Persebaran cepat virus korona yang telah merenggut lebih dari seratus nyawa di Indonesia ditanggapi dengan berbagai kebijakan oleh pemerintah.Â
Sebagian pihak merasakan perlu adanya tindakan pembatasan gerak fisik masyarakat dengan opsi karantina wilayah, sedangkan yang lain justru mengusahakan adanya vaksin atau pengobatan dengan pengembangan yang cepat. Kedua usaha ini dianggap terbukti telah mengurangi angka penderita dan kematian di Republik Rakyat Cina.Â
Pada saat sebagian orang dengan kokoh mempertahankan diri untuk melakukan pembatasan gerak fisik (yang lebih sering disebut social atau physical distancing) dan mengutuk orang-orang lain yang mengabaikan usulan ini, kita telah mengabaikan suatu aspek humaniora yang mungkin menyebabkan semua "pengabaian" tersebut.
Saya tidak menulis untuk menjustifikasi aksi pengabaian pembatasan gerak fisik yang dilakukan beberapa kelompok di dalam masyarakat. Namun, saya ingin memberikan penjelasan dan opsi tandingan yang barangkali akan membuat patuh orang-orang.Â
Masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jawa, memiliki referensi sejarah dan budaya yang agak berbeda mengenai suatu pandemi demam. Sekalipun pernah terjadi wabah demam flu tahun 1918, pes sejak 1910, dan berulang kali malaria, penyakit-penyakit ini tidak memiliki signifikansi sebesar virus korona tahun ini.Â
Simpulan bahwa penyakit demam semacam ini tidak dianggap sedemikian penting datang dari tidak adanya suatu cerita lisan tentang ini yang diturunkan oleh orang-orang yang pernah mengalaminya. Tidak adanya cerita semacam ini yang berkembang di Jawa merupakan fenomena yang janggal.Â
Bila suatu peristiwa atau kemalangan terjadi, orang Jawa biasanya akan merekam peristiwa tersebut dalam tradisi lisan, yaitu dalam mitos, legenda, atau cerita rakyat.
Saya menduga ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal ini. Kemungkinan yang pertama berkenaan dengan tidak dianggap seriusnya wabah penyakit-penyakit demam karena virus tersebut.Â
Hal ini dapat menjadi dugaan bila kita melihat persentase jumlah korban yang kurang signifikan, baik pada wabah abad ke-17 hingga 20. Namun, hal ini juga secara langsung dipatahkan bila kita menghitung pula jumlah besar korban dari wabah pes yang sekalipun tidak disebabkan oleh virus, tetap menghadirkan gejala demam.Â
Pada akhirnya, mungkin alasan tidak terciptanya "peringatan" yang berupa tradisi lisan tersebut disebabkan oleh kemungkinan kedua. Kemungkinan kedua justru berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang menganggap demam adalah suatu penyakit yang sangat berkaitan dengan kekuatan mistis dan konsep takdir.
Dalam dunia kepercayaan Jawa, terlepas dari konsep agama, banyak penyakit yang diasosiasikan dengan makhluk halus. Namun demikian, demam menempati suatu posisi yang unik.Â