Langit malam itu berselimutkan bintang yang enggan bersinar. Di sudut kota yang sepi, seorang pemuda bernama Arga duduk di halte bus tua, menatap jarum jam tangannya yang hampir mencapai pukul 23:59. Wajahnya pucat, seolah menyimpan beban yang terlalu berat untuk diungkapkan.
"Aku hanya butuh tiga detik," gumam Arga pelan, seperti berbicara pada angin yang dingin.
"Tiga detik untuk apa?" Suara itu muncul begitu saja, mengejutkan Arga. Di sampingnya, tiba-tiba muncul seorang pria tua berjas hitam, dengan tongkat kayu mengilap di tangannya. Wajahnya bersih, namun sorot matanya terasa menembus pikiran.
"Siapa Anda?" tanya Arga gugup.
"Seseorang yang mengerti bahwa waktu adalah permainan yang tak pernah adil. Namaku, Nestor. Dan kau? Mengapa tiga detik begitu penting bagimu?"
Arga diam sejenak. Ia tahu malam ini bukan malam biasa. Ia merasakan sesuatu yang ganjil sejak pria tua itu datang. Tapi anehnya, ia merasa harus berbicara.
"Aku hanya ingin meminta maaf. Pada seseorang yang sudah pergi. Tapi tiga detik takkan pernah cukup untuk itu, bukan?"
Nestor tersenyum tipis. "Mungkin cukup. Tiga detik bisa mengubah segalanya, Arga. Apakah kau ingin mencoba?"
"Apa maksud Anda?" Arga mengernyit.
"Kau bisa kembali ke masa lalu. Tapi hanya tiga detik. Namun ingat, setiap detik itu punya harga."
Arga tertegun. Pilihan yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba hadir di hadapannya. Tapi tanpa ragu ia mengangguk. "Aku akan melakukannya."
Nestor mengayunkan tongkatnya ke tanah. Cahaya lembut muncul, menyelimuti Arga. Detik berikutnya, Arga sudah berdiri di ruang tamu rumahnya, tujuh tahun yang lalu. Di sofa, ibunya yang sudah tiada duduk dengan wajah lelah namun penuh kasih. Tangannya memegang buku catatan kecil.
"Ibu," suara Arga bergetar.
Sosok ibunya menoleh. "Arga? Kau kenapa berdiri di situ? Duduklah."
Waktu terasa membeku. Arga tahu, hanya tiga detik yang dimilikinya. Ia maju dan memeluk ibunya erat, air mata mengalir deras.
"Maafkan aku, Bu. Untuk semua yang belum sempat kukatakan. Aku menyayangimu."
Ibunya tersenyum lembut, walau terlihat bingung. "Aku tahu, Nak. Selalu tahu."
Cahaya kembali menyelubungi Arga. Dalam sekejap, ia kembali ke halte bus tua, kini sendirian. Dadanya terasa lebih ringan, meski matanya masih basah oleh air mata.
"Apa tiga detik itu cukup?" Suara Nestor tiba-tiba terdengar, meskipun pria itu tak terlihat.
Arga menatap langit yang kini mulai dihiasi bintang-bintang bersinar terang. "Lebih dari cukup," jawabnya, tersenyum.
Dan malam itu, ia tahu hidupnya takkan pernah sama lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI