Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Takdir dalam Sejarah dan Tantangan Penanggulangan Virus Korona

1 April 2020   06:40 Diperbarui: 2 April 2020   18:51 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila kita perhatikan, cerita rakyat pada umumnya akan menampilkan cerita-cerita tentang penyakit yang kasat mata atau penyakit yang berkaitan dengan perut. Kedua macam penyakit ini umumnya dapat disembuhkan. 

Dalam cerita Nyi Roro Kidul, ditampilkan penyakit kulit yang sembuh dengan basuhan air laut. Sedangkan, dalam cerita-cerita lain terdapat pula penyakit perut yang disebabkan oleh makanan dan sembuh setelah diberi penawar. 

Dua macam penyakit ini umumnya masih dapat disembuhkan oleh tabib. Namun demikian, sangat jarang atau bahkan tidak ada penyakit demam yang dapat disembuhkan oleh tabib dalam cerita rakyat. Salah satu referensi tentang penyakit demam saya temukan dalam mitos kelahiran bayi. Saat kelahiran bayi, umumnya terdapat makhluk halus disebut Sawan yang akan mengganggu dan harus dicegah gangguannya. 

Bila pencegahan ini luput dan Sawan berhasil mengganggu, sang bayi akan mengalami demam tinggi. Pada titik ini, yang dapat dilakukan oleh orang tua hanya membaringkan anak terlentang dan "membiarkannya melawan Sawan". Dengan demikian, terdapat konsep pertarungan antara manusia dan makhluk halus tersebut dalam penyakit demam yang diderita.

Kedatangan makhluk atau penyakit ini juga pada akhirnya dikristalkan sebagai sebuah takdir. Dengan demikian, muncul mentalitas untuk menyerahkan pada masing-masing individu untuk menerima takdir dalam melawan keganasan makhluk halus tersebut. 

Bertemunya suatu individu dengan rival astralnya tersebut merupakan suatu pertarungan yang tidak dapat dihindarkan dan orang lain tidak dapat turut campur di dalamnya --dengan kata lain, merupakan sebuah takdir yang tidak dapat dicampuri orang lain. 

Seiring perkembangan zaman dan perubahan waktu, konsep pertarungan antara diri dan godaan mistis itu memudar. Namun, mentalitas untuk memandang penyakit yang datang sebagai takdir yang harus dihadapi tetap ada. Mentalitas ini tidak menunjukkan bahwa orang-orang memandang dengan takluk dan menerima kekalahannya dari sebuah penyakit.

Namun lebih kepada suatu mentalitas untuk menghadapinya dan bukannya mencegahnya datang. Kini, dengan merebaknya kasus virus korona, orang diajarkan untuk mencegahnya datang. Ajakan pencegahan ini adalah suatu konsep baru yang melawan konsep budaya yang sudah mapan.

Dengan demikian, untuk memastikan kesuksesan pencegahan penyebaran virus korona yang berhenti di depan tembok kebudayaan, kita juga harus mengadakan sebuah pendekatan kebudayaan. Salah satu contoh menarik, dan saya pikir akan menjadi sangat efektif, telah dilakukan oleh suatu desa di Purworejo yang kini menjadi viral di internet. 

Dalam berbagai artikel berita daring, saya melihat ada beberapa orang desa tadi yang menggunakan kostum pocong untuk mengingatkan atau menakuti masyarakat akan bahaya virus korona --dengan menggunakan pendekatan yang sangat kultural. 

Masalah yang kita hadapi sekarang adalah tidak adanya jembatan kultural dari imbauan dan istilah medis kepada alam pikiran masyarakat. Konsep social atau physical distancing adalah konsep yang sangat asing bagi alam pikir kebudayaan kita. Selain itu, masyarakat juga seharusnya tidak dibingungkan dengan model penyebaran beristilah droplet dari virus baru tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun