Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kedaulatan Pangan Nasional Normal Baru

18 Juni 2020   08:06 Diperbarui: 18 Juni 2020   08:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh : 

Prof. Rokhmin Dahuri, Ph.D.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan -- IPB University

Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia

Dimuat pd Kolom Opini (Halaman 5) Koran Republika, Kamis, 18 Juni 2020

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki, karena sangat menentukan kesehatan dan kecerdasannya. You are what you eat. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif - a lost generation. Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera. Bahkan kelangkaan dan meroketnya harga pangan acap kali menimbulkan gejolak politik yang berujung pada pelengseran Kepala Negara seperti yang terjadi di Haiti, Pakistan, Argentina, dan Nigeria ketika mereka dilanda krisis pangan pada 2008. 

Peran krusial pangan bagi sebuah bangsa semakin nyata di tengah pendemi covid-19 ini.  Dimana negara-negara produsen pangan dunia (seperti AS, Kanada, dan Thailand) mengurangi ekspor pangannya, karena kendala logistik maupun demi mengamankan pemenuhan kebutuhan pangan nasionalnya. Pada awal April FAO merilis laporannya bahwa dunia terancam krisis pangan dan bencana kelaparan akibat wabah virus corona.  

Merespon peringatan FAO tersebut, dalam Rapat Kabinet Terbatas 13 April 2020 Presiden Jokowi menginstruksikan para menterinya untuk meningkatkan produksi pangan, sekaligus melepas ketergantungan pada pangan impor. Maka, sangat tepat, ketika Presiden RI pertama, Bung Karno berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Kampus IPB di Bogor pada 2 April 1952 melontarkan pernyataan prophetic, bahwa "pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa". Pernyataan itu kemudian terlegitimasi oleh hasil penelitian FAO (2000) yang mengungkapkan, bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang akan susah  maju dan sejahtera, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

Sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan lahan darat dan laut yang subur, mestinya Indonesia bukan hanya dapat membangun kedaulatan pangan nasionalnya, tetapi juga menjadi pengekspor baragam produk pangan ke seluruh dunia -- feeding the world.  Ironisnya, alih-alih berdaulat pangan, yang kita hadapi justru defisit pangan. 

Setiap tahun Indonesia mengimpor sedikitnya 0,5 juta ton beras, 2 juta ton gula, 1,5 juta ton kedelai, 1,3 juta ton jagung, 12 juta ton gandum, 700.000 ekor sapi, dan 1,5 juta ton garam industri.  Sebelum pandemi ini, sekitar 70 persen buah-buahan yang beredar di pasar-pasar seluruh Nusantara berasal dari impor.

Tak heran, bila indeks ketahanan pangan Indonesia hanya berada di peringkat-65 dari 113 negara yang disurvei, dan peringkat-4 di kawasan ASEAN setelah Singapura di peringkat-1 dunia, Malaysia ke-40, Thailand ke-54, dan Vietnam ke-62 (Global Food Security Index, 2018).  Status gizi anak-anak kita pun sangat mencemaskan, dimana sekitar 30 persen mengalami stunting, dan 33 persen menderita gizi buruk (Kemenkes, 2019). 

Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, mulai sekarang kita harus membenahi secara komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan tujuh sub-sistem dari Sistem Kedaulatan Pangan Nasional: (1) produksi, (2) industri pasca panen, (3) konsumsi, (4) perdagangan, (5) logistik, (6) SDM, dan (7) politik-ekonomi.

New Normal

Indonesia akan terhindar dari ancaman krisis pangan akibat pandemi covid-19 dengan mengutamakan kesejahteraan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya.  Kemudian, menjaga supaya seluruh unit usaha produksi pangan dan industri pengolahan pangan yang ada di seluruh Nusantara tetap berproduksi. 

Dengan aplikasi teknologi mutakhir (Industri 4.0) serta manajemen rantai pasok scara terpadu, kita tingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan sustainability nya. Kita galakkan gerakan nasional untuk berbudidaya tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, dan perikanan di pekarangan, lahan-lahan kosong, danau, dan sungai sesuai RTRW di setiap daerah. Kini saatnya kita genjot budidaya pertanian dan perikanan di perkotaan (urban farming and aquaculture).

Pemerintah mesti mendorong perusahaan swasta, BUMN, BUMD, Koperasi, UMKM, dan kaum milenials (startups) untuk tetap membeli, mengolah, dan memasarkan komoditas pangan dari petani dan nelayan. Selain pasar ekspor, sekarang adalah momentum emas untuk mengembangkan pasar pangan dalam negeri.

Sistem logistik pangan nasional harus dijaga agar tetap bisa beroperasi dengan lancar. Secara simultan, pemerintah harus menolong petani, nelayan, dan produsen pangan mikro-kecil lainnya yang terkena dampak covid-19 agar terus berproduksi, melalui pemberian sarana produksi, penghapusan utang, pinjaman kredit lunak, BLT, dan paket bansos lainnya. Pemerintah juga mesti meringankan beban pengusaha industri pangan (korporasi) melalui penurunan harga gas industri, restrukturisasi utang, dan paket stimulus lainnya. Pastikan bahwa seluruh aktivitas ekonomi pangan diatas harus mengikuti protokol kesehatan covid-19.

Pasca pandemi

Dalam jangka menengah - panjang, kita harus berinovasi maksimal supaya produksi pangan nasional melebihi kebutuhan nasional secara berkelanjutan. Di sisi produksi, kita mesti mempertahankan lahan pertanian dan perikanan yang ada, tidak dialihfungsikan untuk kawasan industri, pemukiman, dan penggunaan lahan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan tekonologi mutakhir dan manajamen agribisnis yang tepat, kita tingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability seluruh unit usaha produksi pangan yang ada saat ini. 

Secara simultan, kita kembangkan (ekstensifikasi) usaha produksi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, dan perikanan di luar Jawa dan lahan-lahan terlantar di P. Jawa, dengan spesies yang cocok dengan kondisi agroklimat setempat.  Selain itu, kita pun harus melakukan diversifikasi budidaya komoditas pangan yang baru melalui domestikasi dan pengembangan bibit dan benih unggul dengan teknologi pemuliaan (genetic engineering) dan nanoteknologi. 

Hal ini sangat mungkin, karena Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas darat dan laut tertinggi di dunia.  Kita revitalisasi seluruh infrastruktur pertanian yang ada, dan kita bangun yang baru sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah.  Industri hulu sarana produksi pangan (seperti hatchery, pupuk, pakan, obat-obatan, dan alsintan) juga harus kita revitalisasi dan kembangkan.

Supaya petani dan nelayan bisa hidup sejahtera, maka setiap unit usaha produksi pangan harus memenuhi skala ekonominya. Yakni besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, minimal 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan (Bank Dunia, 2010).  

Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 2 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 350 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).  Produsen harus menggunakan teknologi budidaya yang mutakhir dan ramah lingkungan, dan manajemen rantai pasok (hulu -- hilir) secara terpadu. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan seluruh sarana produksi pangan yang berkualitas tinggi dan harga relatif murah, dan menjamin pasar semua komoditas pangan yang dihasilkan oleh petani dan nelayan dengan harga yang menguntungkan mereka.

Di sisi konsumsi (pasar),  kita mesti melakukan diversiikasi konsumsi karbohidrat dari dominasi beras dan gandum ke sumber karbohidrat berbasis komoditas pangan lokal seperti sagu, sorgum, tales, sukun, ubi jalar, ganyong, kimpul dan suweg.  Program ini sangat strategis, karena selama ini rata-rata konsumsi beras perkapita bangsa Indonesia tertinggi di dunia, sekitar 130 kg per tahun.  

Padahal, rata-rata konsumsi beras perkapita dunia hanya 50 kg (FAO, 2018), dan konsumsi beras yang sehat perkapita maksimum 60 kg (Puslitbang Gizi, 1998). Bayangkan, andai kita mampu menekan konsumsi beras perkapita menjadi 60 kg per tahun, maka dengan 267 juta jiwa penduduk pada 2019, kebutuhan beras nasional hanya 16 juta ton. 

Dengan total produksi beras 49,8 juta ton pada 2019 (Kementan, 2019), mestinya Indonesia sudah surplus beras 33,8 juta ton pada 2019.  Dengan potensi lahan sagu mencapai 6 juta ha yang tersebar di beberapa provinsi dan produktivitas rata-rata 30 ton tepung sagu/ha/tahun (IPB, 2018), maka dapat diproduksi 180 juta tepung sagu/tahun. 

Kita juga harus mengurangi food wastage (sisa pangan) yang terbuang di restoran, perkantoran, rumah tangga, dan lainnya yang jumlahnya mencapai 25 persen dari total produksi pangan dunia (FAO, 2018).  Selain itu, kita tingkatkan konsumsi ikan perkapita, dari 50 kg saat ini menjadi 100 kg seperti bangsa Jepang dan Islandia. 

Selain akan lebih menyehatkan bangsa, peningkatkan konsumsi ikan dapat mengurangi impor daging sapi scara signifikan. Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia, sekitar 113,5 juta ton per tahun yang berasal dari perikanan budidaya sebesar 100 juta ton per tahun dan perikanan tangkap 13,5 juta ton per tahun.  Namun, hingga kini total produksi ikan nasional baru sekitar 14 juta ton (12%), yang menempatkan Indonesia sebagai produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah China.

Penanganan pasca panen dan industri pengolahan pangan  mesti terus kita perkuat dan kembangkan. Sebab, selain akan meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan multiplier effects yang luar biasa besar, produk pangan olahan itu lebih tahan lama, dan lebih mudah untuk disimpan, diangkut dan didistribusikan ke seluruh wilayah Nusantara maupun manca negara.  Keberadaan industri pengolahan pangan di dekat sentra produksi pangan juga dapat menjamin pasar komoditas pangan bagi petani dan nelayan.

Sistem logistik pangan nasional harus terus disempurnakan guna menjamin transportasi dan distribusi sarana produksi maupun hasil produksi pangan dapat berjalan dengan lancar, efisien, dan aman di seluruh wilayah NKRI.  Untuk komoditas pangan yang  saat ini total produksi nasionalnya lebih besar dari pada kebutuhannya (seperti beras, jagung, kakao, sayuran, ikan, dan garam konsumsi), tidak boleh lagi ada impor. 

Untuk komoditas pangan (seperti kedelai, gula, bawang putih, dan garam industri) yang saat ini total produksinya lebih kecil ketimbang kebutuhan nasionalnya. 

Tetapi, dengan ekstensifikasi lahan usaha dan teknologi mutakhir, suatu saat (katakanlah 2 tahun lagi) produksinya bisa ditingkatkan melebihi kebutuhan nasional, maka untuk sementara (2 tahun) boleh impor secara terkendali, dan realisasi impor nya jangan berbarengan dengan musim panen di tanah air. 

Untuk komoditas pangan yang secara agroklimat memang tidak bisa diproduksi di negara kita, atau dengan lahan yang tersedia dan aplikasi teknologi apapun, produksinya tidak bisa melampaui kebutuhan nasional, maka diizinkan impor secara terkendali dan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Contohnya adalah ikan salmon dan daging sapi. Ketiga skenario kebijakan impor pangan tersebut hanya bisa berhasil, jika mafia pangan ditumpas habis sampai ke akar-akarnya.

Kita harus terus meningkatkan kapasitas dan etos kerja petani dan nelayan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara berkesinambungan. Kapasitas R & D pun mesti terus ditingkatkan agar mampu menghasilkan beragam inovasi IPTEKS untuk menopang sektor ekonomi pangan yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan sustainable. Akhirnya, dengan kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, ketenagakerjaan, otonomi daerah, dan iklim investasi) yang kondusif, insya Allah Indonesia tidak hanya akan berdaulat pangan dalam waktu dekat, tetapi juga bakal mampu 'feeding the world'. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun