Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kembali ke Esensi, Bukan Legislasi Ideologi

26 Juni 2020   10:01 Diperbarui: 26 Juni 2020   10:04 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53044028

Di tengah jagat eling anyaran ini, sebuah legislasi kontroversial mencuat di ruang publik. Namanya adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Produk legislasi ini dirancang untuk memberikan landasan hukum kepada Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui landasan ini, diharapkan Pancasila memiliki makna yang jelas sebagai ideologi nasional Indonesia (Aida dalam kompas.com, 2020).

Landasan hukum? Makna yang jelas? Frasa-frasa ini menunjukkan adanya tendensi pembuat RUU untuk memberikan pemahaman tunggal tentang Pancasila. Ini adalah perkembangan yang berbahaya. Mengapa? Natur Pancasila sebagai ideologi terbuka langsung hangus seiring dengan ratifikasi pemahaman tunggal ini. Padahal, that's where the magic lies.

Adanya natur keterbukaan dalam ideologi Pancasila memunculkan sebuah mosaik yang unik. Kita sebagai individu Indonesia dapat menafsirkan Pancasila dengan cara kita sendiri. Apalagi Pancasila memiliki lima fundamen nilai yang kuat. Merekalah pagar-pagar yang membatasi sampai ke mana interpretasi masing-masing individu bisa dibawa. Artinya, alam pikir individu dapat berpetualang sepanjang lima prinsip tersebut.

Agar lebih mudah dipahami, mari penulis berikan contoh dari sila kelima Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi penulis, sila ini memiliki arti equality of opportunity. Sehingga, harus ada persamaan kesempatan bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Akan tetapi, banyak kawan penulis yang memaknainya sebagai equality of outcome. Dengan kata lain, harus ada distribusi kekayaan yang merata di antara warga negara.

Interpretasi ala penulis menginginkan adanya masyarakat yang reasonably unequal. Justru, adanya inequality yang wajar (Indeks Gini 0,4-0,5) diperlukan untuk memberikan stimulasi terhadap mobilitas sosial. Tugas pemerintah adalah membentuk framework sosial-ekonomi yang kompetitif. Sementara, interpretasi ala kawan-kawan penulis justru ingin menekan inequality dengan kebijakan pemerintah yang intervensionis-progresif.

Bahkan, penulis saja memiliki deviasi dengan interpretasi dari sang penggali Pancasila, Presiden Sukarno. Pada 30 September 1960, Beliau memberikan pidato berjudul To Build The World a New di depan Sidang Umum PBB. Salah satu gong dari pidato tersebut adalah interpretasi Bung Besar mengenai Pancasila. Dari lima sila yang Beliau jabarkan dengan ciamik, penulis tidak setuju dengan pengejawantahan sila pertama.

Menurut Bung Karno, sila pertama Pancasila mengizinkan adanya Atheisme di Indonesia karena naturnya yang toleran. Begitu pula sebaliknya, natur toleransi akan membuat penganut Atheisme menerima sila pertama Pancasila. 

Menurut hemat penulis, interpretasi ini menegasikan prinsip dari sila pertama itu sendiri. Belief in God, seperti yang Beliau kumandangkan di hadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1956.

Prinsip percaya kepada Tuhan YME tidak memberikan ruang bagi ajaran yang menafikan keberadaan-Nya. Kita sebagai bangsa dan negara adalah entitas yang bertuhan. 

Lebih jauh lagi, sila ini juga memberikan implikasi bahwa Indonesia adalah one nation under God. Sebuah bangsa yang bersatu di bawah bimbingan dan kedaulatan Sang Pencipta. Sehingga, setiap manusia Indonesia wajib mengakui keberadaan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun