Alam dan manusia telah terbentuk dan tercipta secara bersama-sama untuk hidup beriringan. Adanya alam yang hadir sedari awal dalam hidup manusia dapat memenuhi semua kebutuhannya. Tanpa meminta balasan, meskipun terkadang kurangnya sikap balas budi pada alam. Namun, keterkaitan alam dengan manusia tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Melainkan dapat menjadi cermin jiwa manusia melalui sebuah karya yang dibalut dengan perasaan, ketegangan, keindahan, hingga merefleksikan seluruh keadaan. Dalam beberapa hal, alam sering pula dijadikan sebagai satuan simbol atau tanda untuk merefleksikan atau menjadi relasi memahami hubungan manusia itu sendiri. Alam yang dijadikan simbol erat kaitannya dengan kajian ilmu semiotika. Menurut Charles Sanders Peirce, sebuah tanda merupakan konsep yang digunakan sebagai alat atau objek untuk analisis, di mana pada tanda tersebut terkandung berbagai makna yang muncul sebagai hasil interpretasi pesan yang disampaikan melalui tanda tersebut. Pendapat tersebut dijadikan dasar atau landasan teori Semiotika dengan lebih dikenal teori Peirce.
Peirce mengkategorikan analisis semiotika dalam tiga elemen utama, yaitu Representamen, Object, dan Interpretant. Representamen adalah tanda yang digunakan untuk mewakili sesuatu, seperti kata "abu" dalam puisi. Object merujuk pada apa yang diwakili oleh tanda tersebut, misalnya Abu sebagai fenomena atau keadaan kehilangan atau kehancuran. Interpretant adalah makna yang dihasilkan atau diinterpretasikan oleh pembaca berdasarkan tanda dan objek tersebut, seperti perasaan kehilangan atau kefanaan yang dirasakan pembaca. Dari ketiga kategori ini, Peirce lebih lanjut membagi Representamen menjadi tiga kategori, yaitu Qualisign (tanda yang hanya memiliki kualitas), Sinsign (tanda yang merujuk pada kejadian atau fenomena tertentu), dan Legisign (tanda yang diatur oleh konvensi atau norma).
Tanda-tanda tersebut menjadikan alasan bagaimana puisi sastra dapat dikaji melalui semiotika untuk dapat lebih jauh memahami. Tidak hanya memahami dari kata atau kalimat yang secara langsung diungkapkan maupun dituliskan, melainkan dapat melalui sebuah tanda atau simbol kata yang mungkin tidak semua orang dapat pahami. Dalam kesempatan kali ini, setelah melakukan projek bersama dua rekan saya dengan mengalihwahanakan puisi ke dalam sebuah podcast dan juga menguliti arti atau makna sebuah puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono yang ditulis pada tahun 1989 sukses dikenal luas berbagai kalangan  masyarakat. Puisi "Aku Ingin" ini pula sudah banyak yang melakukan apresiasi, dibacakan, dimusikalisasikan, hingga dijadikan film pendek.
Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa Sapardi menulis puisi ini hanya dengan sekali duduk dan hanya menghabiskan waktu beberapa menit saja. Puisi ini pun ditulisnya untuk istrinya, dengan adanya "suara" mengenai dibalik penulisan puisi "Aku ingin" semakin memperkuat bagaimana puisi yang "sederhana" mampu membuat pembaca merasakan makna yang mendalam, tidak semata-mata sederhana.
Tak dapat dipungkiri juga bila ada yang merasa aneh atau janggal saat membaca puisi yang menggunakan simbol atau kiasan. Â Tidak bisa disalahkan pula, bila ada seseorang yang mengungkapkan makna puisi tersebut berbeda-beda. Dalam pembelajaran pun seringkali diterangkan tidak perlu takut salah atau berbeda, karena tidak ada yang salah atau benar mengenai pendapat. Hal ini berkaitan dengan pengalaman seseorang tersebut, konteks, dan pengekspresian sudut pandang tiap individu. Maka, pada kesempatan ini akan dibahasnya Simbolisme Alam dan Relasi Manusia dalam Puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono dengan kajian atau pendekatan Semiotika menggunakan teori Pierce.
Syair Puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono:
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono, 1989.
Setelah membaca syair puisi tersebut, tidak heran bila puisi "Aku Ingin" menjadi ikonik dan disukai semua kalangan. Meskipun kata yang terdapat pada setiap kalimatnya/lariknya pendek, namun diksi yang dikemukakannya sangat indah. Tidak pernah terbayangkan bagaimana "mencintaimu dengan sederhana" juga dikaitkan dengan fenomena alam "Diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu" atau pun "Disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada". Hal tersebut yang menjadi poin utama pembahasan ini. Bagaimana "alam" dapat menyatu dan berhubungan secara beriringan atau berdampingan dengan kehidupan manusia. Seperti yang sudah dibahas di awal, bahwa ada Representamen yang terbagi tiga kategori kembali (Qualisign, Sinsign, dan Legisign)
Sebelum masuk pada pembahasan "alam" mestinya, kita membahas dari judulnya terlebih dahulu. Judul "Aku Ingin" terasa seperti Aku lirik ingin mengungkapkan perasaannya, keinginannya, dan hasratnya. Dari judul saja sudah dapat terasa bahwa puisi ini dikemas dan dibalut dengan diksi yang sederhana dan mudah dimengerti. Namun, apakah isi yang disajikan pun sesederhana judul "Aku Ingin" atau malah isi yang dikembangkan tidak sesederhana judul yang hanya memiliki 2 kata? proses pembuatannya hanya beberapa menit? proses pembuatannya dengan sekali duduk?
"Aku ingin mencintaimu"
Larik awal sukses menyapa pembaca dengan hangat dan menjadikan penekanan setelah judul yang terasa terlalu "sederhana" dan cukup membuat pembaca merasa perlu membaca lebih dan menganalisis. Ungkapan aku lirik dalam larik tersebut bukan hanya ungkapan emosional. Namun, terasa tulus dan sebuah keinginan yang memang terdapat pada hati yang terdalam atau murni dengan kesadaran. Penekanan atau tambahan diksi "Mencintaimu" terasa sebagai dorongan yang "aktif" pada diri aku larik.
"Dengan sederhana"
Seperti pembahasan sebelumnya mengenai cinta yang tulus dan murni, larik ini kembali menekankan cinta yang "sederhana" tidak ada paksaan dan hanya ada keikhlasan apa adanya.
"Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api"
Pada larik ini sudah muncul adanya keterkaitan alam yang ikut andil dalam kalimatnya. Namun, kayu dan api tidak hanya sebuah benda yang berhubungan dengan alam saja, melainkan ada hal lain yang jika ditelaah lagi menghasilkan pemahaman baru. Simbolisme Kayu dan Api menjadi fokus utama pada larik puisi ini, mari telaah menggunakan teori Pierce.
Kayu: n pohon yang batangnya keras (KBBI)
Api:n panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar; nyala:
n kebakaran (KBBI)
Tanda
Kayu: Menurut KBBI kayu adalah benda keras yang berasal dari pohon, pohon dan kayu seringkali disimbolkan dengan kehidupan.
Api: Panas yang dapat menyebabkan terbakar/kebakaran, dapat disimpulkan menjadi simbol sesuatu yang dapat membakar (membuat sesuatu kehilangan).
Objek
Kayu: Sebagai kehidupan manusia
Api: Hal yang ingin disampaikan
Interpretant
Pembaca dapat merasakan kehilangan, kesedihan, hingga ketidakberdayaan untuk dapat mengungkapkan cintanya meskipun selalu dielukan "kesederhanaan".
Simbol
Kayu dan api, keduanya dapat menjadi simbol karena bukan hanya sebagai objek fisik yang nyata. Namun, mengandung arti atau makna dan pemahaman lain yang berkaitan lebih kompleks.
Indeks
Kayu dan api dapat dilihat sebagai indeks karena ada hubungan dan tidak terpisahkan antara keduanya, yang mana api akan membakar kayu. Tanda ini tidak hanya menggambarkan kehidupan dan kehancuran dalam pengertian simbolis, tetapi juga menciptakan hubungan sebab-akibat. Kayu yang ingin berbicara kepada api, tetapi tidak sempat, menunjukkan kegagalan untuk menghindari kehancuran (terbakarnya) yang sudah pasti akan terjadi.
"Yang menjadikannya abu.."
Pada larik ini pun muncul adanya keterkaitan alam yang ikut andil dalam kalimatnya. Namun, "Abu" bukan benda yang berhubungan dengan faktor alam saja, melainkan ada hal lain yang jika ditelaah lagi menghasilkan pemahaman baru. Simbolisme "Abu" menjadi fokus utama pada larik puisi ini, mari telaah menggunakan teori Pierce.
Tanda
Abu: n sisa yang tinggal setelah suatu barang mengalami pembakaran (KBBI) yang dijadikan sebagai tanda kehilangan akibat kayu dan api sebelumnya sebagai akhir dari fenomena tersebut.
Objek
Abu: Sebagai suatu hasil pembakaran yang menjadikannya objek yang sudah tak berbentuk dan dapat dikaitkan dengan perasaan, hubungan, atau pun kehidupan.
Interpretant
Pembaca semakin dibuat merasakan kehilangan, kesedihan, hingga ketidakberdayaan karena telah menjadi suatu "abu" yang habis oleh pembakaran kayu (masa).
Ikon: proses akhir pembakaran kayu dan api
Simbol: Proses kehilangan
Index: proses pembakaran
"Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada"
Selaras dengan diksi dan larik sebelumnya, dalam larik ini pun terdapat hubungan alam dengan kesastraan dalam puisi.
Tanda
Jika digabungkan isyarat awan dan hujan sebagai tanda emosional yang tak dapat lepas dari kehidupan sehari-hari. Didukung oleh diksi selanjutnya mengenai isyarat yang tak sempat tersampaikan menjadikannya tanda.
Objek
Keinginan untuk menyampaikan isyarat yang seharusnya dapat tersampaikan.
Interpretant
Interpretant yang terjadi menjadi penyokong larik-larik sebelumnya yang sejalan dengan kesedihan, penyesalan, dan kegagalan atas hal yang ingin disampaikan.
Ikon: Awal fenomena saling terikat
Index: Awan dan hujan bisa dilihat sebagai indeks karena ada hubungan sebab-akibat yang nyata antara keduanya. Awan biasanya menjadi pertanda hujan akan turun, tetapi dalam kalimat ini, hubungan tersebut gagal terwujud, sehingga hujan tidak terjadi.
Simbol: harapan, perasaan, hingga ketidakberdayaan yang hilang atau tiada.
Kesimpulan dari analisis simbolisme alam dan relasi manusia dalam puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono yang ditulisnya pada tahun 1989 ialah, puisi ini memanfaatkan elemen-elemen alam sebagai simbol untuk menggambarkan hubungan manusia yang mengangkat tema cinta dan kehilangan. Melalui pendekatan semiotika Peirce, puisi ini mengungkapkan makna mendalam di balik kesederhanaan diksi yang digunakan.
Setiap elemen alam dalam puisi, seperti kayu, api, abu, awan, dan hujan, memiliki peran sebagai tanda, objek, dan interpretant yang merefleksikan perasaan cinta, ketulusan, kehilangan, serta kegagalan menyampaikan sesuatu yang berharga. Contohnya, kayu melambangkan kehidupan, sementara api melambangkan sesuatu yang menghancurkan, menciptakan hubungan sebab-akibat yang berakhir pada abu sebagai simbol kehilangan. Demikian pula, awan dan hujan menggambarkan harapan yang tak tercapai. Semua elemen alam ini seakan saling berkaitan yang akhirnya dapat membuat simpulan atau akhir yang menentukan hal yang terjadi.
Puisi ini menunjukkan bagaimana alam dapat menjadi cerminan jiwa manusia dan relasi emosional yang universal. Simbolisme tersebut memperkuat kedalaman pesan meskipun disampaikan dengan gaya yang sederhana dan penuh keindahan. Jadi, meskipun hanya terdapat 2 bait dan dikemas dengan diksi sederhana, dapat membuat pembaca dan penikmat sastra turut serta merasakan dan memahami hal tersebut lebih kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H