Mohon tunggu...
Michael Timothy
Michael Timothy Mohon Tunggu... Akuntan - Writer, worker, reader, accountant

Writer, worker, reader, accountant

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

[Opini] Kenapa Ibu Kota Tidak Perlu Pindah?

1 September 2019   20:37 Diperbarui: 2 September 2019   08:07 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia: 10 juta >> 14.464/km
Singapore: 6 juta >> 7.804/km

Jika populasi Singapore adalah 12 juta (2x dari populasi saat ini), maka kepadatan adalah sekitar 15.608/km, hal ini jelas menunjukkan bahwa sebenarnya kepadatan Jakarta masih dalam taraf normal. Cuma memang Jakarta jauh lebih kurang tertata, mulai dari parkir liar, bangunan semi-permanen, hingga bangunan illegal. Tapi jika ditata, nampaknya Jakarta bisa terlihat lowong dan nyaman.

ALTERNATIF INKLUSI EKONOMI

Saya rasa pindah ataupun pindah ibukota, tidak akan berdampak besar bagi pemerataan ekonomi. Coba kita pikir, berikut beberapa alasan yang saya rasa cukup jelas:
1.Bursa efek akan tetap di Jakarta, otomatis pebisnis tidak akan ke Kaltim hanya untuk berdagang. Yang mana berarti Kantor Pusat perusahaan besar tidak akan berbondong-bondong pindah ke Kaltim. Malah mungkin yang ada pe-lobi (orang yang melobi pemerintah untuk kepentingan bisnis) yang akan pergi ke Kaltim.
2.Tenaga kerja ahli dan terdidik kebanyakan di Pulau Jawa dan Sumatera, jadi sangat tidak praktis memindahkan pabrik ke Kaltim. Solusi yang lebih baik adalah mendidik masyarakat Kaltim dengan teknik dan keahlian yang diperlukan. Hal ini malah bisa membuat pengusaha dan bisnis tertarik untuk mengembangkan bisnis di Kaltim.
3.Meskipun lokasi Kaltim lebih strategis dibanding Jakarta. Tapi jika dilihat dari sudut pandang perdagangan internasional, Jakarta dan Surabaya lebih strategis. Hal ini karena pelabuhan dan infrastrukturnya sudah siap di Jakarta. Selain itu kebanyakan kapal berlabuh di Jakarta akan melanjutkan perjalanan ke Eropa, Asia Timur, atau Australia. Jadi lokasi Kaltim hanya strategis jika ada perjalanan ke arah Amerika atau mungkin Filipina
4.Bagaimana pabrik atau industri akan dibuka di pulau lain, jika pulau tersebut masih belum siap listrik, air, telepon, internet, jalanan, dll. Jadi kehadiran ibukota baru mungkin akan meningkatkan infrastruktur Kaltim, tapi efeknya hanya akan terlokalisir dan minimal.
 
Jadi menurut saya, daripada mengalihkan uang sebesar 500 triliun membangun dari NOL untuk pemerataan ekonomi. Lebih baik pemerintah terus melanjutkan kinerja pembangunannya, yaitu membangun pelabuhan, rel kereta api, bandara, jalan tol, sekolah, rumah sakit, pembangkit listrik. Daripada uangnya dipakai bangun istana presiden baru. Presiden Indonesia sebenarnya sangat keren lho, kita punya banyak istana presiden, mulai dari: Istana Merdeka & Negara di Jakarta, Istana Bogor, Istana Yogyakarta, Istana Bali, Istana Cipanas. Presiden AS saja hanya memiliki The White House & Camp David.

Bayangkan berapa banyak rusun yang bisa dibangun dengan 500 triliun. Sebagai contoh, untuk membangun Rusun di Jakarta, pemprov DKI Jakarta di tahun 2019 menganggarkan dana sebesar 710 miliar rupiah total 6.043 unit. Bayangkan jika 5 triliun saja dikeluarkan untuk bangun rusun ketimbang bangun gedung DPR atau kementerian baru, berapa banyak orang yang bisa memiliki rumah dan tempat tinggal.

KRISIS AIR

Jujur, alasan krisis air untuk pindah ibukota cukup membuat saya dilema. Memang betul air lagi krisis parah di Jakarta beberapa bulan terakhir. Tapi apakah solusi kekeringan air adalah pindah ibukota? Apakah solusi kebakaran hutan adalah dengan pindah rumah jauh dari hutan? Lantas apakah Anda bersedia pindah ke pulau lain hanya untuk dapat air bersih? Rasanya tidak masuk akal.

Sebagai contoh, Singapore merupakan pulau kecil, dengan populasi yang padat. Air yang berada di kawasan reservoirnya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Lantas apakah orang Singapore pasrah? Tentu tidak, mereka mencari akal dengan cara:
1.Meningkatkan daur ulang air sisa (air yang bekas mandi, air bekas cuci mobil yang kita buang, itu kalau di SG di daur ulang untuk dipakai lagi).
2.Meningkatkan area reservoir dan tampungan air. Kalau di Jakarta karena selokan penuh sampah, atau ditutup dengan semen, sehingga air tidak bisa di tampung maksimal saat hujan, jadi banjir. Maka di SG, air dari selokan dialirkan ke reservoir (pastinya karena selokan mereka bersih).
3.Desalinasasi air laut menjadi air tawar layak konsumsi. Berhubung SG itu pulau yang dikelilingi air asin, jadi sangat masuk akal mereka konversi air asin jadi air tawar
4.Import air dari Johor, Malaysia. Meskipun terakhir mereka masih bernegosiasi tentang pasokan air dari Malay, tapi rencana PUB (dinas air SG), mereka merencanakan agar solusi nomor 1-3 bisa memenuhi kebutuhan SG di masa depan, tanpa harus import air.

Lalu, jika negara sekecil Singapore saja berusaha keras untuk bertahan hidup dengan mengakali pasokan airnya, kenapa kita tidak coba mengikutinya? Mungkin kita bisa mulai dari daur ulang air bersih, dan meningkatkan danau-danau reservoir yang ada di Jakarta.

PEMAKAIAN LAHAN

Betul sekali bahwa pemakaian lahan di Jakarta dan Jawa sudah lebih dari 50%, namun bukan berarti tidak ada solusi untuk mengakalinya. Macet karena lahan terbatas, bangunlah MRT. Untuk membangun MRT fase I dan II, diperlukan dana 38 triliun dengan total panjang trek 24,5 km, sehingga biaya per km adalah 1,5 triliun.

Jika kita pakai 500 triliun untuk bangun MRT di Jakarta, kita bisa punya MRT sepanjang 333 km. Tentu ini capaian yang baik, tidak luar biasa, karena negara tetangga seperti SG saja sudah punya jalur MRT sepanjang 200 km. Tapi bayangkan jika ada jalur MRT di Jakarta sepanjang 333 km, mungkin saja orang akan lebih suka naik MRT dari pada panas-panasan di jalan raya. Belum plus macet, apalagi bagi pengguna mobil, akan ada perluasan ganjil-genap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun