Selain itu, studi sejarah merupakan studi yang bersandar pada fakta-fakta dokumenter logis. Dengan kata lain, terdapat dua syarat utama agar suatu hal dapat dianggap sebagai fakta oleh sejarawan, yaitu tersedianya dokumen dan tercerminnya sifat logis.
Seperti ungkapan sejarawan Jerman yang tersohor, Leopold von Ranke (1795--1886), "[...] no document, no history [...]"---tidak ada sejarah tanpa dokumen. Namun demikian, dokumen yang dimaksud oleh Ranke memang telah mengalami pengayaan arti sejalan dengan perkembangan metode sejarah.
Dokumen tidak selalu harus sesuatu yang ditulis dengan tinta dan pena seperti ungkapan Alfred Leslie Rowse (1903--97), tetapi juga sejarah lisan pada kasus-kasus kontemporer yang mendekati masa kini. Namun demikian, terdapat satu lagi syarat yang harus dipenuhi sekalipun sejarah telah menerima pengayaan ragam sumber, yaitu syarat sifat logis.
Sejarah tidak dapat menerima fenomena-fenomena tidak logis sebagai bagian dari fakta sejarah. Namun demikian, apakah roh-roh halus, kepercayaan, orientasi pada hal yang tak masuk akal, dan hal-hal adikodrati harus ditarik keluar dari narasi sejarah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus mengingat ajaran guru saya yang piawai pada kelas-kelas dasar ilmu sejarah strata satu di Universitas Indonesia, Prof. Susanto Zuhdi, yang mengajarkan kami -ketika masih hijau sebagai mahasiswa baru---untuk membagi fakta sejarah berdasarkan dua kategori, yaitu fakta keras (hardfact) dan fakta psikologis (mentifact).
Kepercayaan seseorang akan adanya kekuatan adikodrati, genealoginya yang berkelindan dengan tokoh-tokoh dunia terkemuka, atau wahyu-wahyu dari langit adalah bagian dari fakta psikologis atau mentifact.Â
Fakta psikologis tersebut harus dipelajari dan dikuasai oleh seorang sejarawan untuk dapat memahami jiwa zaman (zeitgeist) dari objek penelitiannya -untuk berjalan di zaman yang sama dengan objeknya dan mengerti pola pikir objek penelitiannya.
Tanpa mempelajari fakta-fakta psikologis, seorang sejarawan akan berada jauh dari objeknya dan berlaku penuh penghakiman layaknya ungkapan Prof. Adrian B. Lapian (1929--2011) yang melihat sejarawan maritim Belanda sebagai orang-orang "[...] yang memandang sejarah Nusantara lewat geladak kapal Belanda [...]". Hal ini harus dihindari oleh sejarawan dan publik penikmat sejarah agar tidak terjebak dalam penghakiman-penghakiman kekinian, yaitu usaha untuk mengukur masa lalu berdasarkan standar masa kini.
Di sini, saya merasa perlu untuk mengutip satu lagi ungkapan dari sastrawan Inggris, L. P. Hartley (1895--1972), bahwa "masa lampau adalah negeri yang asing, mereka bertata perilaku berbeda di sana [masa lalu]".Â
Oleh sebab itu, pemahaman terhadap mentifact sangat penting. Namun, bukan berarti mentifact dapat disejajarkan dengan fakta keras yang berupa dokumen-dokumen.
Kedudukan mentifact dalam studi sejarah adalah untuk memberikan pemahaman pola pikir dan bukan memberikan keterangan sejarah yang sebenar-benarnya.Â