Pujianmu seperti buritan yang mendorong perahu ke lautan
Tetapi amarahmu bagai badai yang menghantamnya.
Kecupanmu adalah sepoi yang membelai
Tetapi sorot mata tajammu adalah sengatan panas matahari.
Bersamamu bagai berada di dalam bahtera Nuh.
Aku merasa diselamatkan tetapi tak pasti harus berlabuh di mana.
Katamu "Jadilah anak yang baik".
Tetapi kau sering menjadi orang tua yang jahat.
Katamu "Jadilah anak yang jujur".
Tetapi kau membohongiku setiap saat.
Katamu, katamu, katamu.
Tetapi yang kurasakan tak seperti katamu.
Atau terlalu berat bebanmu mengurusku.
Karena  sering kulihat kau lesu, duduk di kamar meringkuk.
Sering pula kulihat kau menggerutu tanpa hentiÂ
sembari sesekali kau pecahkan gelas-gelas kaca yang baru saja dibeli.
Begitu rumitkah hidup?
Tetapi aku juga selalu merasa kehangatan cintamu
 saat rembulan bercahaya di wajahmu.Â
Kau memelukku dengan kecupan bertubi-tubi
 sambil berbisik "Kau yang paling berharga dalam hidupku".
Atambua, 20 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H