UBERMENSCH DI ERA MEDIA SOSIAL: TOPENG ATAU KENYATAAN?
Di era media sosial, kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai citra diri yang terlihat sempurna. Unggahan di Instagram, Tiktok, atau
Facebook kerap menampilkan sisi terbaik seseorang, seperti foto liburan, pencapaian karier, hingga gaya hidup mewah. Di balik
keindahan ini, muncul pertanyaan penting: Apakah semua ini merepresentasikan kenyataan atau hanya sekedar topeng yang
menyembunyikan realitas hidup yang sebenarnya?
Friedrich Nietzche, seorang filsuf Jerman yang memperkenalkan konsep Ubermensch atau “manusia unggul” (Pradnyayanti & Safira,
2021). Ubermensch adalah sosok yang melampaui nilai-nilai moral tradisional untuk menciptakan nilai baru (Sugiharto, 2019). Dalam
dunia maya, banyak individu menciptakan versi ideal diri yang tampak seperti “manusia unggul”. Namun, apakah ini mencerminkan
filosofi Nietzsche atau justru menjauh dari esensi autentisitas yang ia tawarkan?
Media Sosial: Panggung Pencitraan atau Autentisitas?
1.Penciptaan Pesona Ideal
Media sosial memberikan ruang bagi pengguna untuk menyusun versi ideal dari diri mereka. Menurut Kadri & Fachruddin (2024), filter
foto, edit video, dan pilihan konten yang diposting adalah alat utama untuk membangun citra diri yang sering kali jauh dari kenyataan.
2.Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat
Nietzsche mengkritik moral “rata-rata” dalam masyarakat yang cenderung menekan individu. Di media sosial, perbandingan diri
dengan orang lain menjadi salah satu sumber kecemasan. Bukannya menjadi unggul, pengguna malah terjebak dalam siklus
perbandingan yang merugikan kesehatan mental.
3.Validasi dari Pengakuan Publik
Like, komentar, dan jumlah followers menjadi mata uang sosial. Nilai seseorang sering kali diukur berdasarkan pengakuan ini yang
sebenarnya bisa menjauhkan mereka dari tujuan autentik menjadi “Ubermensch”.
Ubermensch di Dunia Digital
Nietzsche menggambarkan Ubermensch sebagai manusia yang menciptakan nilai-nilai sendiri. Di era digital:
1)Keinginan untuk Melampaui
Banyak influencer dan content creator menggunakan platform ini untuk menjadi “manusia unggul” versi digital yang menciptakan
pengaruh besar di masyarakat. Namun, apakah pengaruh ini benar-benar didasari kreativitas atau hanya tren sementara?
2)Identitas sebagai Konstruksi
Di media sosial, identitas dapat dengan mudah diubah. Nietzsche menganggap ini sebagai peluang untuk melampaui batas-batas
tradisional. Namun, ada risiko ketika identitas ini hanya menjadi topeng tanpa dasar yang autentik.
Topeng atau Kenyataan?
Konsep Ubermensch dalam dunia nyata adalah tentang keberanian menghadapi kenyataan hidup, melampaui ketakutan, dan
menciptakan makna baru. Sebaliknya, di media sosial:
1.Citra yang Tidak Sesuai Realitas
Sering kali, kehidupan nyata jauh berbeda dengan apa yang ditampilkan secara online. Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan
dalam hubungan sosial dan emosional.
2.Tekanan untuk Tampil Sempurna
Banyak individu merasa tertekan untuk selalu menampilkan yang terbaik. Ironisnya, tekanan ini justru menjauhkan mereka dari
pencapaian autentik.
3.Dampak pada Kehidupan Nyata
Perbandingan yang tidak sehat, hubungan yang dangkal, dan obsesi terhadap validasi online dapat memengaruhi cara orang menjalani
hidup nyata mereka.
Nietzsche berusaha menginspirasi manusia untuk menjadi lebih dari sekedar individu biasa. Namun, fenomena media sosial sering kali
menjauhkan orang dari tujuan ini karena tekanan untuk menjadi sempurna hanya berfungsi sebagai topeng. Di era digital, penting
untuk merenungkan bagaimana kita menggunakan media sosial. Apakah kita benar-benar berusaha menjadi individu yang lebih baik
atau sekedar mengejar pengakuan? Mungkin perjalanan menjadi Ubermensch di era modern adalah tentang berani menjadi autentik
meski tanpa filter atau likes.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI