Perbedaan-perbedaan seperti ini menimbulkan diskursus yang dinamis di ruang publik. Melalui diskursus ini, muncul sebuah proses dialektis yang memperkaya pemahaman akan Pancasila itu sendiri.Â
Dengan pemahaman yang semakin kaya, Pancasila dapat menjadi ideologi nasional yang mencerminkan keberagaman di antara kita. Khususnya keberagaman pemahaman di antara manusia Indonesia.
Sehingga, dibanding memaksakan pemahaman tunggal lewat UU, lebih baik dorong diskursus yang bernas mengenai ideologi ini. Berikan kesempatan kepada manusia Indonesia untuk discuss things out. Dampaknya, pandangan kita terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional menjadi lebih mendalam, informed, dan objektif. Dengan cara ini, maka Pancasila akan membumi dan mengakar dalam kehidupan manusia Indonesia. Tidak hanya menjadi jargon yang dihafalkan sejak kecil.
Selain itu, RUU HIP juga aneh secara logika hukum. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm. Sumber segala sumber hukum negara. Lebih jauh lagi, salah satu sifat dari staatsfundamentalnorm adalah abstrak. Jika RUU HIP sampai diratifikasi, maka UU ini sebagai formell gesetz akan melakukan deabstraction terhadap Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm (Hutomo dalam hukumonline.com, 2019).
Aneh, bukan? Sebuah formell gesetz dirancang untuk memberikan haluan ideologis dan arah tunggal bagi staatsfundamentalnorm. Semestinya, produk hukum yang memberikan haluan/arah bagi produk hukum lain memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Masalahnya, tidak ada kedudukan hukum yang lebih tinggi dibanding Pancasila. Jadi, buat apa Pancasila diberikan haluan ideologi lewat legislasi?
Lebih jauh lagi, ratifikasi haluan ideologi tidak akan menyelesaikan simpang-siur interpretasi Pancasila. Justru, RUU HIP malah akan memberikan monopoli ideologi Pancasila secara langsung kepada kekuatan politik pemerintahan. Padahal, political powers come and go in our democracy. Sementara Pancasila terus eksis. Mau interpretasi Pancasila berubah-ubah seiring permainan kekuatan politik?Â
Maka dari itu, daripada meloloskan legislasi yang aneh dan berbahaya, lebih baik kita kembali kepada esensi Pancasila itu sendiri. Dalami kembali dan maknai lima sila Pancasila dalam hidup kita. Setelah itu, lakukan tindakan riil yang bersumber dari pemaknaan tersebut. Bentuk tindakan riil tersebut pasti berbeda antar individu.Â
Akan tetapi, tindakan-tindakan itu pasti mengarah pada muara yang sama; Bergotong-royong. Cara hidup yang menjadi ruh dari ideologi Pancasila. Nukleus yang menjamin bahwa Pancasila menjadi haluan ideologis kehidupan masyarakat Indonesia secara umum. Bukan legislasi ideologi ambisius yang berujung pada interpretasi tunggal dan kecacatan hukum.
REFERENSI
kompas.com/tren. Diakses pada 23 Juni 2020.Â
kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id. Diakses pada 24 Juni 2020.Â