Aceh pun juga dengan hangat menyambut kedatangan etnis Rohingya karena Aceh juga merupakan wilayah yang mayoritasnya beragama muslim. Bahkan pemerintah Indonesia turut melakukan antisipasi untuk para pengungsi mengingat hal tersebut sejalan dengan ideologi bangsa kita.
Penolakan perlahan masyarakat Indonesia terhadap para pengungsi
Akan tetapi akhir-akhir ini Aceh melakukan demo terhadap Pemerintah terkait pengungsi Rohingya. Hal ini didasari atas banyak hal. Faktor yang mendasari adalah faktor dari internal dan faktor dari eksternal. Faktor eksternal adalah Indonesia belum menandatangani konvensi PBB terkait pengungsi yang menyebabkan mereka hanya bisa membuat kebijakan sementara (Perpres 2016) guna tetap memberikan bantuan terhadap para pengungsi. Pemerintah pun menerima tekanan dari luar untuk tetap menjadi negara transit bagi para pengungsi.Â
Tekanan tersebut pula terjadi karena tidak ada lagi negara yang mau menampung etnis tersebut karena berbagai alasan. Selain alasan diatas, pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu alasan penolakan sempat terjadi karena pembatasan-pembatasan kunjungan atau perjalanan antar negara sempat dibatasi guna pengendalian kenaikan kasus Covid-19.
Faktor internal adalah para pengungsi lepas kendali dan selalu ingin kabur. Selain itu ada yang sempat melakukan tindak kriminalitas dan warga Aceh menganggap ini tak sesuai dengan asas serta moral yang berkembang di wilayah mereka. Warga kemudian marah dan mau pemerintah dengan tegas menindaklanjuti dan menangani hal ini, serta berharap etnis Rohinya bisa di deportasi ke wilayah asalnya atau wilayah lainnya. Warga juga menilai para pengungsi sudah terlalu lama mendiami wilayah mereka padahal Indonesia hanya negara transit dan pasti selalu akan berdatangan, berujung tindak kriminalitas yang tak bisa dihakimi warga setempat mengingat status etnis Rohingya adalah pengungsi bukan warga tetap.
Selain itu dilansir dari Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, ada 5 permasalahan yang dialami negara menghadapi permasalahan pengungsi. Kelima permasalahan tersebut antara lain, status dan data pengungsi, penempatan ke negara penerima pengungsi, masalah sosial, anggaran dan koordinasi antar instansi (Akbar & Dwijayanti, 2022). Karena itu, penyelesaian permasalahan yang kini dialami oleh masyarakat Aceh rupanya masih jauh dari harapan untuk terselesaikan oleh sebab berbagai alasan.
Alasan konflik dan kasus ini harus menjadi perhatian Global
Beranjak dari pembahasan mengenai penolakan, hal ini harusnya menjadi evaluasi bersama mengingat ketidaknyamanan warga setempat berarti sudah menggangu kedaulatan wilayah tersebut. Apalagi imigran ini sudah melewati batas negara untuk mengungsi dan seharusnya perhatian global turut tertuju kepada permasalah ini. Selain kedaulatan dan keamanan masyarakat terganggu, permasalahan imigran serta pengungsi juga menganggu kepentingan nasional mengenai tanggung jawab negara terhadap pengunjung asing. Bila kemudian suatu negara mendapati masalah kemanusiaan yang terjadi kepada para pengungsi tetapi masih belum ada kebijakan, pastinya akan bingung bagaimana mengurusnya terutama pengungsi yang tak di data dan tak punya kewarganegaraa asli. Sehingga penanganan dan anggaran yang harusnya cukup menjadi kurang untuk menangani permasalahan tersebut.
Disisi lain, terjadi pelanggaran HAM dan kejahatan manusia serius yang tidak ditangani oleh negara asal, bahkan susah untuk ditangani negara tujuan. Di Myanmar pelanggaran HAM terjadi secara terbuka dan jelas, baik dari warga hingga ke pemerintah. Diskriminasi dan penindasan hingga percobaan genosida dilakukan oleh berbagai oknum terhadap etnis Rohingya, sehingga atas dasar hal tersebut seharusnya kita menjadi lebih empati terhadap permasalahan yang terjadi. Terutama di Indonesia yang secara gamblang tertera di pembukaan Undang Undang Dasar 1945 mengenai penjajahan yang harus dihapuskan serta perdamaian dunia yang harus ditegakkan.
Kontribusi kemudian hari oleh ASEAN sebagai Organisasi Internasional yang ada di Asia Tenggara atas kasus ini
Penanganan yang kini dilakukan ASEAN adalah mengawal dialog dengan kemiliteran yang mengudeta Myanmar beberapa saat yang lalu. Tetapi tetap karena prinsip dasar terbentuknya ASEAN adalah non-interference mengakibatkan keikutsertaan dalam penyelesaian kasus internal Myanmar terhambat. Diharapkan kedepannya ASEAN bisa dengan maksimal membantu penyelesaian permasalahan karena jika tidak diselesaikan atau ditemukan pemecahan masalahnya, Myanmar bisa menjadi negara yang berbahaya untuk para etnis minoritas.