ALASAN IBUKOTA PERLU PINDAH:
1.Pulau Jawa terlalu padat mengingat 56% populasi Indonesia berada di Pulau Jawa
2.Konsentrasi ekonomi sebesar 58% dari PDB Indonesia ada di Pulau Jawa
3.Krisis Air di Pulau Jawa
4.Penggunaan Lahan/Tanah di Pulau Jawa sudah 46-44% dari lahan tersedia di Pulau Jawa
ALASAN IBUKOTA TIDAK PERLU PINDAH:
1.Kepadatan pulau Jawa dan Jakarta tidak separah negara lain
2.Pemerataan atau inklusi ekonomi bisa dilakukan dengan cara lain
3.Krisis air bisa diatasi dengan mencari alternatif sumber air baru
4.Pemakaian tanah di pulau Jawa atau Jakarta masih dalam taraf normal jika dibandingkan dengan negara lain.
PENDANAAN:
Pembangunan ibukota baru disebut memerlukan dana kurang lebih hampir 500 triliun Rupiah. Yang mana pembiayaannya adalah 20% berasal dari APBN, namun bukan dari Penerimaan Pajak, tapi lewat Penerimaan Negara Bukan Pajak (seperti laba BUMN, dll). Sisanya akan didanai lewat hutang negara, 'tukar guling aset', dll. APBN 2019 sendiri masih defisit 296 triliun rupiah, sehingga perlu tambahan hutang (baik hutang domestik atau luar negeri). Dari total 2.165 triliun penerimaan di APBN, 379 triliun rupiah berasal dari penerimaan bukan pajak.
Jika dihitung, maka ibukota baru perlu dana sekitar 100 triliun dari APBN. Namun mengingat penerimaan non pajak di APBN hanya 379 triliun, apakah cukup untuk membiayai 100 triliun? Apalagi APBN 2019 sendiri masih defisit. Tambahan, mengingat 500 triliun rupiah biaya pembangunan baru merupakan kisaran, bisa jadi biayanya membesar.
Pemerintah pusat sendiri memiliki aset senilai hampir 1.123 triliun rupiah di Jakarta, yang mana kebanyakan aset tersebut berwujud tanah dan bangunan sebanyak 17.834 unit. Di mana kebanyakan tanah berada di Jakarta Timur, sementara aset bangunan mayoritas di Jakarta Pusat. Aset senilai 300 triliun sendiri berada di lokasi strategis di Central Business District. Mengingat aset ini tidak akan dijual, tapi akan disewakan (leasing) ke pihak ketiga atau pemerintah daerah DKI Jakarta. Jadi jika aset-aset ini disewakan, tidak menutup kemungkinan akan ada tambahan dana segar untuk ibukota baru.
KEPADATAN PENDUDUK DKI JAKARTA & JAWA:
Jakarta memang sudah padat, estimasi kepadatan per km adalah 14.464/km, sementara di Pulau Jawa adalah 1.121/km. Namun jika dibandingkan dengan negara lain, nampaknya Jakarta tidak sepadat yang kita kira. Kota Macau di China sendiri memiliki kepadatan 21.224, tapi ternyata kota Manila di Filipina memiliki kepadatan 41.515 orang per km, yang mana jauh lebih pada dari Jakarta (hampir 3x lebih padat dari Jakarta).
Jadi kalau bicara kepadatan, nampaknya tidak padat sekali, hanya kurang tertata sehingga nampak padat. Populasi Jakarta adalah sekitar 10 juta orang, sementara negara tetangga Singapore adalah kurang lebih 6 juta orang.
Negara   Populasi   Kepadatan
Indonesia: 10 juta >> 14.464/km
Singapore: 6 juta >> 7.804/km
Jika populasi Singapore adalah 12 juta (2x dari populasi saat ini), maka kepadatan adalah sekitar 15.608/km, hal ini jelas menunjukkan bahwa sebenarnya kepadatan Jakarta masih dalam taraf normal. Cuma memang Jakarta jauh lebih kurang tertata, mulai dari parkir liar, bangunan semi-permanen, hingga bangunan illegal. Tapi jika ditata, nampaknya Jakarta bisa terlihat lowong dan nyaman.
ALTERNATIF INKLUSI EKONOMI
Saya rasa pindah ataupun pindah ibukota, tidak akan berdampak besar bagi pemerataan ekonomi. Coba kita pikir, berikut beberapa alasan yang saya rasa cukup jelas:
1.Bursa efek akan tetap di Jakarta, otomatis pebisnis tidak akan ke Kaltim hanya untuk berdagang. Yang mana berarti Kantor Pusat perusahaan besar tidak akan berbondong-bondong pindah ke Kaltim. Malah mungkin yang ada pe-lobi (orang yang melobi pemerintah untuk kepentingan bisnis) yang akan pergi ke Kaltim.
2.Tenaga kerja ahli dan terdidik kebanyakan di Pulau Jawa dan Sumatera, jadi sangat tidak praktis memindahkan pabrik ke Kaltim. Solusi yang lebih baik adalah mendidik masyarakat Kaltim dengan teknik dan keahlian yang diperlukan. Hal ini malah bisa membuat pengusaha dan bisnis tertarik untuk mengembangkan bisnis di Kaltim.
3.Meskipun lokasi Kaltim lebih strategis dibanding Jakarta. Tapi jika dilihat dari sudut pandang perdagangan internasional, Jakarta dan Surabaya lebih strategis. Hal ini karena pelabuhan dan infrastrukturnya sudah siap di Jakarta. Selain itu kebanyakan kapal berlabuh di Jakarta akan melanjutkan perjalanan ke Eropa, Asia Timur, atau Australia. Jadi lokasi Kaltim hanya strategis jika ada perjalanan ke arah Amerika atau mungkin Filipina
4.Bagaimana pabrik atau industri akan dibuka di pulau lain, jika pulau tersebut masih belum siap listrik, air, telepon, internet, jalanan, dll. Jadi kehadiran ibukota baru mungkin akan meningkatkan infrastruktur Kaltim, tapi efeknya hanya akan terlokalisir dan minimal.
Â
Jadi menurut saya, daripada mengalihkan uang sebesar 500 triliun membangun dari NOL untuk pemerataan ekonomi. Lebih baik pemerintah terus melanjutkan kinerja pembangunannya, yaitu membangun pelabuhan, rel kereta api, bandara, jalan tol, sekolah, rumah sakit, pembangkit listrik. Daripada uangnya dipakai bangun istana presiden baru. Presiden Indonesia sebenarnya sangat keren lho, kita punya banyak istana presiden, mulai dari: Istana Merdeka & Negara di Jakarta, Istana Bogor, Istana Yogyakarta, Istana Bali, Istana Cipanas. Presiden AS saja hanya memiliki The White House & Camp David.
Bayangkan berapa banyak rusun yang bisa dibangun dengan 500 triliun. Sebagai contoh, untuk membangun Rusun di Jakarta, pemprov DKI Jakarta di tahun 2019 menganggarkan dana sebesar 710 miliar rupiah total 6.043 unit. Bayangkan jika 5 triliun saja dikeluarkan untuk bangun rusun ketimbang bangun gedung DPR atau kementerian baru, berapa banyak orang yang bisa memiliki rumah dan tempat tinggal.
KRISIS AIR
Jujur, alasan krisis air untuk pindah ibukota cukup membuat saya dilema. Memang betul air lagi krisis parah di Jakarta beberapa bulan terakhir. Tapi apakah solusi kekeringan air adalah pindah ibukota? Apakah solusi kebakaran hutan adalah dengan pindah rumah jauh dari hutan? Lantas apakah Anda bersedia pindah ke pulau lain hanya untuk dapat air bersih? Rasanya tidak masuk akal.
Sebagai contoh, Singapore merupakan pulau kecil, dengan populasi yang padat. Air yang berada di kawasan reservoirnya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Lantas apakah orang Singapore pasrah? Tentu tidak, mereka mencari akal dengan cara:
1.Meningkatkan daur ulang air sisa (air yang bekas mandi, air bekas cuci mobil yang kita buang, itu kalau di SG di daur ulang untuk dipakai lagi).
2.Meningkatkan area reservoir dan tampungan air. Kalau di Jakarta karena selokan penuh sampah, atau ditutup dengan semen, sehingga air tidak bisa di tampung maksimal saat hujan, jadi banjir. Maka di SG, air dari selokan dialirkan ke reservoir (pastinya karena selokan mereka bersih).
3.Desalinasasi air laut menjadi air tawar layak konsumsi. Berhubung SG itu pulau yang dikelilingi air asin, jadi sangat masuk akal mereka konversi air asin jadi air tawar
4.Import air dari Johor, Malaysia. Meskipun terakhir mereka masih bernegosiasi tentang pasokan air dari Malay, tapi rencana PUB (dinas air SG), mereka merencanakan agar solusi nomor 1-3 bisa memenuhi kebutuhan SG di masa depan, tanpa harus import air.
Lalu, jika negara sekecil Singapore saja berusaha keras untuk bertahan hidup dengan mengakali pasokan airnya, kenapa kita tidak coba mengikutinya? Mungkin kita bisa mulai dari daur ulang air bersih, dan meningkatkan danau-danau reservoir yang ada di Jakarta.
PEMAKAIAN LAHAN
Betul sekali bahwa pemakaian lahan di Jakarta dan Jawa sudah lebih dari 50%, namun bukan berarti tidak ada solusi untuk mengakalinya. Macet karena lahan terbatas, bangunlah MRT. Untuk membangun MRT fase I dan II, diperlukan dana 38 triliun dengan total panjang trek 24,5 km, sehingga biaya per km adalah 1,5 triliun.
Jika kita pakai 500 triliun untuk bangun MRT di Jakarta, kita bisa punya MRT sepanjang 333 km. Tentu ini capaian yang baik, tidak luar biasa, karena negara tetangga seperti SG saja sudah punya jalur MRT sepanjang 200 km. Tapi bayangkan jika ada jalur MRT di Jakarta sepanjang 333 km, mungkin saja orang akan lebih suka naik MRT dari pada panas-panasan di jalan raya. Belum plus macet, apalagi bagi pengguna mobil, akan ada perluasan ganjil-genap.
Jadi sekali lagi, masih ada solusi yang lebih praktis ketimbang membangun gedung baru di Kaltim. Toh, meskipun ibukota pindah, Jakarta akan tetap macet, jadi dari pada bangun gedung, lebih baik bangun MRT, perbaiki halte busway dan bus, perbanyak transportasi umum. Sayang jika jalan raya di ibukota baru cuma sedikit orang yang bisa nikmati ketimbang MRT yang mana 10 juta orang bisa menikmati.
KONKLUSI
Singkat kata, dari pada 500 triliun digelontorkan untuk bangun ibukota baru dari NOL. Lebih baik dipakai untuk memperbaiki kawasan Jabodetabek. Percepat pembangunan transportasi umum (Bekasi-Cikarang masih macet), normalisasi sungai, bangun apartmen atau rusun untuk pekerja. Dan jika bisa upgrade infrastruktur yang ada seperti tower signal, kalau perlu skip 4G ke 5G, tingkatkan digitalisasi, dorong mobil listrik di Jakarta. Nanti setelah Jakarta kelar, baru mulai bangun di daerah lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H