Di tengah jagat eling anyaran ini, sebuah legislasi kontroversial mencuat di ruang publik. Namanya adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Produk legislasi ini dirancang untuk memberikan landasan hukum kepada Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui landasan ini, diharapkan Pancasila memiliki makna yang jelas sebagai ideologi nasional Indonesia (Aida dalam kompas.com, 2020).
Landasan hukum? Makna yang jelas? Frasa-frasa ini menunjukkan adanya tendensi pembuat RUU untuk memberikan pemahaman tunggal tentang Pancasila. Ini adalah perkembangan yang berbahaya. Mengapa? Natur Pancasila sebagai ideologi terbuka langsung hangus seiring dengan ratifikasi pemahaman tunggal ini. Padahal, that's where the magic lies.
Adanya natur keterbukaan dalam ideologi Pancasila memunculkan sebuah mosaik yang unik. Kita sebagai individu Indonesia dapat menafsirkan Pancasila dengan cara kita sendiri. Apalagi Pancasila memiliki lima fundamen nilai yang kuat. Merekalah pagar-pagar yang membatasi sampai ke mana interpretasi masing-masing individu bisa dibawa. Artinya, alam pikir individu dapat berpetualang sepanjang lima prinsip tersebut.
Agar lebih mudah dipahami, mari penulis berikan contoh dari sila kelima Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi penulis, sila ini memiliki arti equality of opportunity. Sehingga, harus ada persamaan kesempatan bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Akan tetapi, banyak kawan penulis yang memaknainya sebagai equality of outcome. Dengan kata lain, harus ada distribusi kekayaan yang merata di antara warga negara.
Interpretasi ala penulis menginginkan adanya masyarakat yang reasonably unequal. Justru, adanya inequality yang wajar (Indeks Gini 0,4-0,5) diperlukan untuk memberikan stimulasi terhadap mobilitas sosial. Tugas pemerintah adalah membentuk framework sosial-ekonomi yang kompetitif. Sementara, interpretasi ala kawan-kawan penulis justru ingin menekan inequality dengan kebijakan pemerintah yang intervensionis-progresif.
Bahkan, penulis saja memiliki deviasi dengan interpretasi dari sang penggali Pancasila, Presiden Sukarno. Pada 30 September 1960, Beliau memberikan pidato berjudul To Build The World a New di depan Sidang Umum PBB. Salah satu gong dari pidato tersebut adalah interpretasi Bung Besar mengenai Pancasila. Dari lima sila yang Beliau jabarkan dengan ciamik, penulis tidak setuju dengan pengejawantahan sila pertama.
Menurut Bung Karno, sila pertama Pancasila mengizinkan adanya Atheisme di Indonesia karena naturnya yang toleran. Begitu pula sebaliknya, natur toleransi akan membuat penganut Atheisme menerima sila pertama Pancasila.Â
Menurut hemat penulis, interpretasi ini menegasikan prinsip dari sila pertama itu sendiri. Belief in God, seperti yang Beliau kumandangkan di hadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1956.
Prinsip percaya kepada Tuhan YME tidak memberikan ruang bagi ajaran yang menafikan keberadaan-Nya. Kita sebagai bangsa dan negara adalah entitas yang bertuhan.Â
Lebih jauh lagi, sila ini juga memberikan implikasi bahwa Indonesia adalah one nation under God. Sebuah bangsa yang bersatu di bawah bimbingan dan kedaulatan Sang Pencipta. Sehingga, setiap manusia Indonesia wajib mengakui keberadaan-Nya.
Perbedaan-perbedaan seperti ini menimbulkan diskursus yang dinamis di ruang publik. Melalui diskursus ini, muncul sebuah proses dialektis yang memperkaya pemahaman akan Pancasila itu sendiri.Â
Dengan pemahaman yang semakin kaya, Pancasila dapat menjadi ideologi nasional yang mencerminkan keberagaman di antara kita. Khususnya keberagaman pemahaman di antara manusia Indonesia.
Sehingga, dibanding memaksakan pemahaman tunggal lewat UU, lebih baik dorong diskursus yang bernas mengenai ideologi ini. Berikan kesempatan kepada manusia Indonesia untuk discuss things out. Dampaknya, pandangan kita terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional menjadi lebih mendalam, informed, dan objektif. Dengan cara ini, maka Pancasila akan membumi dan mengakar dalam kehidupan manusia Indonesia. Tidak hanya menjadi jargon yang dihafalkan sejak kecil.
Selain itu, RUU HIP juga aneh secara logika hukum. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm. Sumber segala sumber hukum negara. Lebih jauh lagi, salah satu sifat dari staatsfundamentalnorm adalah abstrak. Jika RUU HIP sampai diratifikasi, maka UU ini sebagai formell gesetz akan melakukan deabstraction terhadap Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm (Hutomo dalam hukumonline.com, 2019).
Aneh, bukan? Sebuah formell gesetz dirancang untuk memberikan haluan ideologis dan arah tunggal bagi staatsfundamentalnorm. Semestinya, produk hukum yang memberikan haluan/arah bagi produk hukum lain memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Masalahnya, tidak ada kedudukan hukum yang lebih tinggi dibanding Pancasila. Jadi, buat apa Pancasila diberikan haluan ideologi lewat legislasi?
Lebih jauh lagi, ratifikasi haluan ideologi tidak akan menyelesaikan simpang-siur interpretasi Pancasila. Justru, RUU HIP malah akan memberikan monopoli ideologi Pancasila secara langsung kepada kekuatan politik pemerintahan. Padahal, political powers come and go in our democracy. Sementara Pancasila terus eksis. Mau interpretasi Pancasila berubah-ubah seiring permainan kekuatan politik?Â
Maka dari itu, daripada meloloskan legislasi yang aneh dan berbahaya, lebih baik kita kembali kepada esensi Pancasila itu sendiri. Dalami kembali dan maknai lima sila Pancasila dalam hidup kita. Setelah itu, lakukan tindakan riil yang bersumber dari pemaknaan tersebut. Bentuk tindakan riil tersebut pasti berbeda antar individu.Â
Akan tetapi, tindakan-tindakan itu pasti mengarah pada muara yang sama; Bergotong-royong. Cara hidup yang menjadi ruh dari ideologi Pancasila. Nukleus yang menjamin bahwa Pancasila menjadi haluan ideologis kehidupan masyarakat Indonesia secara umum. Bukan legislasi ideologi ambisius yang berujung pada interpretasi tunggal dan kecacatan hukum.
REFERENSI
kompas.com/tren. Diakses pada 23 Juni 2020.Â
kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id. Diakses pada 24 Juni 2020.Â
hukumonline.com. Diakses pada 24 Juni 2020.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H