Oleh :Â
Prof. Rokhmin Dahuri, Ph.D.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan -- IPB University
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia
Dimuat pd Kolom Opini (Halaman 5) Koran Republika, Kamis, 18 Juni 2020
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki, karena sangat menentukan kesehatan dan kecerdasannya. You are what you eat. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif - a lost generation. Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera. Bahkan kelangkaan dan meroketnya harga pangan acap kali menimbulkan gejolak politik yang berujung pada pelengseran Kepala Negara seperti yang terjadi di Haiti, Pakistan, Argentina, dan Nigeria ketika mereka dilanda krisis pangan pada 2008.Â
Peran krusial pangan bagi sebuah bangsa semakin nyata di tengah pendemi covid-19 ini. Â Dimana negara-negara produsen pangan dunia (seperti AS, Kanada, dan Thailand) mengurangi ekspor pangannya, karena kendala logistik maupun demi mengamankan pemenuhan kebutuhan pangan nasionalnya. Pada awal April FAO merilis laporannya bahwa dunia terancam krisis pangan dan bencana kelaparan akibat wabah virus corona. Â
Merespon peringatan FAO tersebut, dalam Rapat Kabinet Terbatas 13 April 2020 Presiden Jokowi menginstruksikan para menterinya untuk meningkatkan produksi pangan, sekaligus melepas ketergantungan pada pangan impor. Maka, sangat tepat, ketika Presiden RI pertama, Bung Karno berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Kampus IPB di Bogor pada 2 April 1952 melontarkan pernyataan prophetic, bahwa "pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa". Pernyataan itu kemudian terlegitimasi oleh hasil penelitian FAO (2000) yang mengungkapkan, bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang akan susah  maju dan sejahtera, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan lahan darat dan laut yang subur, mestinya Indonesia bukan hanya dapat membangun kedaulatan pangan nasionalnya, tetapi juga menjadi pengekspor baragam produk pangan ke seluruh dunia -- feeding the world. Â Ironisnya, alih-alih berdaulat pangan, yang kita hadapi justru defisit pangan.Â
Setiap tahun Indonesia mengimpor sedikitnya 0,5 juta ton beras, 2 juta ton gula, 1,5 juta ton kedelai, 1,3 juta ton jagung, 12 juta ton gandum, 700.000 ekor sapi, dan 1,5 juta ton garam industri. Â Sebelum pandemi ini, sekitar 70 persen buah-buahan yang beredar di pasar-pasar seluruh Nusantara berasal dari impor.
Tak heran, bila indeks ketahanan pangan Indonesia hanya berada di peringkat-65 dari 113 negara yang disurvei, dan peringkat-4 di kawasan ASEAN setelah Singapura di peringkat-1 dunia, Malaysia ke-40, Thailand ke-54, dan Vietnam ke-62 (Global Food Security Index, 2018). Â Status gizi anak-anak kita pun sangat mencemaskan, dimana sekitar 30 persen mengalami stunting, dan 33 persen menderita gizi buruk (Kemenkes, 2019).Â