Pada 12 Mei 2022, saya menulis di laman Twitter untuk menanggapi cuitan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Tifatul Sembiring, mengenai isu beberapa identitas dan orientasi seksual yang secara luas dikenal dengan singkatan LGBT (mengacu pada lesbian, gay, bisexual, transgender).Â
Dalam cuitannya, Sembiring berargumen bahwa "tidak ada agama yang membolehkan LGBT". Pernyataan Sembiring cukup menarik, mungkin karena ditulis dalam ruang terbatas Twitter, sehingga membuat cakupan pertanyaan itu kabur dalam batasan dan ruang lingkupnya.Â
Saya tidak memiliki otoritas untuk mengatakan tentang semua agama, tetapi setidaknya, setelah proses pembelajaran terhadap teks dan kanon Buddhis dalam waktu yang panjang, saya dapat berpendapat mengenai pandangan Buddhisme terhadap masalah ini.Â
Secara singkat, Buddhisme tidak melarang---dan dengan demikian membebaskan atau dalam kata-kata Sembiring, "membolehkan"---seseorang untuk memiliki identitas dan orientasi seksual apa pun. Untuk memahami pernyataan ini secara lebih mendalam, kita perlu memeriksa terlebih dahulu mengenai sumber ajaran Buddhis.
Tentang Sumber Ajaran Buddhis
Berbeda dengan agama-agama Abrahamik atau Samawi yang dikenal sebagai agama-agama wahyu (sebab sumber ajarannya disebut berasal dari atau dipengaruhi oleh wahyu yang turun secara adikodrati), Buddhisme merupakan agama dengan sumber ajaran yang disusun dan diperiksa secara metodis oleh murid-murid dari Buddha Siddhartha Gautama (533--483 atau 480--400 SM) yang juga dikenal sebagai Buddha Sakyamuni.Â
Sang Buddha, seperti juga Sokrates (sekitar 470--399 SM) ataupun Konfusius (aktif sekitar abad ke-6 SM) tidak meninggalkan catatan tertulis tentang ajarannya sendiri semasa hidup.Â
Ajaran Sakyamuni dihimpun dan diperiksa oleh murid-murid terkemukanya---Mahakasyapa, Ananda, Upali---bersama dengan ratusan anggota ordo bentukannya segera setelah ia wafat.Â
Kumpulan ajaran yang diingat, diperiksa, dan dituliskan setelah Sakyamuni wafat itulah yang secara luas kini dikenal sebagai Tripitaka. Dinamika yang terjadi dalam tubuh ordo kebiksuan setelah wafatnya Sakyamuni membuat khazanah Tripitaka memiliki perbedaan antara beberapa cabang Buddhisme. Namun, secara ringkas, Tripitaka mengandung tiga khazanah kitab, yaitu Vinaya Pitaka yang berisi aturan-aturan bagi ordo kebiksuan, Sutra Pitaka yang mengandung ajaran Sang Buddha, dan Abidharma Pitaka yang mengandung filsafat dan tafsir.
Jika kita mengesampingkan bukti historis yang tidak memadai dan bersandar sepenuhnya pada kitab dan sastra Buddhis semata, kita akan mengetahui bahwa Vinaya Pitaka disusun pada Sidang atau Konsili Buddhis Pertama (sekitar 400 atau 483 SM) berdasarkan kesaksian Upali dan Sutra Pitaka kebanyakan disusun berdasarkan kesaksian Ananda.Â
Penyusunan suatu standar dari ajaran Buddha ini dilakukan dalam suasana krisis ketokohan yang muncul di dalam tubuh ordo kebiksuan sepeninggal Sakyamuni.Â
Dengan demikian, tujuan utama dari pembakuan ajaran itu adalah penguatan agar seorang pengikut Buddhis tidak bersandar sepenuhnya pada Sakyamuni sebagai sosok yang saat itu sudah meninggal, tetapi bersandar pada ajaran yang diharap akan selalu bertahan.
Mengingat sifat ajaran Buddhisme yang menekankan pada pemikiran kritis---dengan peribahasa utamanya, "ehi-passiko (datang dan buktikanlah [sendiri])"---kemunculan tafsiran dan turunan dari ajaran pokok Buddha yang terkandung dalam Tripitaka merupakan hal yang pasti terjadi. Setiap guru atau sarjana Buddhis dapat melakukan pengkajian mandiri dan datang dengan risalahnya sendiri tentang ajaran Buddhis. Namun, pada pokoknya, untuk menilai keabsahan dari risalah itu, ide-ide utamanya tidak bisa bertentangan dengan ajaran utama yang terkandung dalam Tripitaka.
Apa yang Dikatakan Sumber Ajaran Buddhis tentang LGBT?
Setelah memahami riwayat dan cara pandang sumber ajaran Buddhis, kita sampai pada pertanyaan mengenai topik awal: apa yang dikatakan sumber ajaran Buddhis tentang LGBT? Seorang sarjana dan biksu Buddhis ternama dari tradisi Theravada, Ajahn Brahm (lahir 1951), melakukan kajian tentang topik ini dari sumber ajaran Buddhis yang paling mungkin mengandung larangan-larangan mengenai tindak-tanduk manusia, yaitu Vinaya Pitaka.Â
Ajahn Brahm menyarikan bahwa ia sama sekali tidak menemukan dasar apa pun di dalamnya yang dapat digunakan untuk melarang seseorang memiliki identitas dan orientasi seksual tertentu, termasuk LGBT. Dalam konteks ini, kita membicarakan kasus seorang awam, bukan anggota ordo kebiksuan. Aturan yang diikuti oleh orang awam berbeda secara drastis dengan aturan yang harus diikuti oleh ordo kebiksuan.Â
Dalam ordo kebiksuan, seperti telah menjadi pengetahuan umum, nafsu seksual, baik terkait identitas ataupun orientasi seksual apa pun, merupakan hal yang harus dijauhi. Ordo kebiksuan menjalani kehidupan selibat.
Biksuni dan sarjana Buddhis lain, Shih Chao-hwei (Zhaohui), dari tradisi Mahayana mengkaji isu ini dari sudut yang lain. Ia menyelam kepada Sutra dan Abidharma, berfokus pada filsafat etika Buddhis. Shih Chao-hwei yang menulis tesis dan buku tentang seksualitas dalam Buddhisme menjelaskan bahwa, di dalam Buddhisme, semua nafsu dianggap sama. Ia menjelaskan bahwa tidak ada nafsu yang dianggap suci dan tidak ada pula yang dianggap tidak suci. Chao-hwei merujuk pada intisari ajaran Buddhis tentang tujuan utama Buddhisme, yaitu mencapai pencerahan atau kebuddhaan.Â
Dalam usaha seseorang mencapai kebuddhaan, nafsu dianggap sebagai hal yang harus diatur. Nafsu di sini tidaklah berbeda bagi orang dengan orientasi dan identitas seksual apa pun. Nafsu seorang heteroseksual yang dianggap "normal" oleh tatanan sosial sekitarnya sama saja dengan nafsu seorang homoseksual dalam kaitannya dengan pencapaian pencerahan---kemelekatan terhadap nafsu sama-sama menghalangi pencapaian pencerahan.Â
Dari sudut pandang ini, Chao-hwei menekankan bahwa Buddhisme memandang semua manusia, terlepas dari latar belakangnya, dalam tingkatan dan kapasitas yang sama dalam kaitan pencapaian pencerahan.Â
Jika nafsu-nafsu yang menghalangi pencapaian pencerahan dijadikan dasar untuk mengutuk, menghukum, atau melarang identitas dan orientasi seksual LGBT, identitas dan orientasi seksual lain yang mapan seperti heteroseksualitas juga harus dikutuk, dihukum, dan dilarang sebab memiliki potensi yang sama untuk menghambat seseorang mencapai pencerahan. Namun, tentu saja pengutukan, penghukuman, dan pelarangan seperti ini tidak dipilih oleh arus besar Buddhisme dunia.
Pandangan Pemuka Buddhis Indonesia
Cuitan saya yang menanggapi cuitan Tifatul Sembiring menyarikan beberapa teks Buddhis dan hasil pengkajian yang dilakukan oleh kedua pemuka dan sarjana Buddhis di atas.Â
Tentu saja, tulisan saya dan hasil temuan kedua ahli agama Buddha tadi merupakan bunga pemikiran yang tumbuh di samping bunga-bunga pemikiran lain. Salah satu pandangan menarik dikemukakan oleh seorang tokoh Buddhis Indonesia, Pandita Suhadi Sendjaja dari aliran Niciren Syosyu (salah satu tradisi Mahayana Jepang).Â
Laman berita Antara pada 10 Juli 2015 mengutip pernyataan Sendjaja yang mengungkapkan bahwa, "Memang larangan perilaku homoseksual tidak tercantum dalam sastra-sastra Buddha. Namun, hukum agama Buddha berdasarkan kepada kewajaran dan hukum alam [...] Menurut hukum alam, perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Karena itu, Buddha menolak perkawinan sejenis, baik antara laki-laki dengan laki-laki maupun antara perempuan dengan perempuan".
Pendapat Sendjaja yang merupakan pengurus dalam wadah perkumpulan Buddhis, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), kemudian sering pula dikutip untuk menanggapi tulisan saya pada laman Twitter ataupun diskusi lain dalam topik LGBT di Indonesia.Â
Dalam kasus ini, saya tidak sependapat dengan Pandita Sendjaja. Intisari menarik yang membuat saya tidak sependapat dalam pernyataan itu adalah pendapat Sendjaja tentang sumber dari hukum Buddhis.Â
Menurutnya, hukum dalam Buddhisme "[...] berdasarkan kepada kewajaran dan hukum alam". Namun, seperti telah disebut di atas, aturan-aturan Buddhis didasarkan pada ajaran dan laku hidup Buddha yang tercurah dalam kitab-kitab Buddhis. Khusus untuk aturan atau hukum, rujukan utamanya adalah Vinaya Pitaka. Lewat pengkajian Ajahn Brahm, diketahui bahwa aturan---dan dasar aturan---yang melarang identitas dan orientasi seksual golongan awam tidaklah ada.
Di samping itu, pernyataan Sendjaja tampaknya tidak sesuai dengan tujuan utama Buddhisme sendiri, yaitu mencapai kebuddhaan atau pencerahan. Pencerahan merupakan jalan untuk membebaskan manusia dari siklus kesengsaraan yang disadari oleh Sakyamuni, yaitu kelahiran, sakit, penuaan, dan kematian. Siklus tersebut merupakan "hukum alam" yang tidak bisa dihindari manusia sebelum ia mencapai pencerahan.Â
Dengan kata lain, bukankah seorang pengikut ajaran Buddhisme justru harus melatih diri untuk melepaskan diri dari siklus hukum alam yang menyebabkan ia terus berada dalam kesengsaraan? Lebih lagi, seperti penjelasan Biksuni Shih Chao-hwei yang mengkaji Sutra dan Abidharma, dalam pelatihan diri itu, seseorang tidak akan dipandang identitas dan orientasi seksualnya, atau juga latar belakangnya yang lain. Namun, tentu saja, di luar perbedaan pandangan ini, Pandita Sendjaja, seperti dikutip Republika pada 18 Februari 2016, dengan bijaksana mengajak semua orang untuk mengayomi semua makhluk dalam prinsip kemanusiaan.
Catatan
Saya menggunakan ejaan Sanskerta alih-alih Pali untuk menyebut nama dan judul teks Buddhis dalam penulisan ini.
Daftar Sumber dan Bacaan Lanjutan
Brahm, Ajahn. 2009. Hidup Senang Mati Tenang. Jakarta: Ehipassiko Foundation.
Dagpo Rinpoche. 2019. Memahami Duka dan Terbebas Darinya. Jakarta: Padi Emas.
Ikeda, Daisaku. 1993. Buddhisme Seribu Tahun Pertama. Jakarta: Indira.
Tiwary, Mahesh. 1989. Perspective on Buddhist Ethics. Delhi: Department of Buddhis Studies, Delhi University.
Tsongkhapa, Je. 2011--2019. Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan. Bandung: Kadam Choeling. 3 jilid.
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Ia merupakan peneliti pada School of Humanities, Nanyang Techological University (NTU) Singapura. Pada tahun 2021, ia menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek (Perpustakaan Nasional Belanda) dalam proyek penelitian digitalisasi teks-teks sejarah periode kolonial Indonesia menggunakan kecerdasan buatan (AI). Pada tahun 2019 hingga 2020, ia terlibat dalam penelitian tentang kuli kontrak Tionghoa di Hindia Belanda (periode abad ke-19 dan 20) yang diinisiasi oleh Universitas Cardiff. Sepanjang tahun 2020 hingga 2022, ia merupakan asisten peneliti dari Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H