Penyusunan suatu standar dari ajaran Buddha ini dilakukan dalam suasana krisis ketokohan yang muncul di dalam tubuh ordo kebiksuan sepeninggal Sakyamuni.Â
Dengan demikian, tujuan utama dari pembakuan ajaran itu adalah penguatan agar seorang pengikut Buddhis tidak bersandar sepenuhnya pada Sakyamuni sebagai sosok yang saat itu sudah meninggal, tetapi bersandar pada ajaran yang diharap akan selalu bertahan.
Mengingat sifat ajaran Buddhisme yang menekankan pada pemikiran kritis---dengan peribahasa utamanya, "ehi-passiko (datang dan buktikanlah [sendiri])"---kemunculan tafsiran dan turunan dari ajaran pokok Buddha yang terkandung dalam Tripitaka merupakan hal yang pasti terjadi. Setiap guru atau sarjana Buddhis dapat melakukan pengkajian mandiri dan datang dengan risalahnya sendiri tentang ajaran Buddhis. Namun, pada pokoknya, untuk menilai keabsahan dari risalah itu, ide-ide utamanya tidak bisa bertentangan dengan ajaran utama yang terkandung dalam Tripitaka.
Apa yang Dikatakan Sumber Ajaran Buddhis tentang LGBT?
Setelah memahami riwayat dan cara pandang sumber ajaran Buddhis, kita sampai pada pertanyaan mengenai topik awal: apa yang dikatakan sumber ajaran Buddhis tentang LGBT? Seorang sarjana dan biksu Buddhis ternama dari tradisi Theravada, Ajahn Brahm (lahir 1951), melakukan kajian tentang topik ini dari sumber ajaran Buddhis yang paling mungkin mengandung larangan-larangan mengenai tindak-tanduk manusia, yaitu Vinaya Pitaka.Â
Ajahn Brahm menyarikan bahwa ia sama sekali tidak menemukan dasar apa pun di dalamnya yang dapat digunakan untuk melarang seseorang memiliki identitas dan orientasi seksual tertentu, termasuk LGBT. Dalam konteks ini, kita membicarakan kasus seorang awam, bukan anggota ordo kebiksuan. Aturan yang diikuti oleh orang awam berbeda secara drastis dengan aturan yang harus diikuti oleh ordo kebiksuan.Â
Dalam ordo kebiksuan, seperti telah menjadi pengetahuan umum, nafsu seksual, baik terkait identitas ataupun orientasi seksual apa pun, merupakan hal yang harus dijauhi. Ordo kebiksuan menjalani kehidupan selibat.
Biksuni dan sarjana Buddhis lain, Shih Chao-hwei (Zhaohui), dari tradisi Mahayana mengkaji isu ini dari sudut yang lain. Ia menyelam kepada Sutra dan Abidharma, berfokus pada filsafat etika Buddhis. Shih Chao-hwei yang menulis tesis dan buku tentang seksualitas dalam Buddhisme menjelaskan bahwa, di dalam Buddhisme, semua nafsu dianggap sama. Ia menjelaskan bahwa tidak ada nafsu yang dianggap suci dan tidak ada pula yang dianggap tidak suci. Chao-hwei merujuk pada intisari ajaran Buddhis tentang tujuan utama Buddhisme, yaitu mencapai pencerahan atau kebuddhaan.Â
Dalam usaha seseorang mencapai kebuddhaan, nafsu dianggap sebagai hal yang harus diatur. Nafsu di sini tidaklah berbeda bagi orang dengan orientasi dan identitas seksual apa pun. Nafsu seorang heteroseksual yang dianggap "normal" oleh tatanan sosial sekitarnya sama saja dengan nafsu seorang homoseksual dalam kaitannya dengan pencapaian pencerahan---kemelekatan terhadap nafsu sama-sama menghalangi pencapaian pencerahan.Â
Dari sudut pandang ini, Chao-hwei menekankan bahwa Buddhisme memandang semua manusia, terlepas dari latar belakangnya, dalam tingkatan dan kapasitas yang sama dalam kaitan pencapaian pencerahan.Â
Jika nafsu-nafsu yang menghalangi pencapaian pencerahan dijadikan dasar untuk mengutuk, menghukum, atau melarang identitas dan orientasi seksual LGBT, identitas dan orientasi seksual lain yang mapan seperti heteroseksualitas juga harus dikutuk, dihukum, dan dilarang sebab memiliki potensi yang sama untuk menghambat seseorang mencapai pencerahan. Namun, tentu saja pengutukan, penghukuman, dan pelarangan seperti ini tidak dipilih oleh arus besar Buddhisme dunia.