila melalui salah satu tulisannya pernah berkata bahwa "untuk memahami arti Pancasila kita harus mengingat sejarah bangsa saat ratusan pemuda dari seluruh Indonesia berkumpul dan bersumpah untuk memperjuangakan satu tanah dan bangsa dengan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia" (Suparyanto dan Rosad, 2020, p. 1). 

Seruan para pemuda ini adalah pristiwa sejarah indah bagi bangsa Indonesia, dimana segala golongan masyarakat dapat berkumpul dengan semangat sama untuk memeperkuat rasa nasionalisme dan persatuan sebagai Bangsa Indonesia. Pristiwa bersejarah inilah yang dikemudian hari hingga saat ini dan selama-lamanya dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober setiap tahunnya.

Pristiwa sumpah pemuda yang terjadi pada tahun 1928 adalah realitas yang ingin mengatakan bahwa semangat Indonesia pada dasarnya adalah persatuan. Pristiwa ini juga ingin memperlihatkan bahwa sebelum mengenal kata Pancasila sebenarnya kesadaran akan kesatuan sudah tumbuh sejak lama di dalam diri masyarakat, hanya saja belum dirumuskan dalam gagasan pasti mengenai kesatuan ini selain pristiwa sumpah pemuda. 

Beberapa literasi bahkan menyebut bahwa semangat kesatuan dan kesadaran akan persatuan sudah matang sebelum Indoenesia merdeka. Kesadaran ini muncul pada saat berjuang bersama melawan penjajah, segala perbedaan bukan menjadi persoalan sebab memiliki cita-cita yang sama. 

Kemerdekaan Indonesia yang merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat dan bukan hasil hadiah dari penjajah inilah yang menumbuhkan semangat persatuan semakin kuat. Maka menjadi sebuah nilai baik bahwa dengan penjajahan, Bangsa Indonesia yang paling majemuk di dunia dapat disatukan.

Melihat dari sejarah dan kuatnya semangat persatuan yang tercipta dari antar generasi inilah mendorong para bapak pendiri bangsa untuk merenungkan lalu merumuskan dasar negara Indonesia. Hinga pada akhirnya tercetus sebuah kata beribu makna, yaitu 'Pancasila'. 

Dasar negara yang dirumuskan dengan sangat matang ini tentu bukan semata ingin menjadikan Pancasila sebagai sebuah dogma atau ajaran yang kaku, melainkan bertujuan agar cita-cita serta arah dasar negara dapat terbentuk dengan baik demi berkembangnya instrumen suatu bangsa dalam menyusun perekonomian, sosial budaya, politik, maupun keamanan(Supriyanto, 2021, p. 117). 

Dalam proses perumusannya tentu tidak semua berjalan lancar, banyak perubahan dilakukan setelah melihat berbagai konteks bangsa Indonesia. Namun, bukan berarti tidak menemukan titik terang sama sekali. 

Seperti yang diketahui bersama, bahwa hal yang cukup mewarnai perumusan Pancasila ini adalah terkait sila pertama yang didalamnya secara eksplisit mencantumkan salah satu agama yang ada di Indonesia. Bunyi rumusan sila ini menjadi polemik saat itu, sebab seakan tidak merangkul semua lapisan agama yang ada. 

Namun, sesuatu hal luar biasa terjadi dimana para bapak pendiri bangsa khususnya para wakil Islam bersedia mencabut kalimat "dengan kewajiban menjalankan syaria'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" (Suparyanto dan Rosad, 2020, p. 1) dengan rendah hati mau melihat perjalan bangsa ini yang dibangun oleh hasil kerjasama banyak pihak. Semua itu dilakukan demi terciptanya kesatuan dan persatuan bagi bangsa Indonesia.

Sebagai ideologi, Pancasila tentunya disusun dengan berdasarkan tiga aspek yang umumnya dilakukan dalam membuat sebuah ideologi yaitu mencakup dimensi realita, idealisme, dan fleksibilitas (Pembelajaran et al., 2013, p. 53). 

Dimensi realita, dapat dilihat bahwa perumusan Pancasila dalam setiap silanya mengandung nilai dasar yang terkandung dalam masyarakat. Nilai itu berupa sikap semua masyarakatnya yang percaya akan satu Tuhan, menjunjung kemanusian, persatuan, permusyawaratan dan keadilan, bila dilihat semua nilai inu bersumber dari kehidupa yang telah terpatri dan terbetuk oleh masyarakat Indonesia sejak dulu hingga kini. 

Dimensi idealisme, dapat dilihat melalui betapa mudahnya nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dimanifestasikan dalam sebuah tindakan relasi dengan sesama maupun duru sendiri. 

Dimensi fleskibilitas, dapat dilihat betapa masihnya relvan ideologi Pancasila menghadapi tantangan di setiap zamannya. Ketiga dimesi ini lengkap tercantum dalam Pancasila.

Setelah melihat betapa luhurnya latar belakang singkat mengenai semangat persatuan bangsa yang terbangun sejak dari dahulu kala sudah seharusnya membuat kita pun merenungkan persatuan di masa kini. Semangat persatuan harusnya sudah menjadi bagian dalam diri kita saat berbangsa, bernegara, dan bermasayarakat. 

Pancasila sebagai ideologi merupakan penyempurnaan dari semanagat kesatuan yang ada sejak dahulu kala, dalam Pancasila inilah terkandung banyak nilai dalam ideologi lain. 

Ajaran Pancasila inilah yang seharusnya kita pegang kuat agar dalam pengimplematasiannya kita sebagai warga negara tidak salah dalam bertindak memaknai setiap nilai Pancasila. Dengan adanya Pancasila sebagai sebuah ideologi mengandaikan hidup berbangsa, bernegara dan bermasayarakat tidak lenyap dan hilang begitu saja, lebih-lebih dalam semangat persatuan.

Pancasila, Ada Sebagai Kunci Perdamaian

Kendati melihat betapa luhurnya sejarah Bangsa Indonesia yang menumbuhkan persatuan dan kesatuan, tidak dapat dipungkiri permasalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kerap kali muncul. Berbagai permasalah bisa saja muncul sebab mau bagaimana pun sebagai negara majemuk Indonsia akan dihadapakan dengan berbagai macam latar belakang setiap individunya yang berbeda-beda. 

Tidak ada setiap permasalahan yang tidak memiliki jalan keluar, sebeberat apapaun permasalah itu pasti ada jalan keluarnya. Pertanyaanya mau atau tidak kita melihat jalan keluar yang ada dengan segala kemungkinan baik yang dijumpai dalam kehidupan ini, salah satunya adalah Pancasila.

Bagi penulis, Pancasila amat sangat relevan bila digunakan sebagai 'kunci' perdamaian dalam menghadapi permalahan yang menyangkut dengan kebhinekaan di zaman ini. Setelah melihat berbagai tantangan yang ada, urgensi dalam menempatkan pendidikan Pancasila dalam setiap lembaga pengajaran adalah wajib menjadi perhatian seluruh pihak tanpa terkecuali. 

Sebagai bentuk penggunaannya penulis memasukan salah satu contoh kasus yang dapat diteliti dan ditangani dengan Pancasila. Tujuannya adalah agar para pembaca mendapat gambran umum bagaimana Pancasila dapat digunakan sebagai bahan permenungan kritis dalam melihat tantangan atau permasalah yang ada.

Dalam BBC News Indonesia ada sebuah berita yang cukup kontrovensi yaitu kasus perundudngan seorang pelajar putri yang diduga dipkasa menggunakan jilbab di salah satu sekolah negeri provinsi Jawa Tengah. Kasus yang terjadi pada tahun 2022 ini memperlihatkan betapa masih adanya ketidak teraturan yang terjadi dalam institusi sekolah. Dimana seharusnya sekolah menjadi tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan malah menjadikannya tempat mendapatkan pencobaan. Kasus seperti bukanlah sekali terjadi, berdasarkan data KPAI tercatat sejak 2014 samapai dengan 2022 terdapat 5 kasus pelarangan jilbab dan 6 kasus pemaksaan penggunakan jilbab di berbagai daerah Indonesia. Kendati angka kasusnya kecil namun dapat berbdaya besar bagi kebhinekaan Indonesia bila ditangani dengan salah.

Pancasila dengan kelima silanya kemudian bisa melihat dan kemudaian menjadi relevan bila dilakukan permenungna mendalam untuk menanggapai kasus ini. 

Sila pertama yang berikan tentang Ketuhanan, jelas bila direnungi Tuhan yang mahabaik dan mahapengampun tidak akan bertindak membeda-bedakan seluruh umatnya, bagaimanapun cara umatnya berdoa Tuhan akan senantiasa memberikan nafas kehidupan, sehingga seharusnya bukan menjadi permsalahan lagi bagaiamana cara orang bertindak atas agama dan kepercayaannya. Berjilbab atau tidak berjilbab, tidak semata-mata langsung menunjukan kereligiusan seseorang. Lantas sila pertama inilah yang menstinya menjadi acuan bagi kita bahwa penting melihat kebebasan beragama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap individu bangsa ini. 

Sila kedua yang berisikan tentang kemanusian yang adil dan beradap dalam kasus ini seharusnya dapat digunakan sebagai kita merefleksikan apakah tindakan diskriminatif masih baik dan relevan untuk dilakukan ? apakah dengan sikap diskriminatif yang terkesan arogan dapat membawa seorang pada penghayatan mendalam akan kehidupannya dalam bergama atau berbangsa ? 

Sila ketiga dalam melihat kasus ini tentu saja langsung merujuk pada sebuah permenungan, dimana nilai persatuan bangsa bila untuk urusan kecil dalam keagamaan saja harus diatur-atur oleh orang lain, padahal kebersatuan muncul karena setiap individu merasa diberi kebebasan untuk bertindak yang sesuai dengan cita-cita dan visi bangsa. 

Sila keempat yang berisikan mengenai permusyawaratan melihat kasus ini dapat melihat bagiamana atau apa saja cara penyelesaian yang dapat dilakukan untuk menyentuh kata mufakat agar setiap keputusan tidak ada pihak yang dirugikan terlalu besar dan diuntungkan terlalu sedikit. 

Sila kelima yang berisi mengenai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia jelas seharusnya melihat bagaimana sebenarnya sikap adil dalam memperlakukan orang lain, apakah dengan mewajibkan orang memakai jilbab itu adil atau sebaliknya, apakah mewajibkan orang untuk melepaskan jilbab itu sikap adil. Adil bukanlah soal sama rata dan sama rasa, tapi adil melihat kebutuhan tiap orang dan menerima kebebasan tiap individunya. Jika menurut orang tidak memerlukan jilbab jangan dipaksa memakai jilbab dan jika membutuhkan jilbab jangan meminta orang itu melepaskan jilbabnya.

Ini adalah salah satu cara yang dapat digunakan agar Pancasila sungguh terasa gemanya bagi siapapun yang mengimannya sebagai ideologi. Sehingga Pancasila bukan sekadar identitas atau dasar negara yang mati, jauh dari pada itu semua Pancasila sungguh hidup dan menghidupkan serta membawa siapapun yang menghatinya berani juga semakin merenungkan diri terhadap apa yang menjadi persoalan bagi bangsa ini. Entah itu kaitannya dengan diri sendiri atau dengan orang lain.

Pancasila : Tren Kekinian

Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Pancasila sebagai ideologi dan cara penangan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakatnya masih sangatlah relevan. Perkembangan zaman yang ditandai dengan majunya teknologi inilah yang seringkali memengaruhi mental masyarakatnya kurang memiliki daya reflektif kritis terhadap nilai Pancasila. 

Berbagai cara tentu telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi hal itu baik dalam dunia pendidikannya atau kelompok sebayanya. Penangan itu belum tentu maksimal. Namun setiap generasi yang cenderung kreatif dan memiliki literasi media sosial yang lebik baik harus dapat menjadi promotor dan bekerja sama dnegan berbagai pihak dalam menggerakan generasinya agar memiliki semangat tinggi dalam merenungkan dan mewujudkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Sama halnya dengan konten-konten dalam Tiktok, YouTube, dan media sosial lainnya yang hampir secara keseluruhan merupakan sebuah tren, seharusnya nilai-nilai Pancasila pun dapat dibuat sedemikian rupa. Tentu tanpa mengurangi nilai Pancasila sesungguhnya. 

Hal itu akan membuat nilai-nilai Pancasila menjadi lebih dekat dengan setiap masyarakat bangsa ini dan perlahan-lahan nilai Pancasila yang merupakan hasil refleksi mendalam pendiri bangsa menjadi bagian dalam diri masyarakat Indonesia yang tidak terpisahkan. Sehingga dalam Pancasila tidak akan pernah habis dalam memberi makna atas segala sesuatu yang terjadi di bangsa ini.

Referensi

Amalia, Z., 2023. (PDF) ideologi di dunia | zara amalia. [Online] Available at: https://www.academia.edu/9065580/ideologi_di_dunia [diakses 10 March 2023].

Pembelajaran, D., Kemahasiswaan, D. A. N., Jenderal, D., Tinggi, P., Nasional, D. P., Pendidikan, K., Kebudayaan, D. A. N., & Indonesia, R. (2013). Materi Ajar. 318.

Suparyanto dan Rosad. (2020). Pancasila, Dokumen Kunci Bangsa Indonesia. Suparyanto Dan Rosad (2015, 5(3), 248--253.

Supriyanto, A. (2021). Pancasila Sebagai Ideologi. EDUKASI Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan, 1, 7.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun