Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Legitimasi Kekuasaan Raja-raja di Asia Tenggara

24 Agustus 2020   21:40 Diperbarui: 14 April 2022   06:21 3108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada corak ini, legitimasi kekuasaan seorang raja berasal dari asosiasinya dengan dewa-dewa atau klaim titisan yang sempat saya sebut di atas. Raja-raja di kepulauan ini menciptakan suatu narasi bahwa mereka merupakan emanasi (perwujudan) dari dewa-dewa di dunia.

Lalu, bagaimana konsep kekuasaan raja berkembang di kala Islam masuk ke wilayah-wilayah 'tanah di bawah angin' ini? Raja di Asia Tenggara kepulauan pada akhirnya mengadopsi konsep bahwa mereka merupakan wakil dari Tuhan untuk mengelola dunia ini.

Namun demikian, hal ini tidak serta merta mengubah pola-pola legitimasi Devaraja yang telah dianut selama berabad-abad. Pada titik ini, muncul suatu bentuk akulturasi, terutama di Pulau Jawa dan wilayah yang masuk naungan kebudayaan Jawa. 

Raja-raja pada periode Islam melegitimasi kekuasaannya dengan sedikitnya tiga cara, yaitu melalui kepemilikan regalia (pusaka), kaitan genealogis dan non-genealogis dengan tokoh-tokoh penting dunia pada masanya, dan kisah-kisah ajaib yang diasosiasikan dengan dirinya.

Saya pernah membahas bagaimana perempuan yang mendampingi penguasa dipandang sebagai sebuah regalia untuk juga melegitimasi kekuasaan penguasa. Dalam kerajaan-kerajaan Jawa misalnya, jumlah istri dan kesuburan perempuan pendamping raja merupakan salah satu faktor yang juga dianggap sebagai penentu kekuasaan raja.

Selain berupa manusia, regalia lebih umum berupa senjata atau benda, yang sekalipun tidak tentu memiliki kekuatan seperti apa yang dipercaya dimilikinya, tetap merupakan aspek penting dan sakral untuk melegitimasi kekuasaan raja. Benda-benda ini dapat berupa keris, pedang, mahkota, panji, dan lain-lain.

Di samping itu, regalia juga dapat berupa hewan tunggangan, seperti kuda putih atau gajah yang dianggap memiliki arti penting tertentu. Di sini, seorang sejarawan tentu tidak dapat mengisahkan kesaktian pusaka-pusaka raja sebagai fakta keras dokumenter sejarah, tetapi tetap berpegang bahwa itu adalah fakta psikologis yang menunjukkan alam pikir seorang raja dan masyarakat yang melingkupinya.

Cara kedua untuk melegitimasi kekuasaan kerajaan atau raja merupakan warna yang kita lihat pada pidato Sri Sultan sebelumnya, yaitu dengan mengaitkan diri secara genealogis maupun non-genealogis kepada tokoh atau kekuasaan besar dunia.

Banyak sumber lokal di Nusantara, dari ujung Sumatra hingga bagian timur Indonesia kini, diisi oleh kaitan genealogis ataupun non-genealogis antara para penguasa lokal dan tokoh-tokoh besar dunia. Dua tokoh yang sangat sering menjadi orientasi genealogis itu adalah Iskandar Zulkarnaen (Aleksander Agung dari Makedonia) dan Sultan Rum (sultan-sultan dari Kekaisaran Utsmaniyah).

Mulai dari Sulalatus Salatin (Kitab Keturunan Raja-raja) hingga sejarah lisan di Sulawesi dan Maluku menyebutkan nama Iskandar Zulkarnaen dan Sultan Rum baik sebagai leluhur maupun orang yang mentahbiskan (menginisiasi) sang penguasa lokal sebagai penguasa. Narasi semacam inilah yang kita dengar dari pidato Sri Sultan tersebut.

Namun demikian, apakah ini merupakan fakta keras dokumenter dalam sejarah? Tentu bukan selama tidak ada bukti dokumen atau bukti ilmiah lain yang diterima secara keilmuan. Keterkaitan genealogis ataupun non-genealogis itu dipandang sebagai mentifact dalam sejarah, yaitu sebagai sebuah usaha legitimasi yang memang harus dilakukan oleh seorang penguasa di Asia Tenggara untuk memperkuat kedudukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun