Mohon tunggu...
Regina HanyusVina
Regina HanyusVina Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

Hobi bernyanyi, menulis, bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Detik Sebelum Esok

20 Januari 2025   10:18 Diperbarui: 20 Januari 2025   10:18 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit malam itu berselimutkan bintang yang enggan bersinar. Di sudut kota yang sepi, seorang pemuda bernama Arga duduk di halte bus tua, menatap jarum jam tangannya yang hampir mencapai pukul 23:59. Wajahnya pucat, seolah menyimpan beban yang terlalu berat untuk diungkapkan.

"Aku hanya butuh tiga detik," gumam Arga pelan, seperti berbicara pada angin yang dingin.

"Tiga detik untuk apa?" Suara itu muncul begitu saja, mengejutkan Arga. Di sampingnya, tiba-tiba muncul seorang pria tua berjas hitam, dengan tongkat kayu mengilap di tangannya. Wajahnya bersih, namun sorot matanya terasa menembus pikiran.

"Siapa Anda?" tanya Arga gugup.

"Seseorang yang mengerti bahwa waktu adalah permainan yang tak pernah adil. Namaku, Nestor. Dan kau? Mengapa tiga detik begitu penting bagimu?"

Arga diam sejenak. Ia tahu malam ini bukan malam biasa. Ia merasakan sesuatu yang ganjil sejak pria tua itu datang. Tapi anehnya, ia merasa harus berbicara.

"Aku hanya ingin meminta maaf. Pada seseorang yang sudah pergi. Tapi tiga detik takkan pernah cukup untuk itu, bukan?"

Nestor tersenyum tipis. "Mungkin cukup. Tiga detik bisa mengubah segalanya, Arga. Apakah kau ingin mencoba?"

"Apa maksud Anda?" Arga mengernyit.

"Kau bisa kembali ke masa lalu. Tapi hanya tiga detik. Namun ingat, setiap detik itu punya harga."

Arga tertegun. Pilihan yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba hadir di hadapannya. Tapi tanpa ragu ia mengangguk. "Aku akan melakukannya."

Nestor mengayunkan tongkatnya ke tanah. Cahaya lembut muncul, menyelimuti Arga. Detik berikutnya, Arga sudah berdiri di ruang tamu rumahnya, tujuh tahun yang lalu. Di sofa, ibunya yang sudah tiada duduk dengan wajah lelah namun penuh kasih. Tangannya memegang buku catatan kecil.

"Ibu," suara Arga bergetar.

Sosok ibunya menoleh. "Arga? Kau kenapa berdiri di situ? Duduklah."

Waktu terasa membeku. Arga tahu, hanya tiga detik yang dimilikinya. Ia maju dan memeluk ibunya erat, air mata mengalir deras.

"Maafkan aku, Bu. Untuk semua yang belum sempat kukatakan. Aku menyayangimu."

Ibunya tersenyum lembut, walau terlihat bingung. "Aku tahu, Nak. Selalu tahu."

Cahaya kembali menyelubungi Arga. Dalam sekejap, ia kembali ke halte bus tua, kini sendirian. Dadanya terasa lebih ringan, meski matanya masih basah oleh air mata.

"Apa tiga detik itu cukup?" Suara Nestor tiba-tiba terdengar, meskipun pria itu tak terlihat.

Arga menatap langit yang kini mulai dihiasi bintang-bintang bersinar terang. "Lebih dari cukup," jawabnya, tersenyum.

Dan malam itu, ia tahu hidupnya takkan pernah sama lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun