Ini merupakan kesenjangan (inequality) ekonomi terburuk keempat di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand (Credit Suisse, 2016). Disparitas pembangunan antar wilayah juga luar biasa timpang. Betapa tidak, P. Jawa yang luas lahannya hanya sekitar 5% total wilayah lahan NKRI menyumbangkan hampir 58,6% PDB dan dihuni oleh sekitar 60% penduduk Indonesia. Â
P. Sumater dengan luas lahan 10% total wilayah NKRI berkontribusi sekitar 23% PDB. Sementara, Bali, Kalimantan, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat dengan luas lahan sekitar 85% total wilayah NKRI hanya menyumbangkan sekitar 18,4 persen terhadap PDB. Â
Jika tidak segera dibenahi, maka biaya logistik bakal tetap mahal dan ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan berdaya saing. Lebih dari itu, terkonsentrasinya penduduk di P. Jawa, telah mengakibatkan pulau ini kelebihan beban ekologis. Â
Saat musin penghujan dilanda banjir, erosi, dan tanah longsor yang kian masif. Di musim kemarau, menderita kekeringan dan kekurangan air. Sementara itu, SDA dan potensi pembangunan lainnya di luar Jawa tidak termanfaatkan secara optimal, alias mubazir.
Ketergantungan kita pada ekspor komoditas (seperti CPO, kakao, rumput laut, batubara, dan mineral) sejak lima belas tahun terakhir pun membuat kinerja ekonomi RI sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global. Yang lebih mencemaskan, sejak awal reformasi Indonesia telah mengalami deindustrialisasi. Â
Suatu kondisi, dimana pendapatan per kapita belum mencapai status negara berpendapatan tinggi (diatas USD 12.166), tapi kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sudah menurun. Â
Sebelum Reformasi (tahun 1996), kontribusi sektor manufaktur mencapai 29 persen, tahun 2014 menurun menjadi 24 persen, dan tahun lalu malah hanya sekitar 20 persen.
Di tengah lesunya perekonomian global dan dinamika geopolitik yang tidak menentu, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5 persen dalam lima tahun terakhir sebenarnya sebuah prestasi tersendiri. Â
Sayangnya, sumber pertumbuhannya sebagian besar berasal dari konsumsi rumah tangga (56 persen), sektor finansial, dan sektor non-tradable yang rata-rata hanya mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 200.000 orang per satu persen pertumbuhan. Â
Dan, kebanyakan aktivitasnya berlangsung di Jabodetabek dan wilayah-wilayah perkotaan lainnya. Selain itu, sektor-sektor riil tradable yang memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB dan menyerap banyak tenaga kerja (industri manufaktur, pertambangan, dan pertanian) masing-masing hanya tumbuh 4,27 persen, 4 persen, dan 3,91 persen.Â
Deindustrialisasi, dan iklim investasi serta kemudahan berbisnis yang kalah atraktif dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, apalagi Singapura telah mengakibatkan kontirbusi total sektor investasi dan ekspor lebih kecil ketimbang kontribusi total sektor konsumsi dan impor dalam pembentukan PDB Indonesia. Â