Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Takdir dalam Sejarah dan Tantangan Penanggulangan Virus Korona

1 April 2020   06:40 Diperbarui: 2 April 2020   18:51 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persebaran cepat virus korona yang telah merenggut lebih dari seratus nyawa di Indonesia ditanggapi dengan berbagai kebijakan oleh pemerintah. 

Sebagian pihak merasakan perlu adanya tindakan pembatasan gerak fisik masyarakat dengan opsi karantina wilayah, sedangkan yang lain justru mengusahakan adanya vaksin atau pengobatan dengan pengembangan yang cepat. Kedua usaha ini dianggap terbukti telah mengurangi angka penderita dan kematian di Republik Rakyat Cina. 

Pada saat sebagian orang dengan kokoh mempertahankan diri untuk melakukan pembatasan gerak fisik (yang lebih sering disebut social atau physical distancing) dan mengutuk orang-orang lain yang mengabaikan usulan ini, kita telah mengabaikan suatu aspek humaniora yang mungkin menyebabkan semua "pengabaian" tersebut.

Saya tidak menulis untuk menjustifikasi aksi pengabaian pembatasan gerak fisik yang dilakukan beberapa kelompok di dalam masyarakat. Namun, saya ingin memberikan penjelasan dan opsi tandingan yang barangkali akan membuat patuh orang-orang. 

Masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jawa, memiliki referensi sejarah dan budaya yang agak berbeda mengenai suatu pandemi demam. Sekalipun pernah terjadi wabah demam flu tahun 1918, pes sejak 1910, dan berulang kali malaria, penyakit-penyakit ini tidak memiliki signifikansi sebesar virus korona tahun ini. 

Simpulan bahwa penyakit demam semacam ini tidak dianggap sedemikian penting datang dari tidak adanya suatu cerita lisan tentang ini yang diturunkan oleh orang-orang yang pernah mengalaminya. Tidak adanya cerita semacam ini yang berkembang di Jawa merupakan fenomena yang janggal. 

Bila suatu peristiwa atau kemalangan terjadi, orang Jawa biasanya akan merekam peristiwa tersebut dalam tradisi lisan, yaitu dalam mitos, legenda, atau cerita rakyat.

Saya menduga ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal ini. Kemungkinan yang pertama berkenaan dengan tidak dianggap seriusnya wabah penyakit-penyakit demam karena virus tersebut. 

Hal ini dapat menjadi dugaan bila kita melihat persentase jumlah korban yang kurang signifikan, baik pada wabah abad ke-17 hingga 20. Namun, hal ini juga secara langsung dipatahkan bila kita menghitung pula jumlah besar korban dari wabah pes yang sekalipun tidak disebabkan oleh virus, tetap menghadirkan gejala demam. 

Pada akhirnya, mungkin alasan tidak terciptanya "peringatan" yang berupa tradisi lisan tersebut disebabkan oleh kemungkinan kedua. Kemungkinan kedua justru berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang menganggap demam adalah suatu penyakit yang sangat berkaitan dengan kekuatan mistis dan konsep takdir.

Dalam dunia kepercayaan Jawa, terlepas dari konsep agama, banyak penyakit yang diasosiasikan dengan makhluk halus. Namun demikian, demam menempati suatu posisi yang unik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun