Mohon tunggu...
Regina DewiFortuna
Regina DewiFortuna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

bermensch di Era Media Sosial : Topeng atau Kenyataan?

6 Januari 2025   10:41 Diperbarui: 6 Januari 2025   10:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UBERMENSCH DI ERA MEDIA SOSIAL: TOPENG ATAU KENYATAAN?

Di era media sosial, kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai citra diri yang terlihat sempurna. Unggahan di Instagram, Tiktok, atau

Facebook kerap menampilkan sisi terbaik seseorang, seperti foto liburan, pencapaian karier, hingga gaya hidup mewah. Di balik

keindahan ini, muncul pertanyaan penting: Apakah semua ini merepresentasikan kenyataan atau hanya sekedar topeng yang

menyembunyikan realitas hidup yang sebenarnya?


Friedrich Nietzche, seorang filsuf Jerman yang memperkenalkan konsep Ubermensch atau “manusia unggul” (Pradnyayanti & Safira,

2021). Ubermensch adalah sosok yang melampaui nilai-nilai moral tradisional untuk menciptakan nilai baru (Sugiharto, 2019). Dalam

dunia maya, banyak individu menciptakan versi ideal diri yang tampak seperti “manusia unggul”. Namun, apakah ini mencerminkan

filosofi Nietzsche atau justru menjauh dari esensi autentisitas yang ia tawarkan?


Media Sosial: Panggung Pencitraan atau Autentisitas?

1.Penciptaan Pesona Ideal

Media sosial memberikan ruang bagi pengguna untuk menyusun versi ideal dari diri mereka. Menurut Kadri & Fachruddin (2024), filter

foto, edit video, dan pilihan konten yang diposting adalah alat utama untuk membangun citra diri yang sering kali jauh dari kenyataan.

2.Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat

Nietzsche mengkritik moral “rata-rata” dalam masyarakat yang cenderung menekan individu. Di media sosial, perbandingan diri

dengan orang lain menjadi salah satu sumber kecemasan. Bukannya menjadi unggul, pengguna malah terjebak dalam siklus

perbandingan yang merugikan kesehatan mental.

3.Validasi dari Pengakuan Publik

Like, komentar, dan jumlah followers menjadi mata uang sosial. Nilai seseorang sering kali diukur berdasarkan pengakuan ini yang

sebenarnya bisa menjauhkan mereka dari tujuan autentik menjadi “Ubermensch”.


Ubermensch di Dunia Digital

Nietzsche menggambarkan Ubermensch sebagai manusia yang menciptakan nilai-nilai sendiri. Di era digital:

1)Keinginan untuk Melampaui

Banyak influencer dan content creator menggunakan platform ini untuk menjadi “manusia unggul” versi digital yang menciptakan

pengaruh besar di masyarakat. Namun, apakah pengaruh ini benar-benar didasari kreativitas atau hanya tren sementara?

2)Identitas sebagai Konstruksi

Di media sosial, identitas dapat dengan mudah diubah. Nietzsche menganggap ini sebagai peluang untuk melampaui batas-batas

tradisional. Namun, ada risiko ketika identitas ini hanya menjadi topeng tanpa dasar yang autentik.


Topeng atau Kenyataan?

Konsep Ubermensch dalam dunia nyata adalah tentang keberanian menghadapi kenyataan hidup, melampaui ketakutan, dan

menciptakan makna baru. Sebaliknya, di media sosial:

1.Citra yang Tidak Sesuai Realitas

Sering kali, kehidupan nyata jauh berbeda dengan apa yang ditampilkan secara online. Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan

dalam hubungan sosial dan emosional.

2.Tekanan untuk Tampil Sempurna

Banyak individu merasa tertekan untuk selalu menampilkan yang terbaik. Ironisnya, tekanan ini justru menjauhkan mereka dari

pencapaian autentik.

3.Dampak pada Kehidupan Nyata

Perbandingan yang tidak sehat, hubungan yang dangkal, dan obsesi terhadap validasi online dapat memengaruhi cara orang menjalani

hidup nyata mereka.


Nietzsche berusaha menginspirasi manusia untuk menjadi lebih dari sekedar individu biasa. Namun, fenomena media sosial sering kali

menjauhkan orang dari tujuan ini karena tekanan untuk menjadi sempurna hanya berfungsi sebagai topeng. Di era digital, penting

untuk merenungkan bagaimana kita menggunakan media sosial. Apakah kita benar-benar berusaha menjadi individu yang lebih baik

atau sekedar mengejar pengakuan? Mungkin perjalanan menjadi Ubermensch di era modern adalah tentang berani menjadi autentik

meski tanpa filter atau likes.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun