Langit malam itu berselimutkan bintang yang enggan bersinar. Di sudut kota yang sepi, seorang pemuda bernama Arga duduk di halte bus tua, menatap jarum jam tangannya yang hampir mencapai pukul 23:59. Wajahnya pucat, seolah menyimpan beban yang terlalu berat untuk diungkapkan.
"Aku hanya butuh tiga detik," gumam Arga pelan, seperti berbicara pada angin yang dingin.
"Tiga detik untuk apa?" Suara itu muncul begitu saja, mengejutkan Arga. Di sampingnya, tiba-tiba muncul seorang pria tua berjas hitam, dengan tongkat kayu mengilap di tangannya. Wajahnya bersih, namun sorot matanya terasa menembus pikiran.
"Siapa Anda?" tanya Arga gugup.
"Seseorang yang mengerti bahwa waktu adalah permainan yang tak pernah adil. Namaku, Nestor. Dan kau? Mengapa tiga detik begitu penting bagimu?"
Arga diam sejenak. Ia tahu malam ini bukan malam biasa. Ia merasakan sesuatu yang ganjil sejak pria tua itu datang. Tapi anehnya, ia merasa harus berbicara.
"Aku hanya ingin meminta maaf. Pada seseorang yang sudah pergi. Tapi tiga detik takkan pernah cukup untuk itu, bukan?"
Nestor tersenyum tipis. "Mungkin cukup. Tiga detik bisa mengubah segalanya, Arga. Apakah kau ingin mencoba?"
"Apa maksud Anda?" Arga mengernyit.
"Kau bisa kembali ke masa lalu. Tapi hanya tiga detik. Namun ingat, setiap detik itu punya harga."
Arga tertegun. Pilihan yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba hadir di hadapannya. Tapi tanpa ragu ia mengangguk. "Aku akan melakukannya."