Pada saat itu, di seluruh wilayah muslim tidak ada fakir-miskin, semua hidup sejahtera dan berkeadilan. Â Sehingga, zakat, infaq dan shodaqoh diekspor ke luar negeri. Â Budaya membaca, riset, dan IPTEK berkembang luar biasa pesat.Â
Hasil invensi dan inovasi IPTEKS ilmuwan muslim di bidang matematika, aljabar (algoritma), bilangan biner, fisika, kimia, biologi, astronomi, kedokteran, tata negara, dan seni bahkan telah membuka jalan bagi kebangkitan (renaisance) peradaban Barat, yang kala itu dalam kegelapan (dark ages) (Wallace-Murphy, 2006). Â
Diantara ilmuwan muslim yang namanya harum dan abadi sampai sekarang adalah Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi saw, ilmuwan pelopor etos ilmiah), Al-Khawarizmi (Bapak Aljabar dan algoritma), Al-Battani (astronom penemu waktu 24 jam per hari), Ibnu Farnas (designer pertama pesawat terbang), Ibnu Khaldun (ilmu tata negara), dan Umar Khayyam (penyair yang merintis geometri analitis). Â
Ilmuwan muslim berkelas dunia lainnya adalah Ibnu al-Haitsam dalam ilmu optik, al-Biruni selaku pelatak dasar metoda ilmiah, al-Khazini penemu teori gravitasi jauh sebelum Isaac Newton, dan Ibnu Batutah peletak dasar oseanografi (ilmu kelautan). Â Di bidang ilmu kedokteran, ada Ibnu Sina (Bapak ilmu medis), al-Razi, Abu al-Qasim al-Zahrawi, dan Ibnu Nafis.Â
Paradoks Kehidupan Muslim
Karena maksud Allah mewajibkan orang beriman untuk mengerjakan ibadah puasa Ramadhan adalah agar menjadi orang yang taqwa (QS. Al-Baqarah: 183), maka mestinya kualitas SDM Indonesia sudah sangat unggul dan Indonesia pun sudah menjadi negara maju dan sejahtera. Â Bayangkan, andaikan 230 juta muslim Indonesia (87% total penduduk) semuanya taqwa, niscaya Indonesia sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa sudah 74 kali muslim Indonesia berpuasa Ramadhan sejak 1945, tetapi Indonesia masih sebagai negara berkembang. Â Pertama, karena menurut sebuah survey (2017) bahwa muslim Indonesia yang menjalankan shalat lima waktu hanya 25 persen dan puasa Ramadhan hanya 50 persen.Â
Dari jumlah tersebut, ditenggarai mayoritas mereka yang berpuasa kelasnya hanya puasa awam. Â Hanya mendapatkan lapar dan dahaga, alias gagal mencapai derajat taqwa. Â Selepas Ramadhan, di sebelas bulan lainnya, mereka kembali mengerjakan sejumlah larangan Allah, melakukan maksiat, etos kerja dan akhlaknya memburuk. Â
Kedua, pahala (reward) utama untuk mukmin yang taqwa adalah surga di akhirat, yang sifatnya jangka sangat panjang dan ghaib. Â Sementara fakta kehidupan di era Kapitalisme sekarang, justru mereka yang jauh dari Allah, bahkan maksiat kepada Allah, yang hidupnya sukses.Â
Sebagian besar mereka menduduki jabatan tertinggi atau tinggi di negaranya, kaya raya bahkan super kaya, dan popularitasnya menjulang tinggi. Â Sehingga, banyak muslim awam dan sekuler yang tergoda mengkikuti pola hidup mereka.
Ketiga, boleh jadi karena kondisi kehidupan masyarakat yang tidak kondusif bagi kita untuk bertaqwa. Tempat hiburan dan media masa, khususnya medsos dan elektronik semakin masif dipenuhi dengan berita, gambar, dan video yang merangsang nafsu birahi, perilaku konsumtif, tindak kriminal, dan kemaksiatan. Â