Contoh sederhana mentifact dapat terlihat dalam alam pikir raja-raja Jawa pada masa Hindu-Buddha yang selalu menganggap dirinya sebagai titisan dewa-dewa Hindu.
Purnawarman yang terkenal dari Taruma di Jawa bagian barat meninggalkan prasasti yang menggambarkan dirinya sebagai Dewa Wisnu (salah satu dari Trimurti, tiga dewa utama Hinduisme).
Dengan ini, apakah kemudian sejarah mencatat dengan serta merta dalam narasi yang berbunyi "[...] Purnawarman adalah Dewa Wisnu dan memiliki kemampuan-kemampuan kedewaan layaknya sang dewa [...]"? Tentu narasi sejarah yang ditulis tentangnya lebih akan berbunyi seperti ini "[...] untuk melegitimasi kekuasaannya, Purnawarman menyatakan bahwa ia merupakan titisan dari Dewa Wisnu [...]".
Dengan demikian, sejarawan tidak sepenuhnya percaya bahwa Purnawarman adalah Dewa Wisnu, namun berusaha memahami mengapa Purnawarman mengklaim dirinya sebagai titisan dari seorang dewa.
Tugas sejarawan dalam hal ini adalah untuk tetap menyatakan fakta-fakta keras dokumenter dan memberikan pemahaman atau analisis terhadap tersedianya mentifact atau fakta-fakta psikologis yang melingkupi fakta keras tersebut. Tanpa fakta psikologis, fakta-fakta keras akan menjadi sangat membosankan.
Sedangkan, tanpa fakta keras, fakta psikologis akan menjadi sangat menyesatkan. Pemahaman terhadap pertautan keduanya adalah 'pisau bedah' analisis yang harus dimiliki oleh sejarawan dalam melihat sumber sejarah dan hendaknya juga dimiliki oleh publik penikmat sejarah.
Kini, bagaimana fakta-fakta psikologis itu berkembang di dalam dunia kekuasaan Jawa sehingga juga menjadi warna yang menghiasi pidato dari Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tahun 2015 tadi? Konsep kekuasaan di Asia Tenggara setidaknya memiliki corak yang hampir sama. Secara ringkas, kecuali pada kasus Filipina, konsep kekuasaan seorang penguasa di Asia Tenggara terbagi dalam tiga corak, yaitu corak Buddhis, Hindu, dan Islam.
Corak Buddhis dianut di wilayah-wilayah Asia Tenggara daratan yang kini menjadi Thailand, Myanmar, Laos, dan Vietnam bagian selatan. Dalam konsep ini, seorang raja dianggap sebagai penjaga Dharma (ajaran Buddha). Legitimasinya berasal dari kondisi tata tenteram negara pada masa pemerintahannya.
Bila negara tenteram, hal ini dianggap karena karma baik raja yang telah menjalankan sepuluh kualitas raja (dasa-raja-dharma) dengan baik. Oleh sebab itu, seorang raja dapat kehilangan legitimasi bila terjadi bencana atau keguncangan negara.
Berbeda dengan itu, konsep Hindu dianut di Asia Tenggara kepulauan, yaitu pada wilayah yang kini menjadi Indonesia dan Malaysia, serta bagian selatan Filipina---sebelum kedatangan Islam.
Sekalipun sesungguhnya wilayah kepulauan ini menghadirkan sinkretisme Hindu-Buddhis, konsep Hindu Devaraja tetap lebih kuat mewarani corak kekuasaan seorang raja daripada Dharmaraja dari Buddhisme.