Nestor mengayunkan tongkatnya ke tanah. Cahaya lembut muncul, menyelimuti Arga. Detik berikutnya, Arga sudah berdiri di ruang tamu rumahnya, tujuh tahun yang lalu. Di sofa, ibunya yang sudah tiada duduk dengan wajah lelah namun penuh kasih. Tangannya memegang buku catatan kecil.
"Ibu," suara Arga bergetar.
Sosok ibunya menoleh. "Arga? Kau kenapa berdiri di situ? Duduklah."
Waktu terasa membeku. Arga tahu, hanya tiga detik yang dimilikinya. Ia maju dan memeluk ibunya erat, air mata mengalir deras.
"Maafkan aku, Bu. Untuk semua yang belum sempat kukatakan. Aku menyayangimu."
Ibunya tersenyum lembut, walau terlihat bingung. "Aku tahu, Nak. Selalu tahu."
Cahaya kembali menyelubungi Arga. Dalam sekejap, ia kembali ke halte bus tua, kini sendirian. Dadanya terasa lebih ringan, meski matanya masih basah oleh air mata.
"Apa tiga detik itu cukup?" Suara Nestor tiba-tiba terdengar, meskipun pria itu tak terlihat.
Arga menatap langit yang kini mulai dihiasi bintang-bintang bersinar terang. "Lebih dari cukup," jawabnya, tersenyum.
Dan malam itu, ia tahu hidupnya takkan pernah sama lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI