“lagian buat apa juga kamu mencatut nama Papi”
“aku tak seperti yang kakak maksudkan, ini murni hanya untuk kepentingan usaha Papi dan sudah sepengetahuan Papi, sudahlah kak, Vin capek, mau istirahat sekarang”
Pikiranku masih bekerja keras untuk menyadarkan adik lelakiku ini dari perbuatan buruknya yang sudah melanggar prinsip norma keluarga kami.
Pelanggaran norma memang bukan sebuah tindakan kejahatan seperti mencuri atau membunuh secara langsung tetapi bagiku ini adalah awal dari pintu masuk untuk melakukan perbuatan jahat.
Inilah benih-benih yang disemaikan di lahan subur dengan potensi sedemikian rupa dalam waktu yang sedemikan cepat dapat bertumbuh, lalu akhirnya membuahkan nilai serta tindakan jahat.
***
Papiku, yang kubanggakan adalah seorang pemimpin bijaksana, dengan kharisma dan kewibawaannya, sosoknya sungguh mengagumkan, sangat disegani oleh para pengerja botol di pabrik. Aku tak pernah menyangka, adikku akan berbuat seperti itu terhadap ayah kandungnya sendiri.
Aku sudah pernah mencoba bertukar pikiran dengan Papi soal kasus adik ini tetapi karena kesibukan Papi yang menyita hampir seluruh waktunya, sampai saat ini aku belum memperoleh jawaban pasti bagaimana mengatasi perilaku Vin.
Terlintas dalam pikiran untuk mengusulkan hukuman yang seberat-beratnya supaya adikku menjadi jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku-pun mencoba mengadu ke ibunda tercinta.
“Bunda, sejak Pak Karmo berhenti bekerja, mengapa mobil di rumah ini ngga minta Vin saja yang bersihkan?”
“Loh, bukannya Vin setiap akhir minggu sudah punya jadwal nyuci mobil keluarga?”