Mohon tunggu...
Rebecca Viviani
Rebecca Viviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Hobi dibidang seni tapi mendalami keilmuan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Myanmar: Permasalahan Internal Bisa Menjadi Kasus Global

13 Desember 2022   11:44 Diperbarui: 13 Desember 2022   16:06 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rebecca Viviani - Mahasiswa semester 3 Hubungan Internasional, Fakultas Ekonomi dan Sosial, Universitas AMIKOM Yogyakarta

Myanmar adalah negara yang ada di kawasan Asia Tenggara. Myanmar juga merupakan salah satu anggota ASEAN yang bergabung pada tahun 1997.

Sistem pemerintahan yang dianut Myanmar adalah Presidensial sehingga Presiden adalah pemegang kekuasaan mutlak dan terkuat. Sebabnya kursi kekuasaan saat pemilihan umum diperebutkan, salah satunya adalah pihak Militer. Kemenangan Suu Kyi saat pemilihan umum rupanya mengundang kemarahan pihak opisisi karena Suu Kyi dianggap memenangkan pemilihan dengan cara yang curang. Sehingga kudeta pun dilakukan oleh pihak Militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing. Masyarakat lantas melakukan demonstrasi terhadap kudeta tersebut karena Min Aung Hlaing adalah pemimpin yang otoriter.

Tak hanya permasalahan kudeta, sejak beberapa tahun terakhir pecahnya konflik etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang notabene nya merupakan mayoritas di Myanmar menjadi sorotan karena penindasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh etnis Rakhine. Hal ini semakin diperparah dengan Pemerintahan Myanmar yang selalu melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya. Bahkan sampai ke tahap tidak menganggap etnis Rohingya sebagai salah satu bagian dari warga negara Myanmar, sehingga etnis Rohingya mengalami berbagai kesulitan dalam hal mencari pekerjaan, mendapatkan bantuan serta fasilitas kesehatan yang tak pernah didapatkan oleh mereka.

Konflik di Myanmar


Lebih dalam mengenai kasus yang terjadi di Myanmar. Semenjak 2015 etnis Rohingya sudah pernah berkonflik dengan ssalah satu etnis mayoritas yang berada disitu, yaitu etnis Rakhine. Penyebab awwal diduga karena penyebaran hasil forensik yang mengatakan bahwa salah satu orang dari etnis Rakhine dibunuh oleh orang-orang dari etnis Rohingya. Hal ini langsung saja membakar amarah para etnis Rakhine dan membuat mereka melakukan pembunuhan, pembakaran pemukiman bahkan hingga mengusir etnis tersebut dari tempat mereka berada. 

Seharusnya, pemerintah bisa dengan tegas menangani hal tersebut, akan tetapi sebaliknya mereka malah turut melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya juga tidak menganggap etnis Rohingya sebagai bagian dari Myanmar melainkan pengungsi illegal dari negara tetangga mereka yaitu Bangladesh. 

Semakin bertambah diskriminasi tersebut, Pemerintah bahkan mengeluarkan kebijakan mengenai kewarganegaraan akan tetapi etnis Rohingya tak termasuk dalam 3 golongan warga negara. Sehingga didapati bahwa etnis Rohingya sulit mendapatkan pekerjaan, rumah yang layak, fasilitas kesehatan, penunjang pendidikan dan masih banyak lagi. Semakin ditambah pula dengan kudeta militer yang terjadi, etnis Rohingya semakin di kucilkan bahkan direncanakan untuk dimusnahkan.

Larinya masyarakat Myanmar, khususnya etnis Rohingya ke negara Indonesia

Terdesak dengan keadaan yang ada, akhirnya etnis Rohingya memutuskan melakukan perjalanan untuk kabur dari negara mereka sendiri. Entah terombang-ambing dilautan selama ratusan hari atau melakukan pengungsian ke negara tetangga, mereka melakukan segala cara untuk menghindari ketidakadilan yang mereka rasakan.

Salah satu negara tujuan pengungsi Rohingya adalah Indonesia. Disebutkan untuk pertama kalinya, nelayan Indonesia meminta izin untuk memasukan mereka ke Aceh karena sudah terombang-ambing di latuan kurang lebih selama 120 hari. Hal ini lantas membuat para pengungsi kemudian berdatangan ke Indonesia karena hanya Indonesia yang mau menerima mereka. 

Aceh pun juga dengan hangat menyambut kedatangan etnis Rohingya karena Aceh juga merupakan wilayah yang mayoritasnya beragama muslim. Bahkan pemerintah Indonesia turut melakukan antisipasi untuk para pengungsi mengingat hal tersebut sejalan dengan ideologi bangsa kita.

Penolakan perlahan masyarakat Indonesia terhadap para pengungsi

Akan tetapi akhir-akhir ini Aceh melakukan demo terhadap Pemerintah terkait pengungsi Rohingya. Hal ini didasari atas banyak hal. Faktor yang mendasari adalah faktor dari internal dan faktor dari eksternal. Faktor eksternal adalah Indonesia belum menandatangani konvensi PBB terkait pengungsi yang menyebabkan mereka hanya bisa membuat kebijakan sementara (Perpres 2016) guna tetap memberikan bantuan terhadap para pengungsi. Pemerintah pun menerima tekanan dari luar untuk tetap menjadi negara transit bagi para pengungsi. 

Tekanan tersebut pula terjadi karena tidak ada lagi negara yang mau menampung etnis tersebut karena berbagai alasan. Selain alasan diatas, pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu alasan penolakan sempat terjadi karena pembatasan-pembatasan kunjungan atau perjalanan antar negara sempat dibatasi guna pengendalian kenaikan kasus Covid-19.

Faktor internal adalah para pengungsi lepas kendali dan selalu ingin kabur. Selain itu ada yang sempat melakukan tindak kriminalitas dan warga Aceh menganggap ini tak sesuai dengan asas serta moral yang berkembang di wilayah mereka. Warga kemudian marah dan mau pemerintah dengan tegas menindaklanjuti dan menangani hal ini, serta berharap etnis Rohinya bisa di deportasi ke wilayah asalnya atau wilayah lainnya. Warga juga menilai para pengungsi sudah terlalu lama mendiami wilayah mereka padahal Indonesia hanya negara transit dan pasti selalu akan berdatangan, berujung tindak kriminalitas yang tak bisa dihakimi warga setempat mengingat status etnis Rohingya adalah pengungsi bukan warga tetap.

Selain itu dilansir dari Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, ada 5 permasalahan yang dialami negara menghadapi permasalahan pengungsi. Kelima permasalahan tersebut antara lain, status dan data pengungsi, penempatan ke negara penerima pengungsi, masalah sosial, anggaran dan koordinasi antar instansi (Akbar & Dwijayanti, 2022). Karena itu, penyelesaian permasalahan yang kini dialami oleh masyarakat Aceh rupanya masih jauh dari harapan untuk terselesaikan oleh sebab berbagai alasan.

Alasan konflik dan kasus ini harus menjadi perhatian Global

Beranjak dari pembahasan mengenai penolakan, hal ini harusnya menjadi evaluasi bersama mengingat ketidaknyamanan warga setempat berarti sudah menggangu kedaulatan wilayah tersebut. Apalagi imigran ini sudah melewati batas negara untuk mengungsi dan seharusnya perhatian global turut tertuju kepada permasalah ini. Selain kedaulatan dan keamanan masyarakat terganggu, permasalahan imigran serta pengungsi juga menganggu kepentingan nasional mengenai tanggung jawab negara terhadap pengunjung asing. Bila kemudian suatu negara mendapati masalah kemanusiaan yang terjadi kepada para pengungsi tetapi masih belum ada kebijakan, pastinya akan bingung bagaimana mengurusnya terutama pengungsi yang tak di data dan tak punya kewarganegaraa asli. Sehingga penanganan dan anggaran yang harusnya cukup menjadi kurang untuk menangani permasalahan tersebut.

Disisi lain, terjadi pelanggaran HAM dan kejahatan manusia serius yang tidak ditangani oleh negara asal, bahkan susah untuk ditangani negara tujuan. Di Myanmar pelanggaran HAM terjadi secara terbuka dan jelas, baik dari warga hingga ke pemerintah. Diskriminasi dan penindasan hingga percobaan genosida dilakukan oleh berbagai oknum terhadap etnis Rohingya, sehingga atas dasar hal tersebut seharusnya kita menjadi lebih empati terhadap permasalahan yang terjadi. Terutama di Indonesia yang secara gamblang tertera di pembukaan Undang Undang Dasar 1945 mengenai penjajahan yang harus dihapuskan serta perdamaian dunia yang harus ditegakkan.

Kontribusi kemudian hari oleh ASEAN sebagai Organisasi Internasional yang ada di Asia Tenggara atas kasus ini

Penanganan yang kini dilakukan ASEAN adalah mengawal dialog dengan kemiliteran yang mengudeta Myanmar beberapa saat yang lalu. Tetapi tetap karena prinsip dasar terbentuknya ASEAN adalah non-interference mengakibatkan keikutsertaan dalam penyelesaian kasus internal Myanmar terhambat. Diharapkan kedepannya ASEAN bisa dengan maksimal membantu penyelesaian permasalahan karena jika tidak diselesaikan atau ditemukan pemecahan masalahnya, Myanmar bisa menjadi negara yang berbahaya untuk para etnis minoritas.

Indonesia setelah dilantik menjadi presidensi ASEAN tahun 2023 dan memimpin KTT ke 41 diharapkan mampu menyuarakan dan memberi solusi yang terbaik bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk penanganan permasalahan yang terjadi. Apalagi selama beberapa tahun terakhir Indonesia dengan gencar selalu menyuarakan soal konflik yang terjadi di Myanmar, nantinya kita bisa melihat bagaimana Indonesia bisa menangani hal ini kedepannya.

Permasalahan yang ada di Myanmar sudah terlalu lama dibiarkan berlarut-larut, meskipun sudah mendapat banyak kecaman dari dunia internasional, Myanmar tak juga bergeming. Meskipun begitu, akhir-akhir ini Myanmar membuka komunikasi terhadap ASEAN dan berharap kedepannya keadaan di Myanmar semakin membaik, tak hanya mengandalkan kecaman dari negara diluar Asia Tenggara saja. Hal ini juga dilakukan karena terlalu banyak pelanggaran dan ketidakadilan terjadi dan untuk mencapai perdamaian perlu adanya diplomasi, strategi serta komunikasi yang baik yang terjalin antar negara-negara terutama negara kawasan Asia Tenggara untuk bersama-sama menciptakan kawasan yang berintegritas. 

Refrensi

SETKAB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun