Oleh: Reghina Azizah
Tanpa kalian sadari AI jauh lebih berbahaya dari nuklir. Karena dalam beberapa
tahun terakhir, kemajuan pesat dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) telah
mengubah banyak aspek dari kehidupan kita..HA Simon mengklaim bahwa
kecerdasan buatan (AI) adalah bidang yang memungkinkan komputer
melakukan tugas-tugas yang lebih unggul dari manusia. Begitupula dengan
Knight dan Rich yang sependapat dengan Simon bahwa kecerdasan buatan (AI)
adalah cabang ilmu komputer yang mengamati upaya membangun komputer
sebagai sesuatu yang dapat dilakukan manusia, bahkan lebih baik dari itu.
Terutama semenjak hadirnya alat bantuan seperti ChatGPT, yang
memungkinkan interaksi manusia dengan mesin sehingga memudahkan
manusia untuk mendapatkan informasi. Dari membuat tugas sehari-hari hingga
menyediakan jawaban cepat dan relevan untuk hampir semua pertanyaan, AI
juga mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berinteraksi. Dengan bantuan alat
seperti ChatGPT, kita dapat memperoleh informasi dalam hitungan detik tanpa
perlu mencarinya secara manual. Bahkan, AI dapat membantu kita
menyelesaikan tugas-tugas kreatif seperti menulis, menggambar, atau
memecahkan masalah lainnya. Namun, yang jadi masalah saat ini adalah ketika
ChatGPT ini hanya digunakan untuk copy paste tugas dan juga menyelesaikan
masalah-masalah yang seharusnya diselesaikan oleh manusia.
PERAN ChatGPT DALAM PENDIDIKAN
Hal ini sangat berpengaruh pada para pelajar baik anak sekolah siswa/i maupun
mahasiswa. Kebanyakan pelajar Indonesia itu orientasi tentang pendidikan nya
adalah mencari nilai, bukan mencari ilmu.
Jadi, jika misalkan kita hanya mengejar nilai, kita nggak akan mendapatkan
esensi dari apa yang kita pelajari. Dan nilai itu sendiri harusnya jadi sebuah
penilaian tentang seberapa baik kompetensi kita dalam ilmu pengetahuan
tersebut. Nah jadi karena orientasi para pelajar itu hanya tentang nilai, alhasil
terjadilah tindakan, seperti contek menyontek, copy paste dari google, dari
ChatGPT. Dan ini juga yang membuat ketika mereka persentasi itu hanya
membaca saja gitu. Karena apa? ya karena mereka tidak mendapatkan ilmunya dan ketika mereka tidak mendapatkan ilmunya, bagaimana cara mereka
mempersentasikannya?Sedangkan ilmunya saja tidak ada, dan tidak dipelajari.
Tapi mereka masi bersikap santai saja walau tidak mendapatkan ilmunya.
Karena apa? Karena mereka berpikir yang penting mendapatkan nilainya, dan
akhirnya mereka jadi membenci persentasi, membenci sesi tanya jawab,
membenci diskusi dan yang parah nya lagi mereka jadi benci untuk berpikir.
Dan dari situlah mereka menjadi manusia kosong yang berbuat curang.
Lantas bukankah kehadiran AI membuat manusia semakin bergantung pada
teknologi?Apakah pada akhirnya peradaban manusia akan digantikan oleh AI?
Jawabannya adalah bisa jadi iya. Karena semakin banyak orang mengandalkan
AI untuk menjalankan fungsi-fungsi sehari-hari mereka, semakin sedikit ruang
yang mereka berikan untuk berpikir secara mandiri dan kreatif. Hal ini akan
menimbulkan ketergantungan dan ini bisa jadi sangat berbahaya, terutama bagi
generasi muda yang tumbuh bersama teknologi ini.
RESIKO AI DALAM LINGKUP PEKERJAAN
Tidak hanya bagi generasi muda saja bahkan ini juga akan berpengaruh pada
lingkup tenaga kerja. Anggaplah jika semakin banyak industri yang
mengandalkan teknologi AI ini untuk pekerjaan, semakin sedikit pekerjaan yang
tersedia bagi manusia. Atau bahkan bisa jadi AI akan menggantikan manusia di
beberapa tahun yang akan datang.
Menurut Prof. Dr. Suyanto, S.T., M.Sc., Guru Besar Bidang Kecerdasan Buatan
dari Telkom University (Tel-U), berpendapat bahwa kemajuan teknologi justru
dapat memunculkan berbagai pekerjaan baru dengan jumlah yang lebih banyak
di masa mendatang. Sama halnya dengan teknologi mesin uap tiga abad silam
yang justru memicu revolusi industri dan memunculkan lebih banyak profesi
baru, seperti supir, masinis, pilot, pramugari, dan berbagai profesi lain, yang
mungkin belum pernah terbayang sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan AI
juga akan menghadirkan berbagai profesi baru di kemudian hari.
Walaupun AI menciptakan peluang baru, banyak pekerjaan yang sebelumnya
dilakukan oleh tenaga manusia mulai digantikan oleh mesin. Ini menimbulkan
ketimpangan ekonomi, di mana sebagian orang menjadi semakin terpinggirkan
karena mereka tidak memiliki keterampilan untuk bersaing dengan kemampuan
AI. Bukankah hal itu sangat menakutkan, yang seharusnya AI ini membantu
justru menjadi alat pesaing bagi manusia Memang sih ketergantungan pada AI memang tak bisa dihindari, mengingat
manfaat yang ditawarkannya. Namun, kita harus menghadapinya dengan
bijaksana. Salah satu langkah penting adalah membangun kesadaran tentang
pentingnya keseimbangan antara penggunaan teknologi dan pengembangan
keterampilan manusia yang lebih mendalam. Pendidikan, misalnya, kita bisa
jadikan ChatGPT ini untuk membantu memproses informasi tapi bukan berarti
mengambil seluruh nya mentah-mentah tanpa dianalisis atau berpikir lagi atau
bisa dibilang copy paste seluruhnya.
Meskipun begitu bukan berarti kita tidak diperbolehkan memakai ChatGPT.
Saya akui, saya sendiri sering menggunakan ChatGPT ini. Tapi justru yg jadi
masalah saat ini adalah ketika ChatGPT ini hanya digunakan untuk copy paste
tugas dan juga menyelesaikan masalah-masalah yang seharusnya diselesaikan
oleh manusia. Namun beda ceritanya ketika kita memakai chtgpt untuk
mendapatkan informasi dan belajar. Ketika ChatGPT digunakan untuk
mengubah diri kita sendiri agar kita membuat sesuatu, bukan ChatGPT yang
membuat sesuatu untuk kita.
Di samping itu, Prof. Dr. Suyanto juga menyampaikan bahwa tiap profesi
memiliki peluang tidak tergantikan dengan melakukan personalisasi atau
generalisasi. Personalisasi dapat membuat manusia memiliki pengetahuan atau
keterampilan yang spesifik, misalnya dokter spesialis, psikolog, atau bahkan
seniman yang ahli pada spesifikasi tertentu. Sebaliknya, generalisasi akan
membuat manusia mampu berpikir secara sistematis dan tidak tergantikan
dengan AI karena memiliki beragam pengetahuan dan terlatih memandang
masalah secara holistik dengan solusi yang sistematik.
AI memang bisa mempermudah bahkan menggantikan pekerjaan manusia.
Namun bukan berarti peran manusia akan hilang begitu saja. Sepintar-pintarnya
AI, tetap butuh pemikiran kritis serta daya analisis dan kreatifitas dari manusia
untuk membuatnya bekerja lebih maksimal. Hal yang sama juga akan terjadi
pada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik. Walaupun ada mesin
dan AI yang mengganti tenaga manusia nantinya. Tentu tetap ada operator
quality assurance yang bertugas memastikan mesin dapat bermanfaat dengan
optimal. Kesimpulannya, pekerjaan yang membutuhkan tenaga-tenaga fisik
memang akan lebih banyak terganti dengan keberadaan AI, namun pekerjaan-
pekerjaan yang membutuhkan daya analisis tinggi tidak akan begitu saja
digantikan.Â
Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi generasi AI adalah bagaimana kita
menjaga kecerdasan buatan sebagai alat yang mendukung, bukan sebagai
pengganti kemampuan dasar manusia. Selain itu, kita juga perlu mengingat
bahwa AI hanyalah alat. Dalam penggunaannya juga harus didorong untuk
meningkatkan kualitas hidup dan bukan menggantikan esensi dari keberadaan
kita sebagai individu yang berpikir, berkreasi, dan berinteraksi satu sama lain.
Jika kita mampu menjaga keseimbangan ini, generasi AI bisa berkembang tanpa
mengorbankan kemandirian dan kreativitas kita. Namun hal ini kembali lagi
kepada diri kita sendiri, bagaimana cara kita menggunakan AI. Jangan sampai
AI yang memperalat manusia atau menguasai pikiran manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI