Mohon tunggu...
Rembulan Pagi
Rembulan Pagi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hoki Ahok Hanya Menjadi Beban Presiden Jokowi

23 Juli 2016   15:03 Diperbarui: 23 Juli 2016   15:11 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Indonesia bukan hanya Jakarta”.

Kalimat diatas muncul ditengah-tengah percakapan kami saat nongkrong bersama beberapa teman dari luar kota yang sedang berkunjung ke Ibukota Jakarta. Sepertinya memang mereka merasa bosa dan jenuh melihat pemberitaan di media massa atau sosial media yang penuh sesak dengan kota yang menguasai perekonomian nasional ini.

Katanya, “memang benar faktanya, sebagian besar perekonomian ini berkembang pesat di Jakarta”. “Tetapi”, sambung yang lain, “ini semua kan gegara Orde Baru yang membangun Indonesia tak merata dan memelihara kroni (KKN)”.

Ada benarnya, saut kawan yang lain. Meski Orba telah ditumbangkan oleh Gerakan Reformasi 1998, namun warisan kebijakannya memang masih ada yang dibawa oleh pemerintahan setelahnya.

Ini sebenarnya yang ingin ditinggalkan oleh pemerintahan Jokowi.

Sebelum melangkah menuju kemudi kapal besar Republik Indonesia untuk mengarungi samudera, Presiden Jokowi sudah berkesimpulan, apa yang hendak ia hadapi dibelakang kemudi kapal.

Wajar saja. Ia adalah sosok yang memiliki pengalaman membawa kemudi pemerintahan di Solo. Apalagi Ia juga sempat menahkodai kota Jakarta yang memiliki luas lautan lebih besar daripada daratannya ini.

Menurut Jokowi, dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 (alenia 4), bangsa Indonesia dihadapkan pada 3 persoalan pokok. Yaitu: Ancaman terhadap kewibawaan negara, kelemahan sendi perekonomian bangsa dan intoleransi serta krisis kepribadian bangsa.

Ketiga persoalan pokok tersebut muncul dan berkembang diantaranya adalah disebabkan oleh pemimpin yang tidak memiliki kredibilitas yang cukup untuk memberi teladan. Pemimpin atau pejabat publik negeri ini tak sedikit yang memanfaatkan kekuasaan untuk menciptakan keuntungan bagi perseorangan atau kelompok kecil.

Presiden Jokowi yang memiliki pengalaman menjadi buruh, kemudian berwiraswasta dan menjadi pejabat publik telah memberi pelajaran berarti bagaimana menyelami seluk beluk kehidupan sehari-hari masyarakat.

Ia paham dengan susah dan perihnya kehidupan rakyat kecil yang ada disekitar tempat ia tumbuh berkembang.

Jokowi tentu mengerti dan paham ketika rakyat menghadapi kesusahan dan beban hidup, tanggungjawab pemerintah masih belum genap seperti yang dijanjikan dalam konstitusi hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam masa hidupnya bersama keluarganya di Solo, Jokowi pernah merasakan bagaimana hidup menjadi korban penggusuran. Jokowi pernah juga merasakan bagaimana diskriminasi terhadap rakyat kecil terjadi di lingkungan komplek perusahaan tambang besar saat masih bekerja di Aceh.

Jokowi juga pernah merasakan langsung bagaimana ribetnya birokrasi dan praktek suap menyuap ketika berwiraswasta.  Sebagian kita tentu tak heran dengan cara-cara kerja Jokowi ketika menjadi penjabat publik selalu menggunakan pendekatan lapangan yang praktis dengan tanpa meninggalkan keinginan rakyat di sekitarnya.

Meski dianggap konvensional dan kuno, ketika Jokowi menjejakkan kaki ke Ibukota yang bringas, ia tetap tak meninggalkan gaya kepemimpinan yang mendengar, melihat dan berbicara langsung dengan rakyat Ibukota.

Ia menerobos pakem-pakem birokrasi formal “kalau mudah mengapa harus dipersulit”. Ia mau mendengar inisiatif-inisiatif yang datang dari rakyat dan mau duduk bersama berbicara dengan rakyat. Kita mungkin ingat saat Jokowi melakukan dialog berulang kali saat melakukan pengaturan PKL di Solo ataupun di Tanah Abang, Jakarta.

Bagi Jokowi, dialog dengan turun langsung ke lapangan itu adalah media pemimpin dan rakyat untuk mengetahui secara bersama-sama duduk perkara dan bagaimana rumusan solusi yang partisipatif.

“Kalau menggusur itu gampang. Sehari selesai. Tinggal kerahkan Satpol PP dan aparat lainnya. Tapi persoalannya bukan itu. Rakyat harus dilindungi. Kalau gususr itu tidak diberi solusi, tapi kalau digeser itu diberikan solusi”, uangkap Jokowi saat menghadri Konferensi Tingkat Tinggi Hukum Rakyat yang diselenggarakan oleh Himpunan Huma di Jakarta (8/10/2013).

Kini, ketika Jokowi telah menjadi orang nomor 1 di Republik ini, Ia tetap tak mau jauh dengan rakyat yang memilihnya. Ia terus turun ke lapangan untuk melihat, mendengar dan berbicara langsung dengan rakyat. Ia kini terus melangkah dan menyusuri pojok-pojok atau pinggiran negeri kepulauan nusantara.

Namun apa dikata, ketika Presiden Jokowi melangkah ke sudut-sudut negeri ini untuk memastikan pembangunan Indonesia dari pinggiran bibir daratanya ini terlaksana, Ia terus diseret-seret ke persoalan yang terjadi di Ibukota.
Ya persoalan Ibukota yang kini sedang memanas menjelang pemilihan gubernur di tahun 2017 nanti.

Fondasi program dan kebijakan yang telah Jokowi susun selama memimpin Ibukota, ternyata mulai meninggalkan peran serta dan partisipasi aktif rakyat kecil Ibukota. Rakyat pinggiran Ibukota kembali merasakan kehilangan suasana akrab dan dekat antara pejabat dan rakyat. Rakyat pinggiran ibukota kini hanya dapat menghadap robot-robot yang harus ikuti apa kata yang tuan besar.

Bahkan, ada penilaian yang lebih mencengangkan lagi. Fondasi kebijakan dan program yang telah dibangun dan disusun Jokowi digembosi dan dipereteli perlahan-lahan oleh penggantinya.

Pengganti Jokowi saat menjadi Gubernur itu, perlahan-lahan memanfaatkan warisan kekuasaan Jokowi untuk menhidupkan kembali kebijakan-kebijakan warisan rezim lama dari era Orba. Padahal, Jokowi paham bahwa persoalan yang banyak ia hadapi saat ini salah satunya adalah akibat kebijakan warisan lama yang harus dibuang.

Maka itulah Jokowi membawa slogan REVOLUSI MENTAL. Membuang cara pikir lama hubungan pejabat dan rakyat yang feodalistik dan berbelit. Jokowi ingin kekuatan rakyat menjadi soko guru pembangunan. Oleh karenanya, rakyat harus diperlakukan layaknya manusia beradab.

Contoh saja kebijakan tentang Reklamasi Teluk Jakarta. Ketika Jokowi memimpin wilayah Ibukota yang lebih besar lautan daripada daratanya ini, ia benar-benar kesampingkan kebijakan warisan rezim lama untuk menguruk pesisir ibukota yang hanya diperuntukkan bagi kawasan elit bagi segelitir orang kaya.

Siapa yang dapat sangkal jika kawasan-kawasan elit ibukota yang dibangun selama ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu menikmatinya dengan uang.?.

Jokowi sebenarnya sadar, bahwa untuk membenahi Ibukota yang kumuh, penuh sesak itu adalah dengan cara memindahkan kue-kue ekonomi ke seluruh penjuru negeri atau pelosok-pelosok nusantara.

Mengumpulkan modal atau investasi di Ibukota Jakarta saja, tentu bukan solusi.

Tak perlu susah payah menarik investasi di Ibukota Jakarta yang lengkap dengan infrastrukturnya. Tetapi apa gunanya memimpin jika tak melakukan perubahan?. Hanya melanjutkan yang lama dan rakyat mayoritas terus disingkirkan setelah sekian lama bertahan hidup menjadi korban urbanisasi.

Tugas dan tanggungjawab pemimpin pemerintahan atau pejabat publik adalah menggeser para investor itu untuk berpartisipasi membangun negeri dimana tempat ia dibesarkan. Bukan malah melanggengkan pembangunan terpusat hanya di kawasan-kawasan elit.

Jadi omong besar belaka ketika jajaran kabinet Jokowi memutuskan untuk menghentikan kegiatan reklamasi pesisir ibukota, tapi oleh sang gubernur dinilai menghambat atau mengganggu iklim investasi.

Justru sesungguhnya dibalik ini semua, sang Presiden menginginkan agar para pemilik modal besar itu ikut berpartisipasi dalam membangun pelosok negeri maritim ini untuk maju dengan mengembangkan perekonomian daerah-daerah yang minim infrastrukturnya.

Mayoritas dari kita ini sadar bahwa problem ekonomi, sosial dan budaya yang tumbuh berkembang di pusat ibukota atau kota-kota besar di negeri ini adalah akibat dari kebijakan di era Orde Baru yang meninggalkan pembangunan ekonomi di desa. Dampak yang terasa sekarang, kawasan-kawasan padat penduduk, penuh sesak, semrawut dan kumuh itu adalah kawasan sekitar pabrik-pabrik yang dibangun era Orde Baru yang banyak gulung tikar saat kekuasaan Orde Baru runtuh.

Penduduk Ibukota Jakarta yang memiliki jumlah penduduk miskin, padat, semrawut dan kumuh adalah kawasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Di dua kota itu, dulunya memang kawasan industri yang kini telah banyak gulung tikar.

Ketika Jokowi dulu memimpin Ibukota, ia ingin membangun kampung deret agar kehidupan rakyat Ibukota dapat terus berkelanjutan dengan aktifitas ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sementara sekarang, tak sedikit rakyat miskin ibukota yang menjadi korban urbanisasi era Orde Baru dipaksa hidup tanpa aktifitas ekonomi di rumah-rumah susun yang tak sedikit segela sesuatunya diperoleh dengan membeli.

Masyarakat pesisir yang hidup dari melaut dipaksa beralih profesi jauh dari bibir pantai karena proyek kawasan bisnis dan hunian kaum elitis. Presiden Jokowi dipaksa untuk mengkhianati visi maritim yang salah satu pilarnya adalah kaum nelayan. Mau berapa lagi jumlah kawasan mewah dan megah yang akan menurunkan daratan ibukota ini pak gubernur?

Sementara itu, Presiden Jokowi yang selama ini ingin mendengar, melihat langsung kehidupan rakyat dengan dekat dan bisa berdiskusi dengannya, dihalangi oleh sikap dan cara pandang para pendukung sang gubernur yang selalu menghakimi pendapat dan opini rakyat.

Sungguh ironis. Presiden Jokowi ingin agar relawan yang dahulu mengorganisir pemenangan bersama rakyat dapat membantu kerja-kerja partisipatif dalam membangun kedaulatan dan kemandirian nasional, justru meluaskan sinis dan antipati dari publik.

Bagaimana mungkin program dan kebijakan pemerintah dalam Trisakti dan Nawacita dapat sampai dengan nyata dan meluas di tengah-tengah kehidupan rakyat jika relawan-relawan itu justru menebar kebencian terhadap rakyat yang menyampaikan kritik. Bukankah kritik adalah energi untuk berubah menjadi lebih baik?!

Inilah yang menjadi poros dari obrolan satir atas situasi terkini, terutama di media sosial, menjelang Pilkada DKI Jakarta.

Akhir cerita, kita tentu sangat berharap kepada kita semua untuk kembali menjaga visi presiden Jokowi agar tak dibebani persoalan Ibukota. Mari kita dorong terus dan jaga bersama agar presiden Jokowi sukses wujudkan visi dan misi Trisakti. Biarkanlah persoalan ibukota Jakarta ini ditanggung oleh sang gubernur yang sudah seharusnya bertanggungjawab atas pilihan dan kebijakan yang telah ia ambil.

Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang berani bertanggungjawab atas ucap dan tindakannya. Sekali lagi. Cukup SUDAH Hoki Ahok dari Presiden Jokowi.

Siapa yang tidak marah ketika Jokowi dikatakan bisa menjadi presiden hanya karena pengembang?!

Kita semua terus terang marah! Karena mayoritas kita dari seluruh penjuru republik inilah yang memberikan suara dan menetapkan kedaulatan bagi sang Presiden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun