Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kedaulatan Pangan Nasional Normal Baru

18 Juni 2020   08:06 Diperbarui: 18 Juni 2020   08:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 2 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 350 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).  Produsen harus menggunakan teknologi budidaya yang mutakhir dan ramah lingkungan, dan manajemen rantai pasok (hulu -- hilir) secara terpadu. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan seluruh sarana produksi pangan yang berkualitas tinggi dan harga relatif murah, dan menjamin pasar semua komoditas pangan yang dihasilkan oleh petani dan nelayan dengan harga yang menguntungkan mereka.

Di sisi konsumsi (pasar),  kita mesti melakukan diversiikasi konsumsi karbohidrat dari dominasi beras dan gandum ke sumber karbohidrat berbasis komoditas pangan lokal seperti sagu, sorgum, tales, sukun, ubi jalar, ganyong, kimpul dan suweg.  Program ini sangat strategis, karena selama ini rata-rata konsumsi beras perkapita bangsa Indonesia tertinggi di dunia, sekitar 130 kg per tahun.  

Padahal, rata-rata konsumsi beras perkapita dunia hanya 50 kg (FAO, 2018), dan konsumsi beras yang sehat perkapita maksimum 60 kg (Puslitbang Gizi, 1998). Bayangkan, andai kita mampu menekan konsumsi beras perkapita menjadi 60 kg per tahun, maka dengan 267 juta jiwa penduduk pada 2019, kebutuhan beras nasional hanya 16 juta ton. 

Dengan total produksi beras 49,8 juta ton pada 2019 (Kementan, 2019), mestinya Indonesia sudah surplus beras 33,8 juta ton pada 2019.  Dengan potensi lahan sagu mencapai 6 juta ha yang tersebar di beberapa provinsi dan produktivitas rata-rata 30 ton tepung sagu/ha/tahun (IPB, 2018), maka dapat diproduksi 180 juta tepung sagu/tahun. 

Kita juga harus mengurangi food wastage (sisa pangan) yang terbuang di restoran, perkantoran, rumah tangga, dan lainnya yang jumlahnya mencapai 25 persen dari total produksi pangan dunia (FAO, 2018).  Selain itu, kita tingkatkan konsumsi ikan perkapita, dari 50 kg saat ini menjadi 100 kg seperti bangsa Jepang dan Islandia. 

Selain akan lebih menyehatkan bangsa, peningkatkan konsumsi ikan dapat mengurangi impor daging sapi scara signifikan. Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia, sekitar 113,5 juta ton per tahun yang berasal dari perikanan budidaya sebesar 100 juta ton per tahun dan perikanan tangkap 13,5 juta ton per tahun.  Namun, hingga kini total produksi ikan nasional baru sekitar 14 juta ton (12%), yang menempatkan Indonesia sebagai produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah China.

Penanganan pasca panen dan industri pengolahan pangan  mesti terus kita perkuat dan kembangkan. Sebab, selain akan meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan multiplier effects yang luar biasa besar, produk pangan olahan itu lebih tahan lama, dan lebih mudah untuk disimpan, diangkut dan didistribusikan ke seluruh wilayah Nusantara maupun manca negara.  Keberadaan industri pengolahan pangan di dekat sentra produksi pangan juga dapat menjamin pasar komoditas pangan bagi petani dan nelayan.

Sistem logistik pangan nasional harus terus disempurnakan guna menjamin transportasi dan distribusi sarana produksi maupun hasil produksi pangan dapat berjalan dengan lancar, efisien, dan aman di seluruh wilayah NKRI.  Untuk komoditas pangan yang  saat ini total produksi nasionalnya lebih besar dari pada kebutuhannya (seperti beras, jagung, kakao, sayuran, ikan, dan garam konsumsi), tidak boleh lagi ada impor. 

Untuk komoditas pangan (seperti kedelai, gula, bawang putih, dan garam industri) yang saat ini total produksinya lebih kecil ketimbang kebutuhan nasionalnya. 

Tetapi, dengan ekstensifikasi lahan usaha dan teknologi mutakhir, suatu saat (katakanlah 2 tahun lagi) produksinya bisa ditingkatkan melebihi kebutuhan nasional, maka untuk sementara (2 tahun) boleh impor secara terkendali, dan realisasi impor nya jangan berbarengan dengan musim panen di tanah air. 

Untuk komoditas pangan yang secara agroklimat memang tidak bisa diproduksi di negara kita, atau dengan lahan yang tersedia dan aplikasi teknologi apapun, produksinya tidak bisa melampaui kebutuhan nasional, maka diizinkan impor secara terkendali dan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Contohnya adalah ikan salmon dan daging sapi. Ketiga skenario kebijakan impor pangan tersebut hanya bisa berhasil, jika mafia pangan ditumpas habis sampai ke akar-akarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun